Oleh: Suluh Pamuji W.
(Cerpen ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Aku dan kau, siapa yang bagaimana? Okey. Biar aku jawab. Siapa? Aku sebagai aku. Dan kau sebagai kau. Lalu. Aku dan kau yang bagaimana? Aku si jelek yang bisu tuli. Sedangkan kau si cantik yang tuna netra. Cukup? Kalau sudah cukup kisah ini akan kumulai.
Kau tahu? Kenyataan yang membentuk siapa dan bagaimana kita itu. Ternyata membuatku tidak memilih untuk menempuh jalan tercepat menuju dirimu. Karena jalan memutar untuk mengenal dirimu secara lebih perlahan. Menurutku lebih menarik. Karena dengan begitu aku jadi bisa melihatmu dari banyak sudut. Walaupun rasa penasaran akan sebuah hasil akhir menjadi lebih panjang dan tak tertahankan: apakah suatu saat aku bisa mengajakmu berbincang, tapi dengan cara yang sedikit lain?
Baiklah. Begini saja. Aku ingin jujur padamu. Kalau aku tak pernah tahu apa nama kisah yang saat ini sedang berlangsung. Kecuali keterpesonaan yang datang mendadak di sore hari. Waktu itu langit berwarna jingga-sephia. Dan kita berada di sebuah tempat yang sama. Kau duduk sambil memangku rahasia. Dan aku berdiri menerawang. Membelakangimu. Waktu itu aku ingin mengajakmu berbincang dengan cara yang sedikit lain. Tapi keberanianku mendadak disapu habis oleh angin.
Lalu pada sore yang lain. Aku melihatmu berjalan ke depan sambil membaca buku tentang masa lalumu. Sebuah masa lalu yang mungkin membuatmu sesak nafas. Aku ingin sekali menolongmu. Tapi aku tak ingin bergerak langsung menuju dirimu. Aku ingin menempuh jalan memutar lebih dulu. Agar aku bisa melihat dirimu dari banyak sudut. Semoga kau tidak buru-buru pergi meninggalkan tempat dudukmu. Seperti penglihatan yang buru-buru pergi meninggalkan matamu.
Alur dari kisah ini selanjutnya mungkin lebih tersengal. Seperti seseorang yang ragu untuk meneteskan air mata ketika dadanya padat oleh kesedihan. Sebaiknya aku tidak mengirim banyak isyarat kepadamu. Karena aku takut untuk melukaimu dengan cara komunikasi yang melahirkan batas dan jarak itu. Ah! Siapa yang memahat kisah ini lebih dingin dari sebelumnya. Hingga membuatku sangat menggigil untuk meneruskannya.
Semoga kau baik-baik saja dengan cahaya yang tak bisa direspon oleh matamu. Dan aku juga baik-baik saja dengan keterbatasan berbicara dan keheningan pada telingaku. Tapi perlu kau tahu. Aku pernah beberapa kali diremas kesadaran. Bahwa diriku ini tidak sedang baik-baik saja. Apalagi ketika aku terdiam di dalam ruang tunggu tanpa seorang pun di situ. Sendiri. Sepi. Atau ketika aku berada di tengah kerumunan orang “normal”. Aku merasa menjadi sangat berbeda dari mereka. Karena kerumunan sering membuat kesepakatan yang berasal dari dominasi dan hieraki.
Dari kenyataan itu, aku jadi lebih tahu hubungan antara lelah dan air mata. Hubungan itu kutemukan ketika aku tak henti membuat gerak. Maksudku gerak untuk menjadi sama. Tapi kemudian aku malah melahirkan sesuatu bernama kesia-siaan. Kemudian kesia-siaan meninggal, tepat ketika aku menemukanmu. Aku seperti menemukan tujuan baru.
Tapi setelah itu. Tahukah kau?! Beberapa kisah tanpa inisial semakin banyak menjejali diriku. Aku tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin penyebabnya adalah masalah tersembunyi yang sedang kuhadapi. Masalah tersebut bisa jadi adalah masalah komunikasi antara kau dan aku. Tahukah kau? Jiwaku berombak ketika memikirkan itu. Bahwa kita adalah dua manusia dengan indera yang tak lengkap. Yang sialnya bermukim di dalam dunia yang janggal dan diskriminatif.
Ah! Seandainya saja kau bisa melihat dan menangkap isyarat yang kususun. Maka aku tidak akan kelimpungan untuk mengatakan: aku jatuh cinta padamu, sungguh, aku jatuh cinta padamu. Tapi aku harus buru-buru sadar. Kalau saat itu. Aku hanyalah seseorang yang masih tahu sedikit tentang dirimu: kau adalah perempuan yang mungkin tidak sedang menunggu apapun. Entahlah sesuatu apa yang membuatku berfikir demikian. Tapi jika pikiranku benar. Aku akan berusaha untuk menjadi sesuatu yang kau tunggu.
Pada sore yang lain lagi. Tepat ketika angin timur berkemas menuju barat. Aku memutuskan untuk berani mendekatimu. Dengan jarak yang lebih dekat lagi tentunya. Padahal jantungku selalu berdegup lebih kencang. Tiap kali aku berada satu meter lebih dekat dari tempatmu duduk. Tapi, ah… Aku tak peduli. Aku harus berani.
Singkat cerita. Aku mencoba mendekatimu dengan perlahan. Aku harap derap sepatuku dan degup jantungku tidak memicu ketakutanmu. Karena aku ingin kau tetap nyaman. Sekarang aku sudah berada di sampingmu. Dan kau tampak menyadarinya. Lalu kau mencoba melemparkan senyum kepadaku. Walaupun kearah yang sedikit salah. Aku membalasnya.
Beberapa menit kemudian. Aku memberanikan diri mengajakmu berbincang dengan cara yang biasa. Dan tentu saja dahimu mengernyit. Bingung. Karena aku bisu. Begitupun sebaliknya, semisal kau juga mencoba mengajakku berbincang dengan cara yang biasa. Dahiku juga pasti akan mengernyit. Bingung. Karena aku tuli.
Istriku, apakah kau ingat kejadian pada sore dulu? Jika saat itu kau tidak berani memutuskan untuk menyentuh tangan orang asing di sebelahmu. Isyarat yang kususun dari sepuluh jemariku. Tidak akan pernah kau mengerti. Karena kita memang harus berbincang, tapi dengan cara yang sedikit lain. Satu lagi. Mungkin aku juga tak akan pernah jadi suamimu dan kau juga tak akan pernah jadi istriku.
(Cerpen ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Aku dan kau, siapa yang bagaimana? Okey. Biar aku jawab. Siapa? Aku sebagai aku. Dan kau sebagai kau. Lalu. Aku dan kau yang bagaimana? Aku si jelek yang bisu tuli. Sedangkan kau si cantik yang tuna netra. Cukup? Kalau sudah cukup kisah ini akan kumulai.
Kau tahu? Kenyataan yang membentuk siapa dan bagaimana kita itu. Ternyata membuatku tidak memilih untuk menempuh jalan tercepat menuju dirimu. Karena jalan memutar untuk mengenal dirimu secara lebih perlahan. Menurutku lebih menarik. Karena dengan begitu aku jadi bisa melihatmu dari banyak sudut. Walaupun rasa penasaran akan sebuah hasil akhir menjadi lebih panjang dan tak tertahankan: apakah suatu saat aku bisa mengajakmu berbincang, tapi dengan cara yang sedikit lain?
***
Baiklah. Begini saja. Aku ingin jujur padamu. Kalau aku tak pernah tahu apa nama kisah yang saat ini sedang berlangsung. Kecuali keterpesonaan yang datang mendadak di sore hari. Waktu itu langit berwarna jingga-sephia. Dan kita berada di sebuah tempat yang sama. Kau duduk sambil memangku rahasia. Dan aku berdiri menerawang. Membelakangimu. Waktu itu aku ingin mengajakmu berbincang dengan cara yang sedikit lain. Tapi keberanianku mendadak disapu habis oleh angin.
Lalu pada sore yang lain. Aku melihatmu berjalan ke depan sambil membaca buku tentang masa lalumu. Sebuah masa lalu yang mungkin membuatmu sesak nafas. Aku ingin sekali menolongmu. Tapi aku tak ingin bergerak langsung menuju dirimu. Aku ingin menempuh jalan memutar lebih dulu. Agar aku bisa melihat dirimu dari banyak sudut. Semoga kau tidak buru-buru pergi meninggalkan tempat dudukmu. Seperti penglihatan yang buru-buru pergi meninggalkan matamu.
Alur dari kisah ini selanjutnya mungkin lebih tersengal. Seperti seseorang yang ragu untuk meneteskan air mata ketika dadanya padat oleh kesedihan. Sebaiknya aku tidak mengirim banyak isyarat kepadamu. Karena aku takut untuk melukaimu dengan cara komunikasi yang melahirkan batas dan jarak itu. Ah! Siapa yang memahat kisah ini lebih dingin dari sebelumnya. Hingga membuatku sangat menggigil untuk meneruskannya.
***
Semoga kau baik-baik saja dengan cahaya yang tak bisa direspon oleh matamu. Dan aku juga baik-baik saja dengan keterbatasan berbicara dan keheningan pada telingaku. Tapi perlu kau tahu. Aku pernah beberapa kali diremas kesadaran. Bahwa diriku ini tidak sedang baik-baik saja. Apalagi ketika aku terdiam di dalam ruang tunggu tanpa seorang pun di situ. Sendiri. Sepi. Atau ketika aku berada di tengah kerumunan orang “normal”. Aku merasa menjadi sangat berbeda dari mereka. Karena kerumunan sering membuat kesepakatan yang berasal dari dominasi dan hieraki.
Dari kenyataan itu, aku jadi lebih tahu hubungan antara lelah dan air mata. Hubungan itu kutemukan ketika aku tak henti membuat gerak. Maksudku gerak untuk menjadi sama. Tapi kemudian aku malah melahirkan sesuatu bernama kesia-siaan. Kemudian kesia-siaan meninggal, tepat ketika aku menemukanmu. Aku seperti menemukan tujuan baru.
Tapi setelah itu. Tahukah kau?! Beberapa kisah tanpa inisial semakin banyak menjejali diriku. Aku tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin penyebabnya adalah masalah tersembunyi yang sedang kuhadapi. Masalah tersebut bisa jadi adalah masalah komunikasi antara kau dan aku. Tahukah kau? Jiwaku berombak ketika memikirkan itu. Bahwa kita adalah dua manusia dengan indera yang tak lengkap. Yang sialnya bermukim di dalam dunia yang janggal dan diskriminatif.
Ah! Seandainya saja kau bisa melihat dan menangkap isyarat yang kususun. Maka aku tidak akan kelimpungan untuk mengatakan: aku jatuh cinta padamu, sungguh, aku jatuh cinta padamu. Tapi aku harus buru-buru sadar. Kalau saat itu. Aku hanyalah seseorang yang masih tahu sedikit tentang dirimu: kau adalah perempuan yang mungkin tidak sedang menunggu apapun. Entahlah sesuatu apa yang membuatku berfikir demikian. Tapi jika pikiranku benar. Aku akan berusaha untuk menjadi sesuatu yang kau tunggu.
Pada sore yang lain lagi. Tepat ketika angin timur berkemas menuju barat. Aku memutuskan untuk berani mendekatimu. Dengan jarak yang lebih dekat lagi tentunya. Padahal jantungku selalu berdegup lebih kencang. Tiap kali aku berada satu meter lebih dekat dari tempatmu duduk. Tapi, ah… Aku tak peduli. Aku harus berani.
Singkat cerita. Aku mencoba mendekatimu dengan perlahan. Aku harap derap sepatuku dan degup jantungku tidak memicu ketakutanmu. Karena aku ingin kau tetap nyaman. Sekarang aku sudah berada di sampingmu. Dan kau tampak menyadarinya. Lalu kau mencoba melemparkan senyum kepadaku. Walaupun kearah yang sedikit salah. Aku membalasnya.
Beberapa menit kemudian. Aku memberanikan diri mengajakmu berbincang dengan cara yang biasa. Dan tentu saja dahimu mengernyit. Bingung. Karena aku bisu. Begitupun sebaliknya, semisal kau juga mencoba mengajakku berbincang dengan cara yang biasa. Dahiku juga pasti akan mengernyit. Bingung. Karena aku tuli.
***
Istriku, apakah kau ingat kejadian pada sore dulu? Jika saat itu kau tidak berani memutuskan untuk menyentuh tangan orang asing di sebelahmu. Isyarat yang kususun dari sepuluh jemariku. Tidak akan pernah kau mengerti. Karena kita memang harus berbincang, tapi dengan cara yang sedikit lain. Satu lagi. Mungkin aku juga tak akan pernah jadi suamimu dan kau juga tak akan pernah jadi istriku.
Suluh Pamuji
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
0 komentar:
Posting Komentar