Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Selasa, 24 September 2013

MENOLAK ARUS PENJINAKAN (STERILISASI) DALAM PENDIDIKAN


Oleh: Abd. Wahid Hasyim


Film dead poets society menjadi penting untuk disaksikan bahkan terlebih menjadi bahan kajian mengingat materi yang diangkat merupakan salah satu hal prinsipil dalam kehidupan berbangsa; yakni problem pendidikan. Film ini secara garis besar menceritakan sekelompok anak muda yang bergeliat untuk mendalami karya sastra sebagai media penemuan sosok kedirian (jati diri). Sekelompok anak muda memiliki gairah yang besar pada puisi sebagai karya satra tidak lepas dari motivasi dan metode pengajaran yang dilakukan seorang guru bernama Mr. Keating. Mr. Keating mengajarkan puisi tidak sebatas sebagai ilmu-pengetahuan yang sekedar dipahami atau untuk memenuhi keperluan saat ujian, namun lebih dari itu berupaya menyadarkan peserta didik bahwa puisi adalah nafas kehidupan manusia dan ekspresi kejiwaan yang bebas tanpa ukuran-ukuran baku. Oleh karenanya, metode pengajaran yang diberikan kepada peserta didik pun sangat bebas dan ekspresif.
Metode pengajaran ini pada gilirannya membawa perubahan pada  kesadaran peserta didik dalam memahami karya satra. Lebih dari itu, peserta didik menjadi semakin ekspresif, kritis dan yang terpenting adalah mentalitas yang semakin berani. Slogan utama sang guru kepada peserta didiknya ialah “carpe diem” yang artinya “raihlah kesempatan”.
Pengetahuan sastrawi yang merasuk dalam diri peserta didik semakin lama semakin menjadikan mereka sebagai manusia-manusia yang ingin bebas dari kungkungan sistem pendidikan di sekolah mereka. Kehidupan mereka di sekolah yang mulai “menabrak” aturan pakem yang mapan tentu dianggap sebagai ancaman bagi pihak birokrasi sekolah. Pihak sekolah akhirnya memaksa sekelompok peserta didik tersebut untuk menghentikan aktivitas membaca puisi mereka dengan cara otoritatif setelah salah satu dari mereka bunuh diri karena bersebrangan antara cita-cita sang anak dan sang ayah. Akhir kata, Mr. Keating dituding oleh sekolah sebagai penyebab dari “ketidaktertiban” beberapa peserta didik kepada aturan yang dikehendaki sekolah. Mr. Keating sebagai guru, akhirnya dipecat.

Tanggapan Kritis
Realitas pendidikan seperti yang tersaji dalam film di atas merupakan potret buram pendidikan manusia. Bagi penulis sistem pendidikan semacam itu tidak saja otoritatif namun juga miskin khazanah nilai kemanusiaan. Pendidikan semacam itu justru mencoba untuk menjinakkan (sterilisasi), ekspresi pemikiran kiritis. Padahal  pendidikan sejatinya adalah media bagi manusia untuk menjadi manusia yang bermakna. Pendidikan harus mampu mengantarkan manusia menemukan dirinya sebagai manusia, bukan justru menjebak peserta didik secara berjemaah untuk jauh dari penemuan dirinya sendiri.
Secara kontekstual potret problem pendidikan seperti yang diungkap dalam film di atas juga masih sering ditemui di Indonesia.  Menurut penulis pendidikan Indonesia dewasa ini mengarahkan peserta didik untuk profesional dalam mencari uang, dan miskin ekspresi-ekspresi dari dimensi kemanusiaan yang lebih mendasar. Tidak jarang kekritisan peserta didik harus berbenturan dengan otoritas struktural kelembagaan yang menurut penulis adalah cara-cara picik membunuh nalar kritis.
Kritik penulis terhadap film di atas terletak ialah puisi yang dihadirkan sangat berorientasi individual. Slogan “raihlah kesempatan” lebih bersifat personal daripada geliat kolektif.
Penulis menawarkan bahwa sastra harus menjadi alat penyadar bagi peserta didik, minimal untuk upaya membangun nalar kritis. Pengajaran sastra di Indonesia harusnya tidak lagi berorientasi pada nilai raport namun lebih dari itu harus menjadi penggerak dan pintu gerbang menuju daya nalar yang kritis tentang persoaaan identitas kedirian, persoalaan sosial dan kebangsaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share