Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Selasa, 29 Oktober 2013

Musik Indonesia: Antara dominasi dan Alienasi




Oleh: Arjuna, GMNI Komisariat UNY
Musik bukanlah sesuatu yang alamiah timbul dan hadir di telinga kita, dalam kajian komunikasi music hadir sebagai "medium" yakni sebuah penghubung untuk menyampaikan pesan tertentu yang diwakili oleh sang pencipta. Dari pengertian inilah musik hadir sebagai "juru bicara" gagasan sang pencipta, yang selalu ada "bias" dan "tendensi" tertentu. 

Disinilah kita memaknai musik bukan sekedar bicara "enak" atau "tidak enak" untuk di dengar melainkan mempunyai unsur-unsur yang kuat mempengaruhi kesadaran sampai tindakan sosial manusia. Ia sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan melalui rangkaian lirik tertentu serta di balut dengan harmonisasi dan instrument nada tertentu yang terencana dan tersesuaikan. Singkat kata musik sebagai seni memiliki tujuan dan ideologi yang sengaja dituang dalam lantunan nada dan lirik-liriknya. 

Pemahaman yang demikian, dapat kita pandang bahwa musik berpegaruh pada tatanan kehidupan masyarakat seperti gaya hidup, karakteristik, kepribadian dan cara berfikir. Akan tetapi, pada hakikatnya musik adalah sebuah ekspresi manusia dari hubungannya yang dialektis antara dirinnya dengan lingkungan sosial serta ekonomi-politik yang dialaminya. 

Musik terangkum dalam wilayah kebudayaan yang timbul dari cara hidup dan hubungan sehari-hari manusia dengan realita kehidupan yang kemudian kembali “dicerap” oleh manusia. Seperti yang dilakukan para budak di perkebunan-perkebunan tanah pertanian Amerika di zaman kolonial yang melahirkan musik blues, black American music, di awal abad ke-18. Yang pada perkembangannya menjadi musik yang mendunia dan berkembang di luar budaya induknya. Memahami musik sebagai kebudayaan, terdapat sifat yang ekspansionis dan penetratif terhadap budaya lain di luar dirinya. Sifat ekspansionis dan penetratif ini pada akhirnya memunculkan watak dominatif suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lain sampai pada pendiktean selera dan cita-rasa. 

Watak dominatif ini sempat disadari oleh Bung Karno, dimana kekuatan ekspansi musik luar di cerca sebagai musik ngak-ngik-ngok tak berkepribadian. Yang dapat mengganggu proses pembangunan seni dan budaya nasional yang sedang mencari warna dan bentuk jati diri budayanya sebagai sebuah “bangsa”. Indonesia pada waktu itu sedang mengalami proses revolusi nasional, dimana harapannya perkembangan kebudayaan khususnya musik dapat senafas dengan proses revolusi kepribadian manusia yang sedang melakukan pembebasan dari budaya kolonial ini. Memang sangat sulit upaya memberi bentuk, watak dan cara-cara pengucapan musik yang dapat mencitrakan cita-rasa keindonesiaan, ditengah kuatnya gempuran budaya musik bebas nilai yang datang dari luar yang secara cepat melanda begitu kuat kaum muda yang sepertinya tak akan pernah dapat dibendung.

Akibatnya sampai sekarang ini, perkembangan musik Indonesia menjadi penganut dan bayang-bayang budaya musik lain yang dianggap lebih unggul. Negara sekecil Korea dengan K-POP nya, berhasil mengembangkan musik modern mereka dengan ciri-ciri spesifik yang sangat berbeda dengan “bangsa-bangsa penguasa" kebudayaan musik dunia. Dalam percaturan kultur musik modern dunia pada era kebudayaan global saat ini pun, Korea dengan ciri-cirinya sendiri mampu bersaing dalam posisi unggulan. Identifikasi budaya bangsa bukan saja menjadi kekuatan karya cipta, tapi sekaligus juga menandai ciri dan karakter karya-karya besar musik mereka. Sehingga mereka berhasil membangun jati diri budaya musik mereka sendiri yang penuh watak dan karakteristik yang khas.

Kebudayaan musik Indonesia dapat dikatakan belum menemukan “konsepsi dasarnya” secara matang dan sempurna. Artinya ia sebuah rajutan yang belum selesai, dan proses transformasi yang terputus. Cara yang kerapkali dilakukan oleh industri musik nasional untuk menyelamatkan diri dalam situasi demikian adalah menjadikan dirinya bagian dari bayang-bayang trend musik yang sedang digandrungi, yang sumbernya lagi-lagi datang dari negeri asal-usul musik dan budaya industri itu. Hal ini bisa kita lihat musik yang populer di era kini yang hanya menjadi bayang-bayang Korean Pop dan kebudayaan musik populer Amerika.

Wajar jika musik Indonesia sekarang ini bagaikan “jailangkung”, datang tak dijemput pulang tak diantar. Hadir dan menghilang silih berganti tanpa jejak yang berarti. Orang tak lagi mampu merenung, tapi mengikuti saja trend musik yang sedang mengalir dan menjadi ukuran selera pasar musik global. Sejalan apa yang diungkapkan Adorno, musik di era kapitalisme mutakhir hanya sekedar menjadi “benda”, sebagai komoditas yang hanya berorientasi pada nilai jual. Fenomena ini menimbulkan, peradaban musik global dikuasai oleh ncgara-ncgara maju dengan penguasaan teknologi informasi dan kelebihan kemampuan modal besamya untuk menguasai pasar musik dunia.

Akibat yang paling menyedihkan yang kita lihat sekarang ini, dimana perkembangan musik modern di Indonesia menjadi terasing dari diri manusia Indonesia sendiri. Di tengah gencarnya arus ekspansi budaya musik global, hal yang paling mungkin dilakukan adalah upaya transformasi budaya asing ke dalam budaya sendiri dengan perangkat dan cara yang cukup memadai. Sehingga kita tak lagi bergantung pada desain besar yng sudah ditentukan di luar diri kita.

Dulu kita sukses melakukan transformasi budaya musik portugis  ke dalam budaya pribumi yang menghasilkan musik khas bangsa kita yakni Keroncong. Akan tetapi sekarang ini, perkembangan musik modern seperti rock, jazz, hip-hop bahkan juga pop dan sebagainya sampai kini pun masih terasa asing di daerah pedesaan dan pedalaman Indonesia. Akhirnya perkembangan musik modern Indonesia lebih banyak sibuk dan berbicara tentang dunia di luar dirinya .     
Read more >>

GMNI YOGYAKARTA PERINGATI SUMPAH PEMUDA DI TITIK NOL




Oleh: Efendi A Wibowo

Senin (28/10), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Yogyakarta memperingati 85 tahun sumpah pemuda dengan mengadakan Panggung rakyat di nol kilometer , Yogyakarta.  Acara panggung rakyat ini mengambil tema Pemuda Bersatu untuk Kejayaan Indonesia.

Melalui konsolidasi yang panjang terbentuklah Aliansi Anak Bangsa. Tergabung 12 elemen mahasiswa, yakni:  GMNI Yogyakarta, GMKI Yogyakarta, HMI Bulaksumur, HMI Yogyakarta, PMII Sleman, LPM EKSPRESI, ISMALA, SPOER, GASEBO, Ilalang  Zaman, Fs-KMMJ, Aliansi Mahasiswa UNY.
Koordinator Umum, Himawan Kurniadi menyatakan bahwa acara ini merupakan momentum bagi lahirnya identitas nasional. “Intinya biar pemuda bersatu dan menghilangkan sekat-sekat perbedaan untuk kemajuan bangsa serta kita pemuda bisa guyup rukun, “ terangnya.

Acara tersebut dimulai sekitar pukul 16.00 WIB, dengan penampilan pembuka Teatrikal Kebhinekaan dari teater Mahasiswa Pendidikan Sejarah, UNY. Kemudian acara ditutup sekitar pukul 00.00 WIB dengan pembacaan ikrar Sumpah Pemuda bersama masyarakat yang memadati lokasi.

Acara berlangsung meriah walaupun sempat dihentikan karena diguyur hujan. Panggung rakyat ini juga mampu menyedot perhatian para pengunjung jalan Malioboro. “Acara lumayan menghibur mas. Biasanya pada demo semua, lumayan memberikan alternatif, “ujar Reko Prabowo, Pengunjung Malioboro.

Read more >>

MODAL DAN WAJAH DESAKU




Oleh: Abd. Wahid Hasyim

Kurang lebih 19 tahun yang lalu tepatnya tahun 1994 desaku mulai dialiri listrik. Fase ini menjadi penggalan sejarah penting dalam potret kehidupan desaku mengingat wajah kehidupan selanjutnya sangat dipengaruhi oleh fase tersebut. Masuknya listrik telah meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap barang-barang elektronik; televise, video, komputer dan lain-lain.
Namun apalah artinya aliran listrik-yang konon dalam bahasa pemerintah adalah salah satu agenda pembangunan-apabila tidak diiringi dengan penguatan pundi-pundi ekonomi masyarakat yang berlatarbelakang agraris. Aliran listrik hanya menjadi berkah-parsial karena sebatas memenuhi dahaga internainment  atau akses informasi dengan dunia luar. Sebab  listrik yang masuk tidak di tujukan sebagai salah satu sarana yang mampu mengentaskan problem penumbuk sagu yang masih sangat tradisionil yang secara kapasitas produksi tentu terbatas atau petani singkong yang diolah menjadi  menjadi kripik dan lain-lain.
Masuknya listrik harus diikuti pula oleh pemabangunan manusianya dalam hal produksi produk desa dan teknik pemasaran dan lain-lain agar nilai jual bertambah. Ketiadaan pelatihan semacam itu telah membuat sebagian penduduk desa meninggalakan pekerjaannya dan beralih menjadi tenaga jasa di kota-kota yang semakin menambah angka tingginya laju urbanisasi. Tingginya angka orang-orang di desaku yang pergi ke kota (merantau) terutama yang untuk urusan ekonomi pada gilirannya merubah pula tatanan sosial dari tatanan sesama petani yang lebih setara kemudian melahirkan tatanan berkelas; juragan dan petani. Termasuk cara membangun rumah pun akan berubah menjadi rumah berpagar tinggi layaknya rumah pengusaha di kota besar.
Pilihan masyarakat desa untuk hijrah ke kota dapat ditemukan jawabannya apabalia melihat struktur pembangunan pemerintah Indonesia pasca 1967. Dr. Nasikun mengatakan, kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan di era 1970-1978, namun kemiskinan di desa masih nyata. Hal itu disebabkan karena pusat pembangunan masih terkonsentrasi di perkotaan dan  menyebabkan kesenjangan desa dan kota.  Modal yang besar yang diinvestasikan untuk pondasi pembangunan nasional lebih menitik beratkan sektor minyak bumi dan gas. Oleh karenanya pilihan menanam modal besar itu adalah wilyah-wilayah yang kaya akan hasil alamnya.
Namun demikian menurut Soegijanto Padmo, wilayah-wilayah yang menjadi pusat penanaman modal investasi juga melahirkan kesenjangan tersendiri. Ia mencontohkan Kalimantan timur, Negara yang menjadi penghasil minyak dan kayu ini ternyata hanya mewakili beberapa titik untuk kesejahteraan yakni Balikpapan dan Samarinda.  Jalan aspal hanya terpusat di kota dan daerah dengan radius 40 Km. Dari paparan fakta di atas terungkap alasan mengapa salah satu pilihan merantau penduduk desa saya adalah Balikpapan dan Samarinda.
Tulisan ini akan saya tutup dengan tawaran untuk lebih mengurai konsentrasi pembangunan di satu titik menjadi lebih mencair di berbagai sector dengan klasifikasi yang jelas yakni, pembangunan modal skala besar dan kecil (padat karya). Kreatifitas dan kemampuan produksi masyarakat desa harus di dorong dan di fasilitasi berupa pelatihan, akses dan pemenuhan pasar yang pasti. Suntikan modal yang tepat guna di desaku mungkin akan mempengaruhi perwajahan kehidupannya. Sehingga istilah penghasilan sebenggol sehari kata Bung Karno pada era 1920-an dapat  teratasi. Lebih dari itu tentu pembangunan desa akan dapat meredam laju urbanisasi dan mempertahankan sendi-sendi kebudayaan desa sebagai benteng kebudayan nasional.

Sumber bacaan:
1. Dr. Nasikun, ”pembangunan masyarakat desa untuk memerangi kemiskinan”,1994.
2. Soegijanto Padmo, “Pembangunan Pedesaan Indonesia: penggalan masa lalu dan prospek masa depan”, 1994.   

Read more >>

Selasa, 24 September 2013

STOP IMPOR BERAS, WUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN NEGARA



Oleh : Abd. Wahid Hasyim 


“ Soal pangan adalah soal hidup-matinya sebuah bangsa”…. (Bung Karno) Merdeka!!!

     Hampir setiap tahun kebijakan impor beras selalu digulirkan oleh pemerintah. Kebijakan itu diambil dengan dalih pemenuhan kebutuhan stok beras nasional. Namun pilihan politik impor beras barangkali hanya menyelesaikan problem pangan negara secara temporal dan belum menyentuh pada “jantung” masalah. Impor beras sebagai jawaban tidak akan pernah menyelesaikan problem pangan nasional tanpa melihat sebab yang mendasarinya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tradisi agraris yang cukup tua di dunia, tentu menjadi ironi tersendiri tatkala Indonesia harus mengimpor beras yang notabene menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Padahal bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki luas wilayah daratan yang cukup besar dibanding Vietnam dan Thailand, namun kedua negara tersebut mampu mengekspor beras bahkan Indonesia termasuk penikmat produk ekspor beras dari kedua negara tersebut.     
Impor beras sebagai rutinitas telah menimbulkan berbagai pertanyaan serius. Antara lain, pertama, impor beras kerapkali dilakukan pada saat petani beras Indonesia panen raya. Tentu praktik tersebut membuat harga beras lokal terjun bebas dan membebani nasib hidup petani Indonesia. Panen raya sejatinya harus dijadikan momentum untuk meningkatkan harkat hidup petani, minimal secara pendapatan, namun dengan banjirnya impor beras justru menjadikan harga beras di petani anjlok. Hal tersebut belum menyangkut tawar-menawar harga antara permintaan pemerintah dengan pihak petani. Fakta di lapangan kerapkali menunjukkan bagaimana harga yang diminta petani tidak mampu diakomodir oleh pemerintah. Di sinilah butuh kepastian pasar dalam arti stabilitas harga dari pemerintah guna menyudahi keterpurukan petani dalam cengkraman para tengkulak.
Kedua, pesoalan impor beras menunjukkan persoalaan ketidakmampuan pemerintah membuat cetak biru pangan secara nasional. Cetak biru pangan nasional harus melihat beberapa persoalaan mendasar seperti perlindungan lahan pertanian yang hari ini semakin tergerus oleh pembangunan-pembangunan seperti, perumahan, mall, dll. perlindungan lahan menjadi penting, mengingat tanah adalah faktor produksi utama bagi petani itu sendiri. Persoalaan lain yang harus diperhatikan ialah bagimana cara pembangunan mentalitas manusia Indonesia agar tidak semakin jauh dari dunia pertanian. Dalam hal ini pendidikan sebagai media pembangunan karakter harus semakin giat menunjukkan dan mengarahkan pentingnya pertanian bagi kehidupan bangsa. Sebab hari ini banyak institusi pendidikan yang memproyeksikan peserta didik menjadi manusia di sektor jasa, atau dengan istilah sederhana, semakin menjauhkan peserta didik untuk bertani.
Ketiga, adakah peran pemerintah dalam membantu petani dalam bentuk subsidi diantaranya pupuk, benih, alat pertanian dan pembangunan infrastuktur seperti irigasi, yang dari kesemuanya itu diharapkan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kesejahteraan petani pada gilirannya diharapkan mampu menggeser kebiasaan masyarakat di kantong-kantong pertanian agar tidak ikut larut dalam arus urbanisasi yang akan meningkatkan angka kemiskinan kota. Pemerintah seharusnya berkaca pada negara tetangga, yakni Thailand termasuk juga Jepang dimana kondisi kesejahteraan petaninya jauh di atas rata-rata daripada kondisi petani Indonesia. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk lebih serius menangani problem kedaulatan pangan (beras) Indonesia. Apabila tidak, mimpi untuk swasembada beras hanya akan menjadi isapan jempol semata. Jauh melampaui itu, ketidakseriusan mengurusi pertanian merupakan bukti keterputusan nilai-nilai filsafat nusantara. Bukankah bangsa ini mengenal Dewi Sri, simbol kesuburan, yang memiliki makna bahwa bertani adalah bagian dari menjaga dan bersatu dengan alam dalam harmoni. Selamat hari tani...
Read more >>

MENOLAK ARUS PENJINAKAN (STERILISASI) DALAM PENDIDIKAN


Oleh: Abd. Wahid Hasyim


Film dead poets society menjadi penting untuk disaksikan bahkan terlebih menjadi bahan kajian mengingat materi yang diangkat merupakan salah satu hal prinsipil dalam kehidupan berbangsa; yakni problem pendidikan. Film ini secara garis besar menceritakan sekelompok anak muda yang bergeliat untuk mendalami karya sastra sebagai media penemuan sosok kedirian (jati diri). Sekelompok anak muda memiliki gairah yang besar pada puisi sebagai karya satra tidak lepas dari motivasi dan metode pengajaran yang dilakukan seorang guru bernama Mr. Keating. Mr. Keating mengajarkan puisi tidak sebatas sebagai ilmu-pengetahuan yang sekedar dipahami atau untuk memenuhi keperluan saat ujian, namun lebih dari itu berupaya menyadarkan peserta didik bahwa puisi adalah nafas kehidupan manusia dan ekspresi kejiwaan yang bebas tanpa ukuran-ukuran baku. Oleh karenanya, metode pengajaran yang diberikan kepada peserta didik pun sangat bebas dan ekspresif.
Metode pengajaran ini pada gilirannya membawa perubahan pada  kesadaran peserta didik dalam memahami karya satra. Lebih dari itu, peserta didik menjadi semakin ekspresif, kritis dan yang terpenting adalah mentalitas yang semakin berani. Slogan utama sang guru kepada peserta didiknya ialah “carpe diem” yang artinya “raihlah kesempatan”.
Pengetahuan sastrawi yang merasuk dalam diri peserta didik semakin lama semakin menjadikan mereka sebagai manusia-manusia yang ingin bebas dari kungkungan sistem pendidikan di sekolah mereka. Kehidupan mereka di sekolah yang mulai “menabrak” aturan pakem yang mapan tentu dianggap sebagai ancaman bagi pihak birokrasi sekolah. Pihak sekolah akhirnya memaksa sekelompok peserta didik tersebut untuk menghentikan aktivitas membaca puisi mereka dengan cara otoritatif setelah salah satu dari mereka bunuh diri karena bersebrangan antara cita-cita sang anak dan sang ayah. Akhir kata, Mr. Keating dituding oleh sekolah sebagai penyebab dari “ketidaktertiban” beberapa peserta didik kepada aturan yang dikehendaki sekolah. Mr. Keating sebagai guru, akhirnya dipecat.

Tanggapan Kritis
Realitas pendidikan seperti yang tersaji dalam film di atas merupakan potret buram pendidikan manusia. Bagi penulis sistem pendidikan semacam itu tidak saja otoritatif namun juga miskin khazanah nilai kemanusiaan. Pendidikan semacam itu justru mencoba untuk menjinakkan (sterilisasi), ekspresi pemikiran kiritis. Padahal  pendidikan sejatinya adalah media bagi manusia untuk menjadi manusia yang bermakna. Pendidikan harus mampu mengantarkan manusia menemukan dirinya sebagai manusia, bukan justru menjebak peserta didik secara berjemaah untuk jauh dari penemuan dirinya sendiri.
Secara kontekstual potret problem pendidikan seperti yang diungkap dalam film di atas juga masih sering ditemui di Indonesia.  Menurut penulis pendidikan Indonesia dewasa ini mengarahkan peserta didik untuk profesional dalam mencari uang, dan miskin ekspresi-ekspresi dari dimensi kemanusiaan yang lebih mendasar. Tidak jarang kekritisan peserta didik harus berbenturan dengan otoritas struktural kelembagaan yang menurut penulis adalah cara-cara picik membunuh nalar kritis.
Kritik penulis terhadap film di atas terletak ialah puisi yang dihadirkan sangat berorientasi individual. Slogan “raihlah kesempatan” lebih bersifat personal daripada geliat kolektif.
Penulis menawarkan bahwa sastra harus menjadi alat penyadar bagi peserta didik, minimal untuk upaya membangun nalar kritis. Pengajaran sastra di Indonesia harusnya tidak lagi berorientasi pada nilai raport namun lebih dari itu harus menjadi penggerak dan pintu gerbang menuju daya nalar yang kritis tentang persoaaan identitas kedirian, persoalaan sosial dan kebangsaan.
Read more >>
Bookmark and Share