Oleh: Amir Fawwaz
Jika ditanya perubahan apa yang terjadi pada wajah kepartaian kita pasca reformasi, barangkali, maraknya elit yang pindah partai bisa dimajukan sebagai sebuah jawaban. Faktanya, jika dibandingkan masa sebelumnya, saat ini para elit yang melakukan hal itu lebih banyak. Belakangan, nama Surya Paloh menambah deretan daftar politisi yang ganti seragam . Dedongkot Partai Golkar ini rencananya akan bergabung dengan Partai Hanura.
Memang tidak ada yang salah dalam hal itu. Toh itu adalah hak setiap warganegara yang dijamin konstitusi. Bahkan, di daerah gonta ganti partai juga banyak terjadi. Terutama menjelang Pilkada. Bagi para calon kepala daerah, parpol tidak lebih dari alat semata. Semacam kendaraan yang mengantarkan ke suatu tujuan. Dan yang perlu diingat, tujuan sangat menentukan kebutuhan. Sehingga, parpol yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dalam arti tidak mampu mengantarkan calonya ke tampuk kekuasaan, dengan sangat mudah ditinggalkan.
Padahal, kalau kita cermati, sebenarnya telah terjadi degradasi kepercayaan para kader terhadap nilai kebenaran dalam parpol. Minimal, parpol mempunyai nilai yang diyakini untuk diperjuangkan. Meskipun, sekarang perbedaan platform tidak setajam era pemilu 1955. Dimana pada tahun ’55, asas yang diperjuangkan bisa dikata saling berkonfrontasi. Semisal ada Komunis, yang dalam beberapa hal sama sekali berlainan dengan partai islam atau partai nasionalis. Sebab inilah kenapa gonta ganti partai pada masa itu kecil kemungkinanya.
Namun, banyaknya elit yang pindah partai pada saat ini bukan berarti perbedaan itu hilang sama sekali. Jika kita mengacu pada pembedaan partai nasionalis dan agamis, setidaknya kita menemukan beberapa parpol yang secara garis besar termasuk partai agamis, tetapi berlainan asas perjuanganya. Sebagai misal, Partai Kebangkitan Nasionalis Ulama (PKNU). Jelas, ia termasuk partai agamis, tepatnya islam. Namun yang dijadikan pijakan adalah islam ahlissunnah wal jamaah. Tentunya ini tidak lepas dari kemajukan masyarakat indonesia. Namun, lagi lagi, semua menjadi tidak penting mana kala mereka hanya menganggap parpol sebagai alat semata.
Celakanya, dalam beberapa hal, sikap partai politik justru menjadi faktor pendukung. Parpol tidak akan ambil pusing untuk menerima kader dari partai lain. Apalagi, kader itu memiliki kelebihan yang bisa dimanfaatkan. Tanpa peduli dengan kuantitas serta integritasnya. Kecuali popularitas, lebih lagi materi. Bahkan, dalam kasus-kasus Pilkada, parpol tidak segan-segan menarik dukungan terhadap kadernya yang mencalonkan kepala daerah jika saja prasyarat di atas tidak dipenuhi. Walaupun, secara administratif dan dilihat dari sisi integritasnya, kader tersebut tidak diragukan lagi. Makanya, jangan heran jika mendengar perselisihan dalam satu partai yang disebabkan tarik menarik dukungan.
Jika mau jujur, sekarang ini partai politik terjebak dalam lubang yang digali sendiri. Biaya kampanye yang mahal, yang kerap dikeluhkan pengurus partai tidak lain karena ulah mereka sendiri. Baiklah di sini kita jangan menutup mata. Di lapangan, praktek-praktek pemberian intensif selektif, semacam konpensasi yang diberikan sebagai ganti atas dukungan, kepada rakyat masih banyak dilakukan.
Persaingan yang terjadi antarpartai saat mencari dukungan adalah persaingan modal. Akhirnya, sadar atau tidak, rakyat diberikan pendidikan politik yang salah kaprah. Karenanya, jangan salahkan mereka, ketika pengurus turba untuk kampanye, dengan terang-terangan masyarakat menyodorkan besarnya nilai sebagai alat tawar menawar dukungan, yang biasanya tertuang dalam istilah kontrak politik. Inilah yang kemudian muncul dalam literatur kepartaian dengan sebutan Neoclasical Theory of Patronage.
Praktek semacam itu membuat beban finansial partai semakin berat. Lebih berat lagi dirasakan pengurus DPC di daerah. Selain karena tidak meratanya kucuran dana dari pengurus pusat, dan memangnya pusat sendiri tidak punya dana lebih. Sementara kesempatan untuk memperoleh dana dari anggaran pemerintah tidak sama (Deprivasi Relatif), karena hanya dimiliki partai yang punya anggota dewan saja. Hingga pada giliranya, keadaan itu memaksa tiap kepengurusan partai mencari penyokong dana sendiri-sendiri.
Jadi, selama belum ada political will dari parpol, lewat pendidikan politik dan moralitas demokrasi kepada kader dan masyarakat, serta masih adanya deprivasi relatif niscaya wajah partai politik kita tidak akan berubah secara signifikan.
Jika ditanya perubahan apa yang terjadi pada wajah kepartaian kita pasca reformasi, barangkali, maraknya elit yang pindah partai bisa dimajukan sebagai sebuah jawaban. Faktanya, jika dibandingkan masa sebelumnya, saat ini para elit yang melakukan hal itu lebih banyak. Belakangan, nama Surya Paloh menambah deretan daftar politisi yang ganti seragam . Dedongkot Partai Golkar ini rencananya akan bergabung dengan Partai Hanura.
Memang tidak ada yang salah dalam hal itu. Toh itu adalah hak setiap warganegara yang dijamin konstitusi. Bahkan, di daerah gonta ganti partai juga banyak terjadi. Terutama menjelang Pilkada. Bagi para calon kepala daerah, parpol tidak lebih dari alat semata. Semacam kendaraan yang mengantarkan ke suatu tujuan. Dan yang perlu diingat, tujuan sangat menentukan kebutuhan. Sehingga, parpol yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dalam arti tidak mampu mengantarkan calonya ke tampuk kekuasaan, dengan sangat mudah ditinggalkan.
Padahal, kalau kita cermati, sebenarnya telah terjadi degradasi kepercayaan para kader terhadap nilai kebenaran dalam parpol. Minimal, parpol mempunyai nilai yang diyakini untuk diperjuangkan. Meskipun, sekarang perbedaan platform tidak setajam era pemilu 1955. Dimana pada tahun ’55, asas yang diperjuangkan bisa dikata saling berkonfrontasi. Semisal ada Komunis, yang dalam beberapa hal sama sekali berlainan dengan partai islam atau partai nasionalis. Sebab inilah kenapa gonta ganti partai pada masa itu kecil kemungkinanya.
Namun, banyaknya elit yang pindah partai pada saat ini bukan berarti perbedaan itu hilang sama sekali. Jika kita mengacu pada pembedaan partai nasionalis dan agamis, setidaknya kita menemukan beberapa parpol yang secara garis besar termasuk partai agamis, tetapi berlainan asas perjuanganya. Sebagai misal, Partai Kebangkitan Nasionalis Ulama (PKNU). Jelas, ia termasuk partai agamis, tepatnya islam. Namun yang dijadikan pijakan adalah islam ahlissunnah wal jamaah. Tentunya ini tidak lepas dari kemajukan masyarakat indonesia. Namun, lagi lagi, semua menjadi tidak penting mana kala mereka hanya menganggap parpol sebagai alat semata.
Celakanya, dalam beberapa hal, sikap partai politik justru menjadi faktor pendukung. Parpol tidak akan ambil pusing untuk menerima kader dari partai lain. Apalagi, kader itu memiliki kelebihan yang bisa dimanfaatkan. Tanpa peduli dengan kuantitas serta integritasnya. Kecuali popularitas, lebih lagi materi. Bahkan, dalam kasus-kasus Pilkada, parpol tidak segan-segan menarik dukungan terhadap kadernya yang mencalonkan kepala daerah jika saja prasyarat di atas tidak dipenuhi. Walaupun, secara administratif dan dilihat dari sisi integritasnya, kader tersebut tidak diragukan lagi. Makanya, jangan heran jika mendengar perselisihan dalam satu partai yang disebabkan tarik menarik dukungan.
Jika mau jujur, sekarang ini partai politik terjebak dalam lubang yang digali sendiri. Biaya kampanye yang mahal, yang kerap dikeluhkan pengurus partai tidak lain karena ulah mereka sendiri. Baiklah di sini kita jangan menutup mata. Di lapangan, praktek-praktek pemberian intensif selektif, semacam konpensasi yang diberikan sebagai ganti atas dukungan, kepada rakyat masih banyak dilakukan.
Persaingan yang terjadi antarpartai saat mencari dukungan adalah persaingan modal. Akhirnya, sadar atau tidak, rakyat diberikan pendidikan politik yang salah kaprah. Karenanya, jangan salahkan mereka, ketika pengurus turba untuk kampanye, dengan terang-terangan masyarakat menyodorkan besarnya nilai sebagai alat tawar menawar dukungan, yang biasanya tertuang dalam istilah kontrak politik. Inilah yang kemudian muncul dalam literatur kepartaian dengan sebutan Neoclasical Theory of Patronage.
Praktek semacam itu membuat beban finansial partai semakin berat. Lebih berat lagi dirasakan pengurus DPC di daerah. Selain karena tidak meratanya kucuran dana dari pengurus pusat, dan memangnya pusat sendiri tidak punya dana lebih. Sementara kesempatan untuk memperoleh dana dari anggaran pemerintah tidak sama (Deprivasi Relatif), karena hanya dimiliki partai yang punya anggota dewan saja. Hingga pada giliranya, keadaan itu memaksa tiap kepengurusan partai mencari penyokong dana sendiri-sendiri.
Jadi, selama belum ada political will dari parpol, lewat pendidikan politik dan moralitas demokrasi kepada kader dan masyarakat, serta masih adanya deprivasi relatif niscaya wajah partai politik kita tidak akan berubah secara signifikan.
Amir Fawwaz
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar