Oleh: Arjuna, GMNI Komisariat UNY
Musik
bukanlah sesuatu yang alamiah timbul dan hadir di telinga kita, dalam kajian komunikasi
music hadir sebagai "medium" yakni sebuah penghubung untuk menyampaikan
pesan tertentu yang diwakili oleh sang pencipta. Dari pengertian inilah musik hadir
sebagai "juru bicara" gagasan sang pencipta, yang selalu ada
"bias" dan "tendensi" tertentu.
Disinilah kita memaknai musik bukan sekedar
bicara "enak" atau "tidak enak" untuk di dengar melainkan mempunyai
unsur-unsur yang kuat mempengaruhi kesadaran sampai tindakan sosial manusia. Ia
sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan melalui rangkaian lirik tertentu
serta di balut dengan harmonisasi dan instrument nada tertentu yang terencana dan
tersesuaikan. Singkat kata musik sebagai seni memiliki tujuan dan ideologi yang
sengaja dituang dalam lantunan nada dan lirik-liriknya.
Pemahaman yang demikian, dapat kita pandang
bahwa musik berpegaruh pada tatanan kehidupan masyarakat seperti gaya hidup,
karakteristik, kepribadian dan cara berfikir. Akan tetapi, pada hakikatnya
musik adalah sebuah ekspresi manusia dari hubungannya yang dialektis antara
dirinnya dengan lingkungan sosial serta ekonomi-politik yang dialaminya.
Musik terangkum dalam wilayah kebudayaan
yang timbul dari cara hidup dan hubungan sehari-hari manusia dengan realita
kehidupan yang kemudian kembali “dicerap” oleh manusia. Seperti yang dilakukan para
budak di perkebunan-perkebunan tanah pertanian Amerika di zaman kolonial yang
melahirkan musik blues, black American music, di awal abad ke-18. Yang pada
perkembangannya menjadi musik yang mendunia dan berkembang di luar budaya
induknya. Memahami musik sebagai kebudayaan, terdapat sifat yang ekspansionis
dan penetratif terhadap budaya lain di luar dirinya. Sifat ekspansionis dan penetratif
ini pada akhirnya memunculkan watak dominatif suatu kebudayaan terhadap kebudayaan
lain sampai pada pendiktean selera dan cita-rasa.
Watak
dominatif ini sempat disadari oleh Bung Karno, dimana kekuatan ekspansi musik
luar di cerca sebagai musik ngak-ngik-ngok tak berkepribadian. Yang dapat
mengganggu proses pembangunan seni dan budaya nasional yang sedang mencari
warna dan bentuk jati diri budayanya sebagai sebuah “bangsa”. Indonesia pada
waktu itu sedang mengalami proses revolusi nasional, dimana harapannya perkembangan
kebudayaan khususnya musik dapat senafas dengan proses revolusi kepribadian
manusia yang sedang melakukan pembebasan dari budaya kolonial ini. Memang
sangat sulit upaya memberi bentuk, watak dan cara-cara pengucapan musik yang
dapat mencitrakan cita-rasa keindonesiaan, ditengah kuatnya gempuran budaya
musik bebas nilai yang datang dari luar yang secara cepat melanda begitu kuat
kaum muda yang sepertinya tak akan pernah dapat dibendung.
Akibatnya sampai sekarang ini, perkembangan
musik Indonesia menjadi penganut dan bayang-bayang budaya musik lain yang
dianggap lebih unggul. Negara sekecil Korea dengan K-POP nya, berhasil mengembangkan
musik modern mereka dengan ciri-ciri spesifik yang sangat berbeda dengan “bangsa-bangsa
penguasa" kebudayaan musik dunia. Dalam percaturan kultur musik modern
dunia pada era kebudayaan global saat ini pun, Korea dengan ciri-cirinya
sendiri mampu bersaing dalam posisi unggulan. Identifikasi budaya bangsa bukan
saja menjadi kekuatan karya cipta, tapi sekaligus juga menandai ciri dan karakter
karya-karya besar musik mereka. Sehingga mereka berhasil membangun jati diri
budaya musik mereka sendiri yang penuh watak dan karakteristik yang khas.
Kebudayaan
musik Indonesia dapat dikatakan belum menemukan “konsepsi dasarnya” secara
matang dan sempurna. Artinya ia sebuah rajutan yang belum selesai, dan proses
transformasi yang terputus. Cara yang kerapkali dilakukan oleh industri musik
nasional untuk menyelamatkan diri dalam situasi demikian adalah menjadikan
dirinya bagian dari bayang-bayang trend musik yang sedang digandrungi, yang
sumbernya lagi-lagi datang dari negeri asal-usul musik dan budaya industri itu.
Hal ini bisa kita lihat musik yang populer di era kini yang hanya menjadi
bayang-bayang Korean Pop dan kebudayaan musik populer Amerika.
Wajar jika musik Indonesia sekarang ini
bagaikan “jailangkung”, datang tak dijemput pulang tak diantar. Hadir dan
menghilang silih berganti tanpa jejak yang berarti. Orang tak lagi mampu
merenung, tapi mengikuti saja trend musik yang sedang mengalir dan menjadi
ukuran selera pasar musik global. Sejalan apa yang diungkapkan Adorno, musik di
era kapitalisme mutakhir hanya sekedar menjadi “benda”, sebagai komoditas yang
hanya berorientasi pada nilai jual. Fenomena ini menimbulkan, peradaban musik global
dikuasai oleh ncgara-ncgara maju dengan penguasaan teknologi informasi dan
kelebihan kemampuan modal besamya untuk menguasai pasar musik dunia.
Akibat yang paling menyedihkan yang kita
lihat sekarang ini, dimana perkembangan musik modern di Indonesia menjadi
terasing dari diri manusia Indonesia sendiri. Di tengah gencarnya arus ekspansi
budaya musik global, hal yang paling mungkin dilakukan adalah upaya transformasi
budaya asing ke dalam budaya sendiri dengan perangkat dan cara yang cukup
memadai. Sehingga kita tak lagi bergantung pada desain besar yng sudah
ditentukan di luar diri kita.
Dulu kita sukses melakukan transformasi
budaya musik portugis ke dalam budaya
pribumi yang menghasilkan musik khas bangsa kita yakni Keroncong. Akan tetapi
sekarang ini, perkembangan musik modern seperti rock, jazz, hip-hop bahkan juga
pop dan sebagainya sampai kini pun masih terasa asing di daerah pedesaan dan
pedalaman Indonesia. Akhirnya perkembangan musik modern Indonesia lebih banyak
sibuk dan berbicara tentang dunia di luar dirinya .
0 komentar:
Posting Komentar