oleh: Amir Fawwaz
Dimulai dari perampasan P. Sipadan dan P. Ligitan, klaim hak cipta kesenian Reog Ponorogo, perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI dan baru-baru ini sering muncul di media adalah provokasi tentara laut Malaysia di sekitar Perairan Ambalat, dengan demikian, Malaysia telah memperlakukan kita laiknya boneka mainan. Sebuah preseden buruk bagi harga diri bangsa Indonesia.
Ulah nakal oleh Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) Senin (24/5) lalu itu terkait sengketa wilayah antara kedua negara. Pertikaian tersebut berawal dari tindakan Malaysia di tahun 2005. Kala itu, Malaysia menjual konsesi eksplorasi Blok Ambalat, peraian yang kaya dengan kandungan emas hitam, kepada Shell, perusahan minyak Inggris-Belanda. Hingga saat ini, TNI AL mencatat Malaysia telah melakukan pelanggaran wilayah sebanyak sebelas kali. Tak pelak, hal itu memunculkan reaksi keras bangsa Indonesia.
Menanggapi masalah itu, spontan pemerintah Indonesia menjadi lantang dan sangat garang. Respon yang berbeda atas aksi provokasi sebelumnya yang sekedar datar (kalau tidak dibilang acuh). Propaganda “Ganyang Malaysia” yang marak di era 1963-an seolah bergema kembali. Sikap yang perlu diacungi jempol meski sebetulnya terlambat. Bagaimana tidak, kita harus menunggu angka sebelas untuk melakukan protes. Entah kenapa? Apa karena karakter bangsa kita yang penyabar atau lemahnya jiwa patriot. Namun, tak apalah. Minimal bangsa kita masih punya sisa-sisa kesadaran menyangkut harga diri.
Sayangnya, sikap yang dipertontonkan pemerintah – jika boleh jujur – semata-mata dilandasi oleh kepentingan pragmatis. Ketegasan SBY dan JK lebih memperlihatkan posisi mereka sebagai kontestan pilpres. Keduanya cenderung memanfaatkan isu pelanggaran tapal batas di Ambalat untuk beradu citra. Ini sangat kentara mana kala mereka saling serang soal bagaimana penyelesaian kasus tersebut. Dalam perseturuan itu, nampak jelas bagi kita usaha masing-masing untuk membangun kesan pemberani. Seakan tak mau ketinggalan, Prabowo cawapres asal Partai Gerinda, juga ikut-ikutan. Solusi ketiganya juga seragam; siap perang seandainya diplomasi gagal.
Saya yakin, tak satupun anak bangsa rela wilayahnya dijarah meski sejengkal. Kedaulatan bangsa adalah harga mati. Namun haruskah sengketa Blok Ambalat diselesaikan lewat perang, seperti diungkapkan ketiganya.
Jangan-jangan, saat berujar siap perang, mereka tengah amnesia dengan keadaan militer kita. Atau bahwa kekuatan militer Malaysia di atas rata-rata militer kita telah luput dari pertimbangan. Belum lagi posisi negeri jiran sebagai anggota negara persemakmuran. Bukan tidak mungkin akan mendapat bantuan dari anggota lainnya.
Baiklah, di sisi lain kita boleh berbangga. Pasalnya, rakyat Indonesia mempunyai semangat militansi. Jiwa militan itu sudah teruji pada perang gerilya melawan penjajahan. Meski demikian, kalau pun kita memenangkan perang dengan Malaysia, kita tetap saja rugi. Perang bukan lagi menjadi pilihan.
Sejauh ini, pemerintah sudah melakukan upaya damai dengan pihak Malaysia. Konon, tim dari Komisi I DPR telah membicarakan masalah ini dengan perwakilan negeri Jiran. Selain itu, pemerintah juga sudah membentuk tim lobi andalan. Dipersiapkan untuk perundingan diplomatik yang rencananya digelar pada 13-14 Juli nanti. Dalam kasus ini, Indonesia lebih percaya diri. Mereka yakin bisa mempertahankan Ambalat. Secara yuridis, posisi Indonesia memang lebih kuat.
Di sisi lain, klaim Malaysia atas Ambalat berdasarkan peta 1979 juga lemah. Peta yang dibuat sepihak itu tidak hanya ditentang oleh Indonesia dan Negara lain, seperti Filipina dan Cina melainkan juga tidak diakui International Court of Justice (ICJ). Tetapi, jika Malaysia tetap ngotot, maka tidak ada pilihan lain kecuali ke Mahkamah Internasional.
Lepas dari berhasil tidaknya perundingan itu, pelanggaran wilayah oleh Malaysia dan tindakan lain mereka yang melecehkan harga diri bangsa, sudah cukup membuktikan ketidak seriusan pemerintah dalam menjaga keutuhan bangsa. Tugas kita tidak sebatas mempertahankan kedaulatan Negara setelah terjadi ancaman. Melainkan, menjaganya dari kemungkinan adanya gangguan.
Oleh karenanya, fenomena Ambalat perlu dijadikan refleksi. Selama ini, kebijakan pemerintah, baik ekonomi maupun pertahanan, dinilai kurang memperhatikan posisi Indonesia sebagai Negara maritim. Menimnya penjagaan di daerah tapal batas, khususnya wilayah laut, membuat pihak luar dengan sanagat mudah keluar masuk wilayah Indonesia.
Pemerintah pusat pun agaknya masih setengah hati memberikan dana untuk pembangunan di wilayah perbatasan. Padahal, ini sangat penting, mengingat hal tersebut, selain mempermudah pengamanan juga dapat dijadikan legitimasi atas hak kepemilikan. Dengan demikian, pembangunan di sini memiliki makna luas, yang mencakup juga pengelolaan. Seperti yang diungkapkan Jhon Locke, filsuf asal Inggris, bahwa seseorang berhak memiliki property jika ia terbukti telah mengerahkan tenaganya pada propery tersebut (The Labor Theory of Property)
Teori Locke ini menjadi pertimbangan mahkamah internasional untuk menyerahkan kepemilikan Sipadan dan Ligitan kepada pihak Malaysia. Kemampuan Malaysia untuk mengelola dan mengamankan ekologi dua pulau, mau tidak mau, membuat Indonesia gigit jari.
Indonesia, dengan jumlah pulau yang berjibun tanpa penjagaan ekstra nampak sangat seksi di mata pihak luar. Akankah, kita sebagai putra bangsa berdiam diri melihat ancaman itu?
Dimulai dari perampasan P. Sipadan dan P. Ligitan, klaim hak cipta kesenian Reog Ponorogo, perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI dan baru-baru ini sering muncul di media adalah provokasi tentara laut Malaysia di sekitar Perairan Ambalat, dengan demikian, Malaysia telah memperlakukan kita laiknya boneka mainan. Sebuah preseden buruk bagi harga diri bangsa Indonesia.
Ulah nakal oleh Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) Senin (24/5) lalu itu terkait sengketa wilayah antara kedua negara. Pertikaian tersebut berawal dari tindakan Malaysia di tahun 2005. Kala itu, Malaysia menjual konsesi eksplorasi Blok Ambalat, peraian yang kaya dengan kandungan emas hitam, kepada Shell, perusahan minyak Inggris-Belanda. Hingga saat ini, TNI AL mencatat Malaysia telah melakukan pelanggaran wilayah sebanyak sebelas kali. Tak pelak, hal itu memunculkan reaksi keras bangsa Indonesia.
Menanggapi masalah itu, spontan pemerintah Indonesia menjadi lantang dan sangat garang. Respon yang berbeda atas aksi provokasi sebelumnya yang sekedar datar (kalau tidak dibilang acuh). Propaganda “Ganyang Malaysia” yang marak di era 1963-an seolah bergema kembali. Sikap yang perlu diacungi jempol meski sebetulnya terlambat. Bagaimana tidak, kita harus menunggu angka sebelas untuk melakukan protes. Entah kenapa? Apa karena karakter bangsa kita yang penyabar atau lemahnya jiwa patriot. Namun, tak apalah. Minimal bangsa kita masih punya sisa-sisa kesadaran menyangkut harga diri.
Sayangnya, sikap yang dipertontonkan pemerintah – jika boleh jujur – semata-mata dilandasi oleh kepentingan pragmatis. Ketegasan SBY dan JK lebih memperlihatkan posisi mereka sebagai kontestan pilpres. Keduanya cenderung memanfaatkan isu pelanggaran tapal batas di Ambalat untuk beradu citra. Ini sangat kentara mana kala mereka saling serang soal bagaimana penyelesaian kasus tersebut. Dalam perseturuan itu, nampak jelas bagi kita usaha masing-masing untuk membangun kesan pemberani. Seakan tak mau ketinggalan, Prabowo cawapres asal Partai Gerinda, juga ikut-ikutan. Solusi ketiganya juga seragam; siap perang seandainya diplomasi gagal.
Saya yakin, tak satupun anak bangsa rela wilayahnya dijarah meski sejengkal. Kedaulatan bangsa adalah harga mati. Namun haruskah sengketa Blok Ambalat diselesaikan lewat perang, seperti diungkapkan ketiganya.
Jangan-jangan, saat berujar siap perang, mereka tengah amnesia dengan keadaan militer kita. Atau bahwa kekuatan militer Malaysia di atas rata-rata militer kita telah luput dari pertimbangan. Belum lagi posisi negeri jiran sebagai anggota negara persemakmuran. Bukan tidak mungkin akan mendapat bantuan dari anggota lainnya.
Baiklah, di sisi lain kita boleh berbangga. Pasalnya, rakyat Indonesia mempunyai semangat militansi. Jiwa militan itu sudah teruji pada perang gerilya melawan penjajahan. Meski demikian, kalau pun kita memenangkan perang dengan Malaysia, kita tetap saja rugi. Perang bukan lagi menjadi pilihan.
Sejauh ini, pemerintah sudah melakukan upaya damai dengan pihak Malaysia. Konon, tim dari Komisi I DPR telah membicarakan masalah ini dengan perwakilan negeri Jiran. Selain itu, pemerintah juga sudah membentuk tim lobi andalan. Dipersiapkan untuk perundingan diplomatik yang rencananya digelar pada 13-14 Juli nanti. Dalam kasus ini, Indonesia lebih percaya diri. Mereka yakin bisa mempertahankan Ambalat. Secara yuridis, posisi Indonesia memang lebih kuat.
Di sisi lain, klaim Malaysia atas Ambalat berdasarkan peta 1979 juga lemah. Peta yang dibuat sepihak itu tidak hanya ditentang oleh Indonesia dan Negara lain, seperti Filipina dan Cina melainkan juga tidak diakui International Court of Justice (ICJ). Tetapi, jika Malaysia tetap ngotot, maka tidak ada pilihan lain kecuali ke Mahkamah Internasional.
Lepas dari berhasil tidaknya perundingan itu, pelanggaran wilayah oleh Malaysia dan tindakan lain mereka yang melecehkan harga diri bangsa, sudah cukup membuktikan ketidak seriusan pemerintah dalam menjaga keutuhan bangsa. Tugas kita tidak sebatas mempertahankan kedaulatan Negara setelah terjadi ancaman. Melainkan, menjaganya dari kemungkinan adanya gangguan.
Oleh karenanya, fenomena Ambalat perlu dijadikan refleksi. Selama ini, kebijakan pemerintah, baik ekonomi maupun pertahanan, dinilai kurang memperhatikan posisi Indonesia sebagai Negara maritim. Menimnya penjagaan di daerah tapal batas, khususnya wilayah laut, membuat pihak luar dengan sanagat mudah keluar masuk wilayah Indonesia.
Pemerintah pusat pun agaknya masih setengah hati memberikan dana untuk pembangunan di wilayah perbatasan. Padahal, ini sangat penting, mengingat hal tersebut, selain mempermudah pengamanan juga dapat dijadikan legitimasi atas hak kepemilikan. Dengan demikian, pembangunan di sini memiliki makna luas, yang mencakup juga pengelolaan. Seperti yang diungkapkan Jhon Locke, filsuf asal Inggris, bahwa seseorang berhak memiliki property jika ia terbukti telah mengerahkan tenaganya pada propery tersebut (The Labor Theory of Property)
Teori Locke ini menjadi pertimbangan mahkamah internasional untuk menyerahkan kepemilikan Sipadan dan Ligitan kepada pihak Malaysia. Kemampuan Malaysia untuk mengelola dan mengamankan ekologi dua pulau, mau tidak mau, membuat Indonesia gigit jari.
Indonesia, dengan jumlah pulau yang berjibun tanpa penjagaan ekstra nampak sangat seksi di mata pihak luar. Akankah, kita sebagai putra bangsa berdiam diri melihat ancaman itu?
Amir Fawwaz
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar