Oleh: Abd. Wahid Hasyim
Film
dead poets society menjadi penting
untuk disaksikan bahkan terlebih menjadi bahan kajian mengingat materi yang
diangkat merupakan salah satu hal prinsipil dalam kehidupan berbangsa; yakni problem
pendidikan. Film ini secara garis besar menceritakan sekelompok anak muda yang
bergeliat untuk mendalami karya sastra sebagai media penemuan sosok kedirian
(jati diri). Sekelompok anak muda memiliki gairah yang besar pada puisi sebagai
karya satra tidak lepas dari motivasi dan metode pengajaran yang dilakukan
seorang guru bernama Mr. Keating. Mr. Keating mengajarkan puisi tidak sebatas
sebagai ilmu-pengetahuan yang sekedar dipahami atau untuk memenuhi keperluan
saat ujian, namun lebih dari itu berupaya menyadarkan peserta didik bahwa puisi
adalah nafas kehidupan manusia dan ekspresi kejiwaan yang bebas tanpa
ukuran-ukuran baku. Oleh karenanya, metode pengajaran yang diberikan kepada
peserta didik pun sangat bebas dan ekspresif.
Metode
pengajaran ini pada gilirannya membawa perubahan pada kesadaran peserta didik dalam memahami karya
satra. Lebih dari itu, peserta didik menjadi semakin ekspresif, kritis dan yang
terpenting adalah mentalitas yang semakin berani. Slogan utama sang guru kepada
peserta didiknya ialah “carpe diem” yang artinya “raihlah kesempatan”.
Pengetahuan
sastrawi yang merasuk dalam diri peserta didik semakin lama semakin menjadikan
mereka sebagai manusia-manusia yang ingin bebas dari kungkungan sistem
pendidikan di sekolah mereka. Kehidupan mereka di sekolah yang mulai “menabrak”
aturan pakem yang mapan tentu dianggap sebagai ancaman bagi pihak birokrasi
sekolah. Pihak sekolah akhirnya memaksa sekelompok peserta didik tersebut untuk
menghentikan aktivitas membaca puisi mereka dengan cara otoritatif setelah
salah satu dari mereka bunuh diri karena bersebrangan antara cita-cita sang
anak dan sang ayah. Akhir kata, Mr. Keating dituding oleh sekolah sebagai
penyebab dari “ketidaktertiban” beberapa peserta didik kepada aturan yang
dikehendaki sekolah. Mr. Keating sebagai guru, akhirnya dipecat.
Tanggapan Kritis
Realitas
pendidikan seperti yang tersaji dalam film di atas merupakan potret buram
pendidikan manusia. Bagi penulis sistem pendidikan semacam itu tidak saja
otoritatif namun juga miskin khazanah nilai kemanusiaan. Pendidikan semacam itu
justru mencoba untuk menjinakkan (sterilisasi), ekspresi pemikiran kiritis.
Padahal pendidikan sejatinya adalah
media bagi manusia untuk menjadi manusia yang bermakna. Pendidikan harus mampu
mengantarkan manusia menemukan dirinya sebagai manusia, bukan justru menjebak
peserta didik secara berjemaah untuk jauh dari penemuan dirinya sendiri.
Secara
kontekstual potret problem pendidikan seperti yang diungkap dalam film di atas
juga masih sering ditemui di Indonesia. Menurut
penulis pendidikan Indonesia dewasa ini mengarahkan peserta didik untuk
profesional dalam mencari uang, dan miskin ekspresi-ekspresi dari dimensi
kemanusiaan yang lebih mendasar. Tidak jarang kekritisan peserta didik harus
berbenturan dengan otoritas struktural kelembagaan yang menurut penulis adalah
cara-cara picik membunuh nalar kritis.
Kritik
penulis terhadap film di atas terletak ialah puisi yang dihadirkan sangat
berorientasi individual. Slogan “raihlah kesempatan” lebih bersifat personal
daripada geliat kolektif.
Penulis
menawarkan bahwa sastra harus menjadi alat penyadar bagi peserta didik, minimal
untuk upaya membangun nalar kritis. Pengajaran sastra di Indonesia harusnya tidak
lagi berorientasi pada nilai raport namun lebih dari itu harus menjadi
penggerak dan pintu gerbang menuju daya nalar yang kritis tentang persoaaan
identitas kedirian, persoalaan sosial dan kebangsaan.
0 komentar:
Posting Komentar