Sejak krisis 97, ekonomi Indonesia belum stabil. Dampaknya masih terasa. Harga sembako kian melonjak. Rakyat semakin menderita. Kini, ekonomi kita terancam lagi. Diramalkan, imbas krisis global merembet ke financial Indonesia. Bahkan, lebih dahsyat.
Ambruknya beberapa lembaga keuangan AS beberapa waktu lalu, karena kridit macet merupakan awal tergoncangnya kondisis ekonomi dunia. Tak pelak, kesalahan ditudingkan pada kapitalisme, system perekonomian yang dianut Amerika. Krisisis global adalah potret betapa rapuhnya system ekonomi yang melupakan kekuatan local.
Sekarang telah terbukti, krisis telah melanda Indonesia. Nilai tukar rupiah anjlok. Perbankan kemarau likuiditas. Ekpor- impor menjadi lesu, mempengaruhi sector industry. Ribuan buruh terancam PHK, harga BBM dalam negeri berkali-kali mengalami lonjakan, seirama dengan harga minyak dunia. Sebuah ironi, Negara yang kaya akan potensi kekuatan ekonomi informal ikut terpuruk.
Kecemasan mulai muncul, rakyat menunggu langkah konkrit pemerintah. Keseriusan dipertanyakan. Untuk itu, Toha dan Amir dari Senthir mencoba mencari sebuah jawaban dengan melakukan wawancara kepada Prof. Dr. San Afri, ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek), beberapa waktu lalu di kantornya yang terletak di kompleks perumahan dosen kampus Universitas Gadjah Mada. Berikut petikan wawancaranya.
Krisis ekonomi melanda Indonesia, menurut bapak, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat?
Kita reviuw sebentar. Jika kita perhatikan, pada krisis ’97, siapa yang menjerit? Yang menjerit adalah, mereka yang sama namakan pelaku ekonomi angin. Mereka adalah para eksportir, pemain di bursa efek dan saham. Di mana kapitalisme muncul dari jaring-jaring seperti itu.
Adapun rakyat biasa, bukan pelaku ekonomi angin, tidak terlalu parah. Sebagai bukti, perekonomian di pasar Bringharjo, saat krisis, berjalan seperti biasa. Maksudnya, sektor riil tetap kena imbas, tapi tidak terlalu parah. Selain itu, lebih cepat pulih.
Jadi, dampak krisis sebenarnya adalah pada pasar internasional.
Anda bilang, meskipun ekonomi sektor riil tetap terpengaruh krisis tapi tidak terlalu parah, dan cepat pulih, sebenarnya kekuatan apa yang ada dibelakangnya?
Jadi begini, dibelakang ekonomi sektor riil ada kekuatan nilai-nilai institusi lokal. Kerjanya tidak bersisitem. Tetapi, ia merespon secara alamiah, menyesuaikan kebutuhan naluriah manusia. Maksudnya, ketika terjadi krisis, manusia akan menghadapi dengan caranya sendiri. Hal itu, kita sebut sistem sosial. Terbangun diantara mereka, tanpa perumusan.
Contoh paling mudah adalah angkringan. Para pedagang angkringan, mau krisis apa pun, mereka tetap eksis, padahal, system yang berjalan tidak pernah terumuskan. Tidak pernah ada undang-undang yang macam-macam.
Lalu seberapa besar kontribusi ekonomi sektor riil seperti angkringan terhadap perekonomian Yogyakarta?
Saya tidak punya data, tetapi sektor riil itu punya andil besar bagi perekonomian. Apalagi, kita melihat, di jogja, tidak ada industri selain pendidikan itu sendiri.
Kita melihat, usaha sektor riil sudah sangat banyak, katakanlah menjamur, seperti angkringan. Lalu bagaimana mereka menghadapi kenyataan semacam itu untuk bisa survive, terlebih saat krisis seperti sekarang?
Lembaga ekonomi formal itu berjalan sistemik, ini itunya diatur. Tetapi, justru terlalu banyak aturan malah tidak survive. Sedangkan angkringan, kalau kita bilang tidak punya jaring-jaring, tidak juga. Jaringan yang saya maksud, bisa jadi orang datang dari desa ke kota, mencari orang yang bisa menyiapkan dorongan. Lalu, bagi pemasok, mereka tahu, mereka sudah keliling jogja, di mana ada angkringan mereka datangi. Begitu seterusnya.
Nah, pertanyaanya jenuhkah mereka? Menurut saya, pada suatu ketika akan jenuh, tapi dengan sendirinya akan stop. Tidak ada pemasoknya. Itu intinya. Karena mereka mengerti, jika terlalu banyak atau terlalu dekat para pemasok juga enggan.
Intinya, jangan pernah khawatir pada kondisi sektor riil. Secara keseluruhan, rakyat bisa beradaptasi. Alasannya, rakyat punya daya resilensi. Artinya, ada kelenturan dari orang Indonesia, kita selalu adaptasi dan tingkat adaptasi kita bagus. Apapun bentuk krisisnya, semua orang kena imbasnya, tapi mereka tanpa sadar melakukan penyesuaian, kemudian pulih. Mengutip Fukuyama, saat terjadi peralihan peradaban, masyarakat selalu mengalami guncangan. Tapi, manusia menata dengan sendirinya, alamiah.
Menurut saya, dalam hal ini, harus ada peran pemerintah. Dengan cara ikut mengatur dan mengarahkan. Alasannya, proses adaptasi masyarakat bisa lama bisa cepat. Kalau cepat itu lebih bagus, tapi kalau adaptasinya lama itukan problematik. Makanya harus ada intervensi pemerintah, misalnya masyarakat kena bencana alam, itukan tidak mungkin membiarkan mereka melakukan pemulihan sendiri harus ada peran dari pemerintah.
Sebagai akademisi, Anda melihat pemerintah sendiri, apakah cukup concern memberikan perhatianya pada sektor riil?
Saya pikir, pemerintah cukup perhatian, karena ini sudah menjadi konsesus Nasional, daerah pun ikut support. Kalau kita periksa anggaran pemerintah, dari pusat sampai daerah, gerakannya relativ sama. Bagaimana Job Oportunity dibuka, dana-dana investasi dikembangkan, pembinaan-pembinaan ekonomi kecil seperti UKM dan UMKM. Konkritnya, munculnya PNPM (Program Nasional Pengembangan Mandiri) atau KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Namun, tetap saja program itu tidak lepas dari kelemahan. Semisal pada KUR, Bunganya 16%, itu kan terlalu besar, ini yang perlu kita kritisi. Meski demikian, rakyat tetap ambil. Nah, saat krisis seperti sekarang, rakyat agak ngerem, bukan tidak mau tapi ngerem. Itu satu bukti bahwa rakyat juga berfikir. Satu lagi, pada PNPM, sebenarnya tidak ada yang mandiri, semuanya dibuatkan.
Pada era sekarang, apakah angkringan mampu bersaing dengan misalnya McDonal atau KFC dan sejenisnya yang lebih bergengsi?
Ya, itu ada kaitannya dengan modernisasi, pencitraan. Jika dikaitkan dengan angkringan, angkringan ini pencitraan kelas bawah. Tapi yang perlu diperhatikan, penggemarnya tidak semua dari kelas bawah. Ini bisa kita buktikan, anak-anak kelas menengah keatas pun makan di angkringan. Di Menteng (Jakarta) itu ada nasi kucing khas Yogya. Ini berarti ia sudah keluar, tidak hanya di Yogya. Jadi, pencitraan angkringan dengan nasi kucing itu berhasil bikin orang penasaran. Dari segi namanya nasi kucing, membuat orang ingin tahu dan mencobanya.
Ditambah lagi keunggulan angkringan pada aspek sosiologisnya. Angkringan itu suasananya alamiah. Kedua, obrolan di angkringan itu obrolan rakyat, tidak ada roh emosi, semua orang ingin berempati terhadap suasana yang betul-betul kelas rakyat, jadi obrolannya bebas. Ketiga, free space. Keempat, harganya relative murah. Dan kelima, nostalgia.
Menurut anda, bagaimana angkringan ke depan melihat ada potensi menjadi komoditas kebudayaan?
Begini, secara sosio orang Yogya itu unik dengan keberagaman komoditas jawanya. Jadi kesan yang harus dipelajari dari orang Yogya itu sederhana. Kalau ke depan ingin dibikin paguyuban, itu boleh-boleh saja yang penting jangan merubah pencitraannya. Yang saya takutkan ketika dibuat paguyuban, masuk kekuatan modal, maka nantinya itu akan hancur. Yang kita butuhkan adalah bagaimana angkringan diorganisasikan supaya tidak terjadi bentrok antara sesama pemasok makanan. Itu jauh lebih penting.
Nah! sebenrya ada sisi lain kita melihat angkringan. Orang angkringan itu sebenarnya bukan orang Yogya, tapi pendatang. Persoalannya apakah orang Yogya tidak mau itu? Kalau begitu angkringan menjadi stimulus dari pergerakan urban. Kalau case nya seperti itu seharusnya ada perlindungan pada mereka. Tidak usahlah ada pemeriksaan kartu penduduk seperti itu. Padahal mereka juga kan dipungut iuran oleh pemerintah.
Kalau demikian, berarti masalahnya adalah dana-dana yang disediakan oleh pemerintah tidak bisa diberikan oleh mereka, begitu?
Ya itu maksud saya, ujung-ujungnya seperti itu, karena memang mereka tidak domisili dan juga belum ada mekanisme yang mengatur, apa mereka boleh ikut KUR atau tidak. Meski demikian, sesuatu yang survive menurut saya, tidak butuh intervensi inovasi-inovasi dari luar, kalau mengorganisir itu kebutuhan mereka baru kita fasilitasi.
(TA,AM,A7I)
Ambruknya beberapa lembaga keuangan AS beberapa waktu lalu, karena kridit macet merupakan awal tergoncangnya kondisis ekonomi dunia. Tak pelak, kesalahan ditudingkan pada kapitalisme, system perekonomian yang dianut Amerika. Krisisis global adalah potret betapa rapuhnya system ekonomi yang melupakan kekuatan local.
Sekarang telah terbukti, krisis telah melanda Indonesia. Nilai tukar rupiah anjlok. Perbankan kemarau likuiditas. Ekpor- impor menjadi lesu, mempengaruhi sector industry. Ribuan buruh terancam PHK, harga BBM dalam negeri berkali-kali mengalami lonjakan, seirama dengan harga minyak dunia. Sebuah ironi, Negara yang kaya akan potensi kekuatan ekonomi informal ikut terpuruk.
Kecemasan mulai muncul, rakyat menunggu langkah konkrit pemerintah. Keseriusan dipertanyakan. Untuk itu, Toha dan Amir dari Senthir mencoba mencari sebuah jawaban dengan melakukan wawancara kepada Prof. Dr. San Afri, ketua Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek), beberapa waktu lalu di kantornya yang terletak di kompleks perumahan dosen kampus Universitas Gadjah Mada. Berikut petikan wawancaranya.
Krisis ekonomi melanda Indonesia, menurut bapak, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat?
Kita reviuw sebentar. Jika kita perhatikan, pada krisis ’97, siapa yang menjerit? Yang menjerit adalah, mereka yang sama namakan pelaku ekonomi angin. Mereka adalah para eksportir, pemain di bursa efek dan saham. Di mana kapitalisme muncul dari jaring-jaring seperti itu.
Adapun rakyat biasa, bukan pelaku ekonomi angin, tidak terlalu parah. Sebagai bukti, perekonomian di pasar Bringharjo, saat krisis, berjalan seperti biasa. Maksudnya, sektor riil tetap kena imbas, tapi tidak terlalu parah. Selain itu, lebih cepat pulih.
Jadi, dampak krisis sebenarnya adalah pada pasar internasional.
Anda bilang, meskipun ekonomi sektor riil tetap terpengaruh krisis tapi tidak terlalu parah, dan cepat pulih, sebenarnya kekuatan apa yang ada dibelakangnya?
Jadi begini, dibelakang ekonomi sektor riil ada kekuatan nilai-nilai institusi lokal. Kerjanya tidak bersisitem. Tetapi, ia merespon secara alamiah, menyesuaikan kebutuhan naluriah manusia. Maksudnya, ketika terjadi krisis, manusia akan menghadapi dengan caranya sendiri. Hal itu, kita sebut sistem sosial. Terbangun diantara mereka, tanpa perumusan.
Contoh paling mudah adalah angkringan. Para pedagang angkringan, mau krisis apa pun, mereka tetap eksis, padahal, system yang berjalan tidak pernah terumuskan. Tidak pernah ada undang-undang yang macam-macam.
Lalu seberapa besar kontribusi ekonomi sektor riil seperti angkringan terhadap perekonomian Yogyakarta?
Saya tidak punya data, tetapi sektor riil itu punya andil besar bagi perekonomian. Apalagi, kita melihat, di jogja, tidak ada industri selain pendidikan itu sendiri.
Kita melihat, usaha sektor riil sudah sangat banyak, katakanlah menjamur, seperti angkringan. Lalu bagaimana mereka menghadapi kenyataan semacam itu untuk bisa survive, terlebih saat krisis seperti sekarang?
Lembaga ekonomi formal itu berjalan sistemik, ini itunya diatur. Tetapi, justru terlalu banyak aturan malah tidak survive. Sedangkan angkringan, kalau kita bilang tidak punya jaring-jaring, tidak juga. Jaringan yang saya maksud, bisa jadi orang datang dari desa ke kota, mencari orang yang bisa menyiapkan dorongan. Lalu, bagi pemasok, mereka tahu, mereka sudah keliling jogja, di mana ada angkringan mereka datangi. Begitu seterusnya.
Nah, pertanyaanya jenuhkah mereka? Menurut saya, pada suatu ketika akan jenuh, tapi dengan sendirinya akan stop. Tidak ada pemasoknya. Itu intinya. Karena mereka mengerti, jika terlalu banyak atau terlalu dekat para pemasok juga enggan.
Intinya, jangan pernah khawatir pada kondisi sektor riil. Secara keseluruhan, rakyat bisa beradaptasi. Alasannya, rakyat punya daya resilensi. Artinya, ada kelenturan dari orang Indonesia, kita selalu adaptasi dan tingkat adaptasi kita bagus. Apapun bentuk krisisnya, semua orang kena imbasnya, tapi mereka tanpa sadar melakukan penyesuaian, kemudian pulih. Mengutip Fukuyama, saat terjadi peralihan peradaban, masyarakat selalu mengalami guncangan. Tapi, manusia menata dengan sendirinya, alamiah.
Menurut saya, dalam hal ini, harus ada peran pemerintah. Dengan cara ikut mengatur dan mengarahkan. Alasannya, proses adaptasi masyarakat bisa lama bisa cepat. Kalau cepat itu lebih bagus, tapi kalau adaptasinya lama itukan problematik. Makanya harus ada intervensi pemerintah, misalnya masyarakat kena bencana alam, itukan tidak mungkin membiarkan mereka melakukan pemulihan sendiri harus ada peran dari pemerintah.
Sebagai akademisi, Anda melihat pemerintah sendiri, apakah cukup concern memberikan perhatianya pada sektor riil?
Saya pikir, pemerintah cukup perhatian, karena ini sudah menjadi konsesus Nasional, daerah pun ikut support. Kalau kita periksa anggaran pemerintah, dari pusat sampai daerah, gerakannya relativ sama. Bagaimana Job Oportunity dibuka, dana-dana investasi dikembangkan, pembinaan-pembinaan ekonomi kecil seperti UKM dan UMKM. Konkritnya, munculnya PNPM (Program Nasional Pengembangan Mandiri) atau KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Namun, tetap saja program itu tidak lepas dari kelemahan. Semisal pada KUR, Bunganya 16%, itu kan terlalu besar, ini yang perlu kita kritisi. Meski demikian, rakyat tetap ambil. Nah, saat krisis seperti sekarang, rakyat agak ngerem, bukan tidak mau tapi ngerem. Itu satu bukti bahwa rakyat juga berfikir. Satu lagi, pada PNPM, sebenarnya tidak ada yang mandiri, semuanya dibuatkan.
Pada era sekarang, apakah angkringan mampu bersaing dengan misalnya McDonal atau KFC dan sejenisnya yang lebih bergengsi?
Ya, itu ada kaitannya dengan modernisasi, pencitraan. Jika dikaitkan dengan angkringan, angkringan ini pencitraan kelas bawah. Tapi yang perlu diperhatikan, penggemarnya tidak semua dari kelas bawah. Ini bisa kita buktikan, anak-anak kelas menengah keatas pun makan di angkringan. Di Menteng (Jakarta) itu ada nasi kucing khas Yogya. Ini berarti ia sudah keluar, tidak hanya di Yogya. Jadi, pencitraan angkringan dengan nasi kucing itu berhasil bikin orang penasaran. Dari segi namanya nasi kucing, membuat orang ingin tahu dan mencobanya.
Ditambah lagi keunggulan angkringan pada aspek sosiologisnya. Angkringan itu suasananya alamiah. Kedua, obrolan di angkringan itu obrolan rakyat, tidak ada roh emosi, semua orang ingin berempati terhadap suasana yang betul-betul kelas rakyat, jadi obrolannya bebas. Ketiga, free space. Keempat, harganya relative murah. Dan kelima, nostalgia.
Menurut anda, bagaimana angkringan ke depan melihat ada potensi menjadi komoditas kebudayaan?
Begini, secara sosio orang Yogya itu unik dengan keberagaman komoditas jawanya. Jadi kesan yang harus dipelajari dari orang Yogya itu sederhana. Kalau ke depan ingin dibikin paguyuban, itu boleh-boleh saja yang penting jangan merubah pencitraannya. Yang saya takutkan ketika dibuat paguyuban, masuk kekuatan modal, maka nantinya itu akan hancur. Yang kita butuhkan adalah bagaimana angkringan diorganisasikan supaya tidak terjadi bentrok antara sesama pemasok makanan. Itu jauh lebih penting.
Nah! sebenrya ada sisi lain kita melihat angkringan. Orang angkringan itu sebenarnya bukan orang Yogya, tapi pendatang. Persoalannya apakah orang Yogya tidak mau itu? Kalau begitu angkringan menjadi stimulus dari pergerakan urban. Kalau case nya seperti itu seharusnya ada perlindungan pada mereka. Tidak usahlah ada pemeriksaan kartu penduduk seperti itu. Padahal mereka juga kan dipungut iuran oleh pemerintah.
Kalau demikian, berarti masalahnya adalah dana-dana yang disediakan oleh pemerintah tidak bisa diberikan oleh mereka, begitu?
Ya itu maksud saya, ujung-ujungnya seperti itu, karena memang mereka tidak domisili dan juga belum ada mekanisme yang mengatur, apa mereka boleh ikut KUR atau tidak. Meski demikian, sesuatu yang survive menurut saya, tidak butuh intervensi inovasi-inovasi dari luar, kalau mengorganisir itu kebutuhan mereka baru kita fasilitasi.
(TA,AM,A7I)
0 komentar:
Posting Komentar