Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Selasa, 29 Oktober 2013

MODAL DAN WAJAH DESAKU




Oleh: Abd. Wahid Hasyim

Kurang lebih 19 tahun yang lalu tepatnya tahun 1994 desaku mulai dialiri listrik. Fase ini menjadi penggalan sejarah penting dalam potret kehidupan desaku mengingat wajah kehidupan selanjutnya sangat dipengaruhi oleh fase tersebut. Masuknya listrik telah meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap barang-barang elektronik; televise, video, komputer dan lain-lain.
Namun apalah artinya aliran listrik-yang konon dalam bahasa pemerintah adalah salah satu agenda pembangunan-apabila tidak diiringi dengan penguatan pundi-pundi ekonomi masyarakat yang berlatarbelakang agraris. Aliran listrik hanya menjadi berkah-parsial karena sebatas memenuhi dahaga internainment  atau akses informasi dengan dunia luar. Sebab  listrik yang masuk tidak di tujukan sebagai salah satu sarana yang mampu mengentaskan problem penumbuk sagu yang masih sangat tradisionil yang secara kapasitas produksi tentu terbatas atau petani singkong yang diolah menjadi  menjadi kripik dan lain-lain.
Masuknya listrik harus diikuti pula oleh pemabangunan manusianya dalam hal produksi produk desa dan teknik pemasaran dan lain-lain agar nilai jual bertambah. Ketiadaan pelatihan semacam itu telah membuat sebagian penduduk desa meninggalakan pekerjaannya dan beralih menjadi tenaga jasa di kota-kota yang semakin menambah angka tingginya laju urbanisasi. Tingginya angka orang-orang di desaku yang pergi ke kota (merantau) terutama yang untuk urusan ekonomi pada gilirannya merubah pula tatanan sosial dari tatanan sesama petani yang lebih setara kemudian melahirkan tatanan berkelas; juragan dan petani. Termasuk cara membangun rumah pun akan berubah menjadi rumah berpagar tinggi layaknya rumah pengusaha di kota besar.
Pilihan masyarakat desa untuk hijrah ke kota dapat ditemukan jawabannya apabalia melihat struktur pembangunan pemerintah Indonesia pasca 1967. Dr. Nasikun mengatakan, kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan di era 1970-1978, namun kemiskinan di desa masih nyata. Hal itu disebabkan karena pusat pembangunan masih terkonsentrasi di perkotaan dan  menyebabkan kesenjangan desa dan kota.  Modal yang besar yang diinvestasikan untuk pondasi pembangunan nasional lebih menitik beratkan sektor minyak bumi dan gas. Oleh karenanya pilihan menanam modal besar itu adalah wilyah-wilayah yang kaya akan hasil alamnya.
Namun demikian menurut Soegijanto Padmo, wilayah-wilayah yang menjadi pusat penanaman modal investasi juga melahirkan kesenjangan tersendiri. Ia mencontohkan Kalimantan timur, Negara yang menjadi penghasil minyak dan kayu ini ternyata hanya mewakili beberapa titik untuk kesejahteraan yakni Balikpapan dan Samarinda.  Jalan aspal hanya terpusat di kota dan daerah dengan radius 40 Km. Dari paparan fakta di atas terungkap alasan mengapa salah satu pilihan merantau penduduk desa saya adalah Balikpapan dan Samarinda.
Tulisan ini akan saya tutup dengan tawaran untuk lebih mengurai konsentrasi pembangunan di satu titik menjadi lebih mencair di berbagai sector dengan klasifikasi yang jelas yakni, pembangunan modal skala besar dan kecil (padat karya). Kreatifitas dan kemampuan produksi masyarakat desa harus di dorong dan di fasilitasi berupa pelatihan, akses dan pemenuhan pasar yang pasti. Suntikan modal yang tepat guna di desaku mungkin akan mempengaruhi perwajahan kehidupannya. Sehingga istilah penghasilan sebenggol sehari kata Bung Karno pada era 1920-an dapat  teratasi. Lebih dari itu tentu pembangunan desa akan dapat meredam laju urbanisasi dan mempertahankan sendi-sendi kebudayaan desa sebagai benteng kebudayan nasional.

Sumber bacaan:
1. Dr. Nasikun, ”pembangunan masyarakat desa untuk memerangi kemiskinan”,1994.
2. Soegijanto Padmo, “Pembangunan Pedesaan Indonesia: penggalan masa lalu dan prospek masa depan”, 1994.   

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share