Oleh : Brigitta Isabella
Hidup harus bergaya. Makan salad lebih bergaya daripada makan daun singkong. Menghisap rokok juga lebih bergaya daripada mengunyah sirih, dan minum cappucino di café tentu saja lebih bergaya daripada minum kopi tubruk di warteg, walaupun mungkin bahan dasarnya sama saja.
Kebutuhan alami, seperti sandang, pangan dan papan adalah hal kuno yang sekarang sudah dinomorduakan. Yang utama sekarang adalah kebutuhan sosial. Walaupun makan daun singkong lebih sehat—dan tentu saja lebih murah, tapi tentu itu tidak bergaya, ndeso, begitu katanya. Makan salad ala barat di café dengan saus thousand island dari Amerika tentu membuat sang pemakan terlihat lebih bergaya, dan lebih dianggap sebagai “orang”. Apa yang dimaksud dengan definisi “orang” dalam konteks harapan banyak orangtua atas anak-anaknya? Jadi “orang” ternyata belum cukup hanya dengan bergaji 2 juta per bulan, makan tempe tahu setiap hari dan menaiki sepeda motor, walaupun hidupnya lurus sesuai perintah agama. Menjadi “orang” artinya naik mobil mewah, punya rumah di Pondok Indah dan mampu makan sushi, steak atau spageti di restoran dengan daftar harga yang banyak angka nol-nya—walaupun ternyata uang yang dibelanjakan adalah hasil korupsi (kalau nggak ketahuan gapapa).
Kebutuhan sosial adalah bukti betapa manusia sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain. Manusia ialah mahluk sosial, yang bukan saja saling membutuhkan untuk bertahan hidup, tapi juga membutuhkan pengakuan orang lain untuk bereksistensi. Bukan lagi ”I think therefore I am” melainkan ”They see me therefore I am”. Manusia ingin dilihat, dipandang sebagai orang yang mapan dan sukses. Sukses disini bukan berarti hanya sekedar menjalankan keluarga yang sakinah sesuai syariah, melainkan sukses usaha dan bisnisnya, sehingga mampu mampu menjalankan gaya hidup mewah semacam main golf setiap hari minggu atau pelesir ke luar negri setiap hari libur. Barang-barang yang mencolok mata—seperti berlian, mobil mewah dan rumah seluas lapangan sepakbola—tidak pernah menghasilkan kesenangan, kekuasaan, atau kenyamanan, mereka hanya memperlihatkan kekuasaan untuk memperolehnya, yang tidak dapat diraih oleh orang lain.
Sebuah gaya bisa menjadi identitas seorang. Baju serba hitam untuk anak metal, tas bermerek untuk ibu-ibu pejabat dan kemeja berdasi untuk para eksekutif muda. Tapi identitas tersebut sifatnya semu dan semata hanya di permukaan. Pembentukan citra lewat apa yang dipakai, dimakan dan digunakan oleh seseorang adalah sebuah gejala hilangnya ke”aku”an dalam masyarakat modern. Derasnya arus modernisasi yang serba memberhalakan citra menghilangkan waktu permenungan manusia atas siapa sebenarnya dirinya. ”Aku” bukan lagi ”aku” sebagaimana siapa diri kita sebenarnya, melainkan “aku” adalah apa yang kupakai, apa yang kumakan dan apa yang kukendarai. Dan ternyata, sebenarnya, apa yang aku pakai, makan dan aku kendarai juga bukan betul-betul apa yang aku inginkan, melainkan lebih kepada apa yang orang kebanyakan anggap bagus dan ”masa kini”. Kita membeli kopi Starbucks seharga Rp. 30.000 per gelas hanya agar diterima dilingkungan orang-orang bergaya. Kita memakai dasi yang mencekik di tengah udara Jogja yang panas agar disangka eksekutif. Kita menjadi insinyur agar dapat dianggap mapan, bukan karena kita tertarik di bidang teknik. Apakah itu sebuah pilihan?
Kita telah menjadi korban dari sebuah gaya. Di rumah, mungkin kita lebih suka makan nasi uduk dan petai dengan tangan sambil menangkringkan kaki diatas kursi. Tapi kebiasaan tersebut tidak bisa kita tampilkan dalam sebuah acara gala dinner yang menggunakan pedoman table manner agar dianggap beradab. Tujuan peradaban adalah untuk memudahkan kehidupan manusia, tapi kenapa kita harus direpotkan memilih-milih sendok mana yang untuk sup, sendok mana yang untuk nasi, dan sebagainya dan sebagainya? Imej-imej yang ada di meja makan mewah bukanlah siapa diri kita sebenarnya, melainkan imej yang kita ingin orang lain lihat dari kita. Tak jarang kita menyiksa diri kita dengan imej palsu tersebut. Kenapa? Atas nama gaya hidup, tentu saja!
Hidup harus bergaya. Makan salad lebih bergaya daripada makan daun singkong. Menghisap rokok juga lebih bergaya daripada mengunyah sirih, dan minum cappucino di café tentu saja lebih bergaya daripada minum kopi tubruk di warteg, walaupun mungkin bahan dasarnya sama saja.
Kebutuhan alami, seperti sandang, pangan dan papan adalah hal kuno yang sekarang sudah dinomorduakan. Yang utama sekarang adalah kebutuhan sosial. Walaupun makan daun singkong lebih sehat—dan tentu saja lebih murah, tapi tentu itu tidak bergaya, ndeso, begitu katanya. Makan salad ala barat di café dengan saus thousand island dari Amerika tentu membuat sang pemakan terlihat lebih bergaya, dan lebih dianggap sebagai “orang”. Apa yang dimaksud dengan definisi “orang” dalam konteks harapan banyak orangtua atas anak-anaknya? Jadi “orang” ternyata belum cukup hanya dengan bergaji 2 juta per bulan, makan tempe tahu setiap hari dan menaiki sepeda motor, walaupun hidupnya lurus sesuai perintah agama. Menjadi “orang” artinya naik mobil mewah, punya rumah di Pondok Indah dan mampu makan sushi, steak atau spageti di restoran dengan daftar harga yang banyak angka nol-nya—walaupun ternyata uang yang dibelanjakan adalah hasil korupsi (kalau nggak ketahuan gapapa).
Kebutuhan sosial adalah bukti betapa manusia sangat membutuhkan pengakuan dari orang lain. Manusia ialah mahluk sosial, yang bukan saja saling membutuhkan untuk bertahan hidup, tapi juga membutuhkan pengakuan orang lain untuk bereksistensi. Bukan lagi ”I think therefore I am” melainkan ”They see me therefore I am”. Manusia ingin dilihat, dipandang sebagai orang yang mapan dan sukses. Sukses disini bukan berarti hanya sekedar menjalankan keluarga yang sakinah sesuai syariah, melainkan sukses usaha dan bisnisnya, sehingga mampu mampu menjalankan gaya hidup mewah semacam main golf setiap hari minggu atau pelesir ke luar negri setiap hari libur. Barang-barang yang mencolok mata—seperti berlian, mobil mewah dan rumah seluas lapangan sepakbola—tidak pernah menghasilkan kesenangan, kekuasaan, atau kenyamanan, mereka hanya memperlihatkan kekuasaan untuk memperolehnya, yang tidak dapat diraih oleh orang lain.
Sebuah gaya bisa menjadi identitas seorang. Baju serba hitam untuk anak metal, tas bermerek untuk ibu-ibu pejabat dan kemeja berdasi untuk para eksekutif muda. Tapi identitas tersebut sifatnya semu dan semata hanya di permukaan. Pembentukan citra lewat apa yang dipakai, dimakan dan digunakan oleh seseorang adalah sebuah gejala hilangnya ke”aku”an dalam masyarakat modern. Derasnya arus modernisasi yang serba memberhalakan citra menghilangkan waktu permenungan manusia atas siapa sebenarnya dirinya. ”Aku” bukan lagi ”aku” sebagaimana siapa diri kita sebenarnya, melainkan “aku” adalah apa yang kupakai, apa yang kumakan dan apa yang kukendarai. Dan ternyata, sebenarnya, apa yang aku pakai, makan dan aku kendarai juga bukan betul-betul apa yang aku inginkan, melainkan lebih kepada apa yang orang kebanyakan anggap bagus dan ”masa kini”. Kita membeli kopi Starbucks seharga Rp. 30.000 per gelas hanya agar diterima dilingkungan orang-orang bergaya. Kita memakai dasi yang mencekik di tengah udara Jogja yang panas agar disangka eksekutif. Kita menjadi insinyur agar dapat dianggap mapan, bukan karena kita tertarik di bidang teknik. Apakah itu sebuah pilihan?
Kita telah menjadi korban dari sebuah gaya. Di rumah, mungkin kita lebih suka makan nasi uduk dan petai dengan tangan sambil menangkringkan kaki diatas kursi. Tapi kebiasaan tersebut tidak bisa kita tampilkan dalam sebuah acara gala dinner yang menggunakan pedoman table manner agar dianggap beradab. Tujuan peradaban adalah untuk memudahkan kehidupan manusia, tapi kenapa kita harus direpotkan memilih-milih sendok mana yang untuk sup, sendok mana yang untuk nasi, dan sebagainya dan sebagainya? Imej-imej yang ada di meja makan mewah bukanlah siapa diri kita sebenarnya, melainkan imej yang kita ingin orang lain lihat dari kita. Tak jarang kita menyiksa diri kita dengan imej palsu tersebut. Kenapa? Atas nama gaya hidup, tentu saja!
Brigitta Isabella
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
0 komentar:
Posting Komentar