Oleh : Abd. Wahid
Hasyim
“ Soal pangan adalah
soal hidup-matinya sebuah bangsa”…. (Bung Karno) Merdeka!!!
Hampir setiap tahun kebijakan impor
beras selalu digulirkan oleh pemerintah. Kebijakan itu diambil dengan dalih
pemenuhan kebutuhan stok beras nasional. Namun pilihan politik impor beras
barangkali hanya menyelesaikan problem pangan negara secara temporal dan belum
menyentuh pada “jantung” masalah. Impor beras sebagai jawaban tidak akan pernah
menyelesaikan problem pangan nasional tanpa melihat sebab yang mendasarinya.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki tradisi agraris yang cukup tua di
dunia, tentu menjadi ironi tersendiri tatkala Indonesia harus mengimpor beras
yang notabene menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Padahal bila dibandingkan
dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki luas wilayah
daratan yang cukup besar dibanding Vietnam dan Thailand, namun kedua negara
tersebut mampu mengekspor beras bahkan Indonesia termasuk penikmat produk
ekspor beras dari kedua negara tersebut.
Impor
beras sebagai rutinitas telah menimbulkan berbagai pertanyaan serius. Antara
lain, pertama, impor beras kerapkali dilakukan pada saat petani beras Indonesia
panen raya. Tentu praktik tersebut membuat harga beras lokal terjun bebas dan
membebani nasib hidup petani Indonesia. Panen raya sejatinya harus dijadikan
momentum untuk meningkatkan harkat hidup petani, minimal secara pendapatan,
namun dengan banjirnya impor beras justru menjadikan harga beras di petani
anjlok. Hal tersebut belum menyangkut tawar-menawar harga antara permintaan
pemerintah dengan pihak petani. Fakta di lapangan kerapkali menunjukkan
bagaimana harga yang diminta petani tidak mampu diakomodir oleh pemerintah. Di
sinilah butuh kepastian pasar dalam arti stabilitas harga dari pemerintah guna
menyudahi keterpurukan petani dalam cengkraman para tengkulak.
Kedua,
pesoalan impor beras menunjukkan persoalaan ketidakmampuan pemerintah membuat cetak
biru pangan secara nasional. Cetak biru pangan nasional harus melihat beberapa
persoalaan mendasar seperti perlindungan lahan pertanian yang hari ini semakin
tergerus oleh pembangunan-pembangunan seperti, perumahan, mall, dll. perlindungan
lahan menjadi penting, mengingat tanah adalah faktor produksi utama bagi petani
itu sendiri. Persoalaan lain yang harus diperhatikan ialah bagimana cara
pembangunan mentalitas manusia Indonesia agar tidak semakin jauh dari dunia
pertanian. Dalam hal ini pendidikan sebagai media pembangunan karakter harus
semakin giat menunjukkan dan mengarahkan pentingnya pertanian bagi kehidupan
bangsa. Sebab hari ini banyak institusi pendidikan yang memproyeksikan peserta
didik menjadi manusia di sektor jasa, atau dengan istilah sederhana, semakin
menjauhkan peserta didik untuk bertani.
Ketiga,
adakah peran pemerintah dalam membantu petani dalam bentuk subsidi diantaranya
pupuk, benih, alat pertanian dan pembangunan infrastuktur seperti irigasi, yang
dari kesemuanya itu diharapkan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
petani. Kesejahteraan petani pada gilirannya diharapkan mampu menggeser
kebiasaan masyarakat di kantong-kantong pertanian agar tidak ikut larut dalam
arus urbanisasi yang akan meningkatkan angka kemiskinan kota. Pemerintah
seharusnya berkaca pada negara tetangga, yakni Thailand termasuk juga Jepang
dimana kondisi kesejahteraan petaninya jauh di atas rata-rata daripada kondisi
petani Indonesia. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk lebih serius
menangani problem kedaulatan pangan (beras) Indonesia. Apabila tidak, mimpi untuk
swasembada beras hanya akan menjadi isapan jempol semata. Jauh melampaui itu,
ketidakseriusan mengurusi pertanian merupakan bukti keterputusan nilai-nilai filsafat
nusantara. Bukankah bangsa ini mengenal Dewi Sri, simbol kesuburan, yang
memiliki makna bahwa bertani adalah bagian dari menjaga dan bersatu dengan alam
dalam harmoni. Selamat hari tani...
0 komentar:
Posting Komentar