Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Senin, 26 April 2010

Sosialisme Indonesia

(Resensi ini dimuat di majalah Senthir edisi I)

Judul : Sosialisme Indonesia
Penulis : Dr. H. Roeslan Abdulgani
Penerbit : Jajasan Prapantja
Terbit : 1964
Tebal : 239

Buku ini menjelaskan sejarah sosialisme Indonesia dan pengaruh dari manifesto politik Marx dan Engels. Roeslan menuliskan dalam kuliah umum tentang “Perkembangan Tjita-Tjita Sosialisme di Indonesia”. Dalam konteks sejarah sosialisme Indonesia, negara Indonesia sesungguhnya sudah mengenal sosialisme yang mengandung dua bagian dalam isinya, yang masing-masing perlu dijelaskan. Pertama adalah arti “perkembangan”, kedua adalah arti “sosialisme”. Yang dimaksud dengan perkembangan adalah sejarahnya, tetapi yang agak terbatas; sehingga dalam rangkaiannya dengan perkataan sosialisme (hlm. 10).

Di tahun 1890 kekuasaan kolonial Hindia-Belanda dikejutkan dengan ajaran Kyai Samin, alias Soeratniko yang berprofesi sebagai petani di Blora. Ajaran Kyai Samin tersebut berdasarkan atas hak milik kolektif dan cara-cara pengolahan sawah secara kolektif, dan gotong royong, dilengkapi dengan aturan pembagian hasil menurut keperluan dan keadilan. Ditambah pula dengan adanya disiplin moral yang melarang orang mencuri, membohong, berbuat serong, dan sebagainya (hlm. 13). Dunia mengakui bahwa sosialisme berdasarkan ilmu pengetahuan Marx dan Engels, bahwa masyarakat itu terus akan tumbuh sejalan dengan hukum evolusi. Masyarakat oer-komunis akan bertumbuh menjadi masyarakat feodal, yang kemudian menjadi masyarakat kapitalis (hlm. 15).

Di dalam buku ini sedikit menjelaskan sosialisme yang cocok diterapkan di Indonesia yaitu Marhaenisme yang diciptakan oleh Bung Karno. Secara penjabaran, pertama Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat kaum marhaen. Kedua, Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya. Ketiga, marhaenisme dus asas “tegelijk” menuju cara perjuangan kepada hilangnya Kapitalisme, Imperialisme, dan Kolonialisme (hlm. 36). Pancasila merupakan watak perlawanan atas kapitalisme, dan “sosialisme an sich” walaupun semuanya tidak tersebut secara keseluruhan UUD 1945 pembukaan 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan aturan tambahan, maka perkataan kolonialisme an sich yaitu penjajahan, secara tegas tertulis di dalam UUD 1945, sebagai suatu yang tidak sesuai dengan “perikemanusiaan dan peradilan” dan secara imperatif dalam UUD 1945 “harus dihapuskan” (hlm. 73).

Pemancaran daripada Pancasila itu adalah “Manipol” dengan “Usdek” sebagai perasaan Manipol yang oleh MPRS kemudian tidak hanya diperkuat sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, melainkan diperlengkapnya Garis-Garis Besar Haluan Negara itu dengan: Pertama, bagian mutlaknya yakni Garis-Garis Besar Haluan Pembangunan (Amanat Pembangunan Presiden). Kedua, pedoman-pedoman pelaksanaannya baik di bidang keseluruhannya di dalam negeri, maupun khusus di bidang hubungan antar bangsa dan luar negeri (Pidato Presiden Djarek dan Pidato Presiden di PBB) (hlm. 94).

Sejarah pertentangan atas kolonialisme yang didasari oleh sosialisme, diceritakan kedatangan orang-orang Belanda di tanah air kita yang membawa peradaban dan ketentraman karena di sinilah belum ada peradaban dan ketentraman itu, sedangkan seluruh nada ceritanya itu adalah mengagung-agungkan Jan Pieterszoon Coon, Speelman, Daendels, Van Heutsz, dsb, serta merendahkan Sultan Agung, Hasanudin, Dipenogoro, Imam Bonjol, tengku Umar, dsb. Sejarah yang di zaman Hindia Belanda yang diajarkan kepada kita semuanya berdasarkan pandangan seakan-akan penggerak utama jalannya sejarah perlawanan itu adalah raja-raja belaka, kadang-kadang diselingi oleh sejarahnya “helden en groote mannen” artinya “kesatria-ksatria serta orang-orang besar” saja, biasanya dari lingkungan raja atau dari kerabatnya kaum bangsawan ningrat (hlm. 174-175). Inilah yang dianggap bahwa raja yang menjadi penggerak pemberontakan kepada kolonialisme Hindia Belanda, namun sesungguhnya rakyat yang lebih banyak berperan daripada raja-raja. Inilah langkah awal antara feodal yang menyerang kolonialisme dari luar.

Buku ini sangat bagus untuk mencairkan sejarah kolonialisme yang membeku pada saat ini, sosialisme atau sering dikatakan oer komunis yang bergerak di ranah kebudayaan Indonesia, inilah yang sebetulnya sosialisme inilah yang menjadi acuan untuk menyerang kapitalisme. Buku ini juga menjelaskan adanya campur tangan dari komunisme melalui pemikiran Marx dan Engels. Hingga pasca kemerdekaan, dengan ideologi Pancasila sang founding father Indonesia, Bung Karno menerapkan konsep NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis) guna untuk membentengi dari Kapitalisme dengan nilai-nilai yang terdapat dalam bangsa Indonesia itu sendiri. Penulis meyakini pemikiran Dr. H. Roeslan Abdulgani adalah sebuah cerminan masa depan untuk merefleksikan sosialisme Indonesia yang sebenarnya, dengan melihat bangsa Indonesia itu sendiri. [QQ]

1 komentar:

che mengatakan...

Pancasila adalah hasil penyatuan sosialisme utopis (Islam) dan sosialisme ilmiah (Marxisme) serta nasionalisme yang kental dalam tulisan Tan Malaka dan perbuatannya.

Posting Komentar

Bookmark and Share