Oleh: Abd. Wahid Hasyim
Kurang lebih 19 tahun yang lalu tepatnya
tahun 1994 desaku mulai dialiri listrik. Fase ini menjadi penggalan sejarah
penting dalam potret kehidupan desaku mengingat wajah kehidupan selanjutnya
sangat dipengaruhi oleh fase tersebut. Masuknya listrik telah meningkatkan konsumsi
masyarakat terhadap barang-barang elektronik; televise, video, komputer dan
lain-lain.
Namun apalah artinya aliran listrik-yang
konon dalam bahasa pemerintah adalah salah satu agenda pembangunan-apabila
tidak diiringi dengan penguatan pundi-pundi ekonomi masyarakat yang
berlatarbelakang agraris. Aliran listrik hanya menjadi berkah-parsial karena
sebatas memenuhi dahaga internainment atau
akses informasi dengan dunia luar. Sebab listrik yang masuk tidak di tujukan sebagai
salah satu sarana yang mampu mengentaskan problem penumbuk sagu yang masih
sangat tradisionil yang secara kapasitas produksi tentu terbatas atau petani
singkong yang diolah menjadi menjadi
kripik dan lain-lain.
Masuknya listrik harus diikuti pula oleh
pemabangunan manusianya dalam hal produksi produk desa dan teknik pemasaran dan
lain-lain agar nilai jual bertambah. Ketiadaan pelatihan semacam itu telah
membuat sebagian penduduk desa meninggalakan pekerjaannya dan beralih menjadi tenaga
jasa di kota-kota yang semakin menambah angka tingginya laju urbanisasi.
Tingginya angka orang-orang di desaku yang pergi ke kota (merantau) terutama
yang untuk urusan ekonomi pada gilirannya merubah pula tatanan sosial dari
tatanan sesama petani yang lebih setara kemudian melahirkan tatanan berkelas;
juragan dan petani. Termasuk cara membangun rumah pun akan berubah menjadi
rumah berpagar tinggi layaknya rumah pengusaha di kota besar.
Pilihan masyarakat desa untuk hijrah ke
kota dapat ditemukan jawabannya apabalia melihat struktur pembangunan pemerintah
Indonesia pasca 1967. Dr. Nasikun mengatakan, kendati pertumbuhan ekonomi
Indonesia mengalami peningkatan di era 1970-1978, namun kemiskinan di desa
masih nyata. Hal itu disebabkan karena pusat pembangunan masih terkonsentrasi
di perkotaan dan menyebabkan kesenjangan
desa dan kota. Modal yang besar yang
diinvestasikan untuk pondasi pembangunan nasional lebih menitik beratkan sektor
minyak bumi dan gas. Oleh karenanya pilihan menanam modal besar itu adalah
wilyah-wilayah yang kaya akan hasil alamnya.
Namun demikian menurut Soegijanto Padmo, wilayah-wilayah
yang menjadi pusat penanaman modal investasi juga melahirkan kesenjangan
tersendiri. Ia mencontohkan Kalimantan timur, Negara yang menjadi penghasil
minyak dan kayu ini ternyata hanya mewakili beberapa titik untuk kesejahteraan
yakni Balikpapan dan Samarinda. Jalan
aspal hanya terpusat di kota dan daerah dengan radius 40 Km. Dari paparan fakta
di atas terungkap alasan mengapa salah satu pilihan merantau penduduk desa saya
adalah Balikpapan dan Samarinda.
Tulisan ini akan saya tutup dengan tawaran
untuk lebih mengurai konsentrasi pembangunan di satu titik menjadi lebih
mencair di berbagai sector dengan klasifikasi yang jelas yakni, pembangunan
modal skala besar dan kecil (padat karya). Kreatifitas dan kemampuan produksi
masyarakat desa harus di dorong dan di fasilitasi berupa pelatihan, akses dan
pemenuhan pasar yang pasti. Suntikan modal yang tepat guna di desaku mungkin
akan mempengaruhi perwajahan kehidupannya. Sehingga istilah penghasilan
sebenggol sehari kata Bung Karno pada era 1920-an dapat teratasi. Lebih dari itu tentu pembangunan
desa akan dapat meredam laju urbanisasi dan mempertahankan sendi-sendi
kebudayaan desa sebagai benteng kebudayan nasional.
Sumber bacaan:
1. Dr. Nasikun, ”pembangunan masyarakat desa
untuk memerangi kemiskinan”,1994.
2. Soegijanto Padmo, “Pembangunan Pedesaan
Indonesia: penggalan masa lalu dan prospek masa depan”, 1994.
0 komentar:
Posting Komentar