Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Kamis, 22 April 2010

Angkringan; Mutiara Ekonomi yang Tersembunyi

Kota Yogyakarta sebagai kota pelajar memang sudah dikenal seluruh penjuru nusantara. Keseharian kota yang disibukan oleh deru lalu lalang mahasiswa memberi suasana tersendiri. Seakan tidak berhenti di siang hari, larutnya malam tidak mempengaruhi hingar-bingar kota Yogyakarta. Malam merupakan saat berkumpul atau nongkrong sembari mengisi perut bagi sebagian orang. Sehari penuh telah dililit bermacam aktifitas akibat rasa penat, tentunya malam merupakan saat yang tepat untuk melepas kepenatan tersebut. Nongkrong sepertinya menjadi pilihan tepat.

Melihat dari fenomena di atas, nongkrong sepertinya telah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat Yogyakarta, yang sebagian besar adalah pelajar dan mahasiswa. Melihat nongkrong sebagai sebuah kebutuhan, munculnya tempat makan dengan menghadirkan sentuhan konsep sebagai tempat nongkrong kini hadir. Mulai dari kaki lima hingga tempat nongkrong seperti Cafe-cafe kecilpun telah mewarnai setiap sudut-sudut Yogyakarta. Dari sekian banyak tempat makanan yang buka pada malam hari, ada satu jenis tempat nongkrong sekaligus warung makan yang buka pada malam hari; yang biasa disebut dengan angkringan.

Angkringan berasal dari bahasa Jawa yaitu Angkring yang mempunyai arti duduk santai. Tidak jauh dari asal katanya angkringan sebuah gerobak dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman dengan fasilitas relatif minim yaitu kursi panjang bagi pembeli, ada yang ditambah dengan alas sebagai tempat duduk lesehan.yang bertempat di pinggir ruas jalan (trotoar) di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dengan demikian bisa dikatakan angkringan adalah tempat makan dengan nuansa santai.

Dengan harga yang “bersahabat”, semua jenis kantong dan ditambah dengan suasana santai membuat angkringan sangat populer sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekedar melepas lelah. Mereka menikmati makanan sambil bebas ngobrol; berbagi cerita, mencari inspirasi, atau kadang berdiskusi tentang berbagai hal dari yang ringan sampai serius hingga larut malam.

Dalam sejarahnya, Angkringan muncul di Yogyakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara administratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah yang merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk gantungan hidupnya membuat Mbah Pairo “nekat” mengadu nasib ke kota Yogyakarta.

Boleh jadi Mbah Pairo adalah pionir angkringan di Yogyakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Min (53 tahun), putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Min yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi.

Seiring bergulirnya waktu lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Yogyakarta. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh salah satu media nasional (Kompas), edisi 20 Juni, 2004, saat ini lebih dari 1500 orang menekuni bisnis angkringan di Yogyakarta baik sebagai pedagang, juragan, maupun supplyer makanan.

Angkringan bisa dikatan sebagai salah satu cermin dari masyarakat paguyuban yang menjadi ciri khas masyarakat kita. Kearifan sosial ini tumbuh dan berkembang di tengah kebudayaan urban yang terus merangsek. Angkringan tidak hanya berkembang di tengah masyarakat kampung (bawah), tetapi juga di komunitas urban yang modern dan kosmopolit (atas).

Angkringan yang terkesan pinggiran, telah menjadi penanda kehidupan malam dengan nuansa relatif berbeda. Dari angkringan bermula ide-ide segar dan diskusi, mulai dari tentang budaya sampai pada politik, mulai dari masalah keseharian hingga masalah kondisi politik ekonomi negara dan mulai dari omong kosong hingga yang serius mengalir dengan lancar. Angkringan ternyata mampu pula menjadikan suasana kota Yogyakarta menjadi hidup ketika malam. Ketika banyak restauran, mall, ataupun rumah makan telah tutup, angkringan masih bisa dengan mudah ditemukan di sudut-sudut kota dan sudut kampung. seiring dengan bergulirnya waktu diringi dengan menjamurnya tempat makan dengan konsep nongkrong yang lebih berkelas, angkringan tetap betahan dengan konsepnya sendiri; sederhana!

Angkringan yang notabene merupakan sajian desa namun keberadaannya dapat diterima di kota seperti Yogyakarta dan Solo. Terbukti dengan populernya angkringan di kota-kota tersebut. Boleh jadi angkringan merupakan stereotipe kaum marjinal berkantung cekak yang “beranggotakan” sebagian mahasiswa, tukang becak dan buruh maupun karyawan kelas bawah. Meskipun saat ini hal tersebut tidak lagi berlaku mutlak.

Peminat angkringan pun bukan lagi kaum marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan semata namun juga orang berduit yang bisa makan lebih mewah di restoran. Djadug Feriyanto misalnya, kakak kandung Butet Kartaradjasa yang juga leader kelompok musik Sinten Remen mengaku “jatuh cinta” kepada angkringan. Tidak hanya Djadug beberapa sastrawan, budayawan, olahragawan ataupun public figure ternama seperti Cak Nun (Emha Ainun Najib), Butet Kartaradjasa, Marwoto Kawer hingga Jammie Sandoval pemain asing PSIM asal Chilie ini sering meluangkan waktu malamnya untuk jajan di angkringan.

Sebagai salah satu usaha yang bergerak di sektor informal, angkringan menjadi bagian dari usaha yang tahan dari terpaan krisis ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Daniel Franscisco Lolo, ketua Asosiasi Pedagang Teh Botol DKI Jakarta. Menurutnya sektor informal terbukti tangguh dan sekaligus mampu menjadi peredam gejolak di pasar kerja dengan menampung limpahan jutaan buruh korban PHK. Keberadaan sektor informal inilah yang membuat angka pengangguran dan kemiskinan tidak meledak. Lebih lanjut Lolo-begitu dia biasa disapa-jika dilihat dari realitas tersebut, dibutuhkan ruang kesadaran baru dan pengakuan bersama antara pemerintah dan kalangan industriawan (pngusaha besar) guna mendorong sebuah komitmen bersama dalam pengembangan dan model pemberdayaan yang lebih berpihak pada ekonomi rakyat. Menuruntnya dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan koreksi atas kesalahan dalam pembuatan kebijakan yang lebih berpihak pada usaha besar dan konglomerasi dari masa lalu sampai sekarang, yang sebenarnya dilandasi kenyataan rapuhnya struktur perekonomian yang didominasi oleh segelintir elit.

Pendapat ini juga diamini oleh pengamat ekonomi Avilliani, dia mengatakan sektor informal atau sektor riil tidak akan mendapatkan dampak secara signifikan dari setiap krisis ekonomi, karena menurutnya sektor ini berhubungan langsung antara produsen (pedagang) dengan konsumen dalam kontek transaksi.

Jika dilihat ekonomi sektor informal yang bisa bertahan dan bahkan bisa menanggulangi permasalahan akibat dari ekonomi seperti pengangguran dan lain sebagainya, tentuntanya sektor ini harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dalam hal pemberdayaan dan perlindungan. Namun sampai saat ini pemberdayaan dan perlindungan terhadap para pelaku sektor informal ini masih belum mencapai tingkat maksimal bahkan bisa dikatakan belum ada.

Hernando De Soto, seorang Ekonom dari Peru dalam bukunya The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs In The West And Fails Everywhere Else (London, Bantam Press, 2000/2001), mengingatkan bagaimana menata hak-hak atas kekayaan yang selama ini liar merupakan cara yang paling manjur untuk menyukseskan pengembangan ekonomi. Dia secara global menganjurkan jalan keluar, mengubah seluruh kekayaan rakyat yang selama ini menjadi kekayaan mati menjadi kapital, jadi modal. Dalam artian pemberadayaan dan perlindungan terhadap ekonomi rakyat adalah menjadi sebuah solusi dalam menghimpun pecahan-pecahan hak atas kekayaan rakyat, karena selama ini sektor ekonomi informal kurang mendapat perhatian. Angkringan yang bergerak di sektor informal, sedikitnya telah mengambarkan apa yang ada dalam bayangan pendapat De Soto dalam bukunya tersebut.

Menurut Pengamat Ekonomi UGM, Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro, M. Soc, denyut nadi ekonomi Yogyakarta sangat ditentukan pula oleh keberadaan mereka (pedagang angkringan). Sektor ini telah menyerap tenaga kerja yang besar. Menyelamatkan ekonomi Indonesia pada saat ataupun sebelum krisis 1998. “Istilahnya dulu, sebagai katup pengaman terhadap pasar tenaga kerja yang rigid. Sebagai penyelamat pengangguran. Karena lebih banyak yang mencari kerja daripada jumlah pekerjaan yang ditawarkan,” tambahnya, sembari menjelaskan bahwa sebagian besar angkringan berskala mikro dengan tenaga kerja kurang dari 5 orang. Angkringan juga relatif menggunakan tenaga-tenaga kerja sendiri seperti saudara atau kerabat, sebagai strategi bertahan hidup.

Senada dengan Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul Trust The Social Vitues and The Creation of Posperity, Fukuyama menganalisis strategi bisnis orang cina yang mendunia dengan dasar kekerabatan dan rasa percaya semata. Sebenarnya hal tersebut telah lama lekat dengan bisnis angkringan. Bisnis angkringan dijalankan dengan strategi serupa, trust (kepercayaan). Prinsip kepercayaan ini tidak hanya berlaku antar pemilik (juragan) dengan penjual, namun prinsip ini juga berlaku bagi pembeli. Jajan di angkringan, penjual tidak pernah mencatat pesanan pembeli, apa saja dan berapa jumlah yang dimakan. Pembeli bebas menghitung sendiri apa saja yang telah dinikmati. Memang kesempatan untuk berlaku curang terbuka lebar namun telah ada rasa saling percaya antara mereka.

Bila dilihat lebih jauh, angkringan telah berperan sebagai muara pengembangan ekonomi kota Yogykarta. Di angkringan itulah letak sebuah muara dari pengembangan ekonomi. Angkringan secara tidak langsung menjadi display produk-produk ekonomi masyarakat Yogyakarta yang rata-rata bergerak dalam skala industri rumah tangga. Mulai dari produk makanan, makanan kecil, produk-produk minuman dan sebagainya, yang merupakan bagian produk usaha kecil berskala rumah tangga. Jadi angkringan merupakan metode pemasaran yang baik, artinya muara dari sistem produksi yang ada. Melihat realitas tersebut, sepertinya selama ini kita seakan menutup mata akan sebuah prinsip ekonomi yang berlandaskan kepada kearifan lokal. Sistem ataupun prinsip tersebut ternyata mampu menjawab tantangan zaman dengan tuntutan ekonomi yang serba sulit dan rumit.

(TA,AM,A71)

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share