Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Jumat, 10 September 2010

Implikasi Pembatalan UU BHP

Oleh Darmaningtyas
(Tulisan ini Dimuat Kompas, Rabu, 7 April 2010)

Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan tanggal 31 Maret 2010. Mahkamah Konstitusi menilai UU Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak punya kekuatan mengikat.

Saya berterima kasih kepada ketua dan para majelis hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) atas pembatalan tersebut. Konsekuensi dari pembatalan itu adalah sejumlah peraturan yang mengacu pada UU BHP, seperti Permendiknas No 32/2009, harus dicabut dan program sosialisasi UU BHP dihentikan.

Bagi sekolah TK hingga perguruan tinggi pada umumnya, pembatalan tidak berimplikasi apa pun karena mereka berjalan berdasarkan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Implikasi itu hanya dirasakan perguruan tinggi negeri (PTN) yang berubah status menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Namun, PT BHMN beroperasi hanya berdasarkan PP yang rujukannya tidak jelas dan berharap akan memperoleh payung hukum melalui UU BHP Pasal 66.

Perubahan status dari PTN jadi PT BHMN sejak awal ditentang mahasiswa karena akan menjadikan PT semakin komersial. Kekhawatiran itu sekarang terbukti. Dengan dalih kemandirian, PT BHMN mengembangkan sejumlah jalur penerimaan mahasiswa baru dengan besar kecilnya sumbangan sebagai dasar penerimaan.

Penerimaan mahasiswa baru melalui UMPTN (SMNPTN) yang lebih murni berdasarkan intelektualitas hanya mendapat alokasi 10 persen saja. Tidak mengherankan bila di PT BHMN sulit ditemukan orang miskin sehingga program beasiswa Depdiknas untuk kaum miskin tidak terserap semua. Mengingat sejak awal sudah ditolak masyarakat dan praktiknya buruk, sebaiknya PT BHMN kembali menjadi PTN milik publik agar dapat diakses warga.

Bahaya dari PT BHMN adalah kesenjangan yang makin lebar antara kelompok kaya dan miskin, sekaligus menggerogoti mutu pendidikan di PT BHMN. Mengapa? Karena yang diterima bukan yang terpintar, melainkan yang mampu membayar.

Kondisi terburuk justru terjadi pada PT BHMN yang memiliki fakultas kedokteran umum. Fakultas yang lulusannya akan bekerja untuk kemanusiaan ini justru menjadi fakultas termahal sehingga yang diterima belum tentu pintar. Ini akan berdampak buruk pada lulusannya.

Pertama, setelah lulus yang dipikirkan adalah mengembalikan modal kuliah. Profesi dokter akhirnya bukan untuk menolong sesama, tetapi menghimpun kekayaan, yang bisa memacu komersialisasi profesi dokter.

Kedua, kemungkinan terjadi malapraktik semakin banyak karena dokter-dokter itu bukan berasal dari yang terpintar sehingga sering salah mendiagnosis penyakit ataupun memberikan obat. Ini bukan lagi menyangkut mutu akademik, tetapi sudah menyangkut etika kehidupan.

Seharusnya, fakultas kedokteran justru menjadi fakultas termurah agar terjangkau oleh yang pintar-pintar dari seluruh lapisan masyarakat. Tentu saja negara tetap bertanggung jawab untuk pembiayaan pendidikan kedokteran yang bermutu.

Otonomi dan transparansi

Tentu saja usulan mengembalikan PT BHMN menjadi PTN milik publik akan ditentang pimpinan PT BHMN. Ini karena merasa lebih otonom dibandingkan dengan menjadi PTN. Mereka bebas menghimpun atau menggunakan uang dari masyarakat meski transparansinya masih dipertanyakan.

Otonomi dan transparansi itu pula yang selama ini menjadi alasan pemerintah untuk memprivatisasi PTN menjadi PT BHMN. Padahal, sebetulnya keduanya itu semu. Otonomi yang nyata hanya ada dalam hal mobilisasi dan penggunaan dana masyarakat. Terbukti dalam pemilihan rektor, porsi suara menteri pendidikan masih 30 persen. Selama menteri masih memegang suara mayoritas, otonomi itu semu saja. Transparansi sampai sekarang juga belum ada, bahkan mahasiswa pun sulit mengakses data yang paling dasar. Misalnya, skor nilai mahasiswa baru di masing-masing fakultas berikut pembayarannya.

Bila betul-betul transparan, data tersebut dapat diakses publik seperti pada penerimaan murid SMP dan SMTA, yang hasil skornya selalu dipasang di papan pengumuman secara terbuka. Dengan demikian, calon yang tidak diterima tahu penyebabnya memang skornya yang rendah. Ironisnya, PT BHMN yang mengaku transparan justru sulit mengeluarkan data tersebut dengan alasan rahasia kampus.

Jadi, perubahan status PTN menjadi PT BHMN dengan alasan otonomi dan transparansi otomatis gugur. Otonomi PTN secara penuh dapat diperoleh tanpa perubahan status, yang penting kemauan politik pemerintah.

Universitas-universitas negeri di Eropa Barat dan Australia dibiayai oleh negara, tetapi mereka mendapat otonomi penuh dalam hal manajerial. Sebaliknya perubahan status dari PTN menjadi PT BHMN tidak menjamin otonomi bila pemerintahnya tidak punya kemauan politik.

Pembiayaan PTN

Pertanyaan yang selalu mengemuka, dari mana PTN memperoleh dana cukup untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Pertama, jelas dari negara. Oleh sebab itu, konsekuensi pengembalian status dari PT BHMN menjadi PTN adalah negara wajib meningkatkan alokasi anggaran untuk PTN. Negara punya dana, hanya saja alokasinya sering kurang tepat. Terbukti untuk nomboki Bank Century Rp 6,7 triliun atau meremunerasi 62.731 pegawai di Kementerian Keuangan dengan dana Rp 4,176 triliun bisa. Mengapa untuk mencerdaskan anak bangsa tidak bisa?

Kedua, PTN tetap bisa memungut SPP dari mahasiswa dalam batas kepatutan. Sebagai contoh, kalau masuk ke fakultas kedokteran membayar Rp 10 juta dan dengan SPP Rp 1,5 juta per semester, misalnya, itu masih bisa diterima akal sehat.

Hak orang kaya dan miskin dalam hal memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan adalah sama. Pemerintah tidak boleh sewenang-wenang terhadap yang kaya dengan memungut biaya tinggi serta diskriminatif terhadap yang miskin dengan tidak memberi ruang. Yang membedakan perlakuan terhadap mereka adalah kewajiban membayar pajak. Yang kaya membayar pajak lebih tinggi sedang yang miskin lebih rendah.

Apabila pemerintah ingin meningkatkan pemasukan pendapatan negara dari orang kaya untuk membiayai pendidikan dan kesehatan, yang perlu dibenahi adalah sistem perpajakannya. Di sini pentingnya menerapkan sistem pajak progresif. Namun, yang lebih penting lagi adalah pajak betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat.

Maka, pembatalan UU BHP bukanlah malapetaka bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi, khususnya PT BHMN, tetapi justru berkah bagi masyarakat. Keberadaan centre of excellent, seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, USU, dan Unhas, tetap harus dijaga sebagai milik publik agar bangsa ini menjadi semakin cerdas. Selanjutnya, penyelenggaraan PTN sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional wajib mengacu pada UU Sisdiknas.

Darmaningtyas Anggota Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta, dan Penulis Buku ”Tirani Kapital dalam Pendidikan, Menolak UU BHP”

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share