Oleh: Amir Fawwaz
Setelah sempat menghilang. Nama Susno Duadji, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri yang belum lama dicopot dari jabatanya karena kembali jadi sorotan publik. Gara-garanya, ia bersaksi disidang dengan terdakwa Antasri Azhar, mantan Ketua KPK. Tak ayal, tindakanya memicu laknat dari kepolisian.
Kehadiranya di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/1) lalu, tanpa surat izin dari pimpinan dinilai telah melanggar kode etik dan disiplin anggota polisi. Menurut Juniver Girsang, penasihat hukum Antasari, itu tidak jadi soal. Ia bersaksi atas nama pribadi. Tapi, Polri menganggap ia pantas diperiksa. Pasalnya, meski tidak membawa institusi, Susno datang mengenakan seragam kebesaran, lengkap dengan atribut bintang tiga di pundaknya.
Mungkin, itu sengaja dilakukan. Ia sadar ruangan yang akan dimasuki bukanlah panti pijat plus-plus. Sehingga ia tak perlu ganti kostum lantas menyimpanya di mobil. Jarang-jarang, seorang bintara berani melawan maindstreem. Doktrin satu komando yang diterima sejak jadi polisi didobrak. Susno ibarat anak yang memakan induknya sendiri.
Rupanya, Susno ingin memainkan sebuah drama paradoksial, dengan ruang sidang sebagai latar. Sedangkan ia menjadi aktor tuggal yang melakonkan dua peran. Sekaligus. Dalam wujudnya yang utuh, kita menangkap ada konflik antara dua pihak; institusi yang tersimbol oleh seragamnya di satu sisi dengan dirinya sebagai pribadi di sisi lain.
Teatrikal yang dimainkan Susno, memperlihatkan absudrditas kepatuhan institusional. Sistem komando dalam kepolisian mengeliminasi manusia menjadi mesin. Manusia memiliki perasaan menjadi bukan dirinya. Problem muncul manakala perintah dari atas tidak senada dengan sisi kemanusian. Pada kondisi seperti ini, manusia Susno dituntut mengambil pilihan, patuh atau membangkang. Patuh, berarti ia melayangkan pemberitahuan resmi kepada atasannya. Lantas manut dengan perintah yang ada, meski tidak sesuai. Atau sebaliknya, tetap datang tanpa memperdulikan aturan birokrasi, seperti yang telah ia lakukan walaupun baru-baru ini mengaku mengirim sms pada sekertaris pribadi Kapolri, dan siap menanggung sejuta konsekuensi. Demi penegakan hukum seperti yang dikatakannya.
Dengan memilih untuk membangkang, lakon Susno berarti telah mengikuti suara hati. Suatu sistem moral yang ada dalam diri manusia. Yang mampu menolak perintah yang tidak pas dengannya. Hal serupa, juga pernah dilakukan oleh Martin Luther King Jr. Yang berdasarkan kenuraniannya ia menolak sekaligus melawan undang-undang rasial.
Ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang dimiliki individu manusia yang tidak dipunyai sebuah institusi; suara hati atau nurani. Barangkali, makna inilah yang tersirat dalam kata-kata Reinhold Niebuhr, seorang teolog Amerika, bahwa negara menempati posisi lebih buruk ketimbang individu. Setidaknya seorang individu dapat melakukan kebaikan-kebaikan yang mana negara tidak pernah melakukakanya.
Selain itu, sebagai warga negara, Susno lewat drama dipersidangan mencoba menegaskan perbedaan konsep kewarganegaraan dan kewargaan. Di mana oleh kita dua senyawa ini sering disamajajarkan. Yang pertama, menagandaikan ketaatan dari tiap anggotanya, yaitu warga negara. Undang-undang, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dibuat mengikat. Melanggar berarti hukuman. Karenanya, dalam keseharian terkadang – bahkan sering – kita melihat, merasakan atau melaksanakan hukum yang tidak pantas untuk ukuran kemanusian. Bukan tidak mungkin, membunuh adalah suci jika itu diperintahkan.
Pada titik inilah, kita tidak bisa menyamakan kewargaan sekaligus menemukan perbedaanya dengan kewarganegaraan. Seandainya, seorang warga negara menolak apa yang tidak adil menurut kemanusian. Yang berarti ia telah memasuki wilayah kewargaan. Karena, kewargaan memiliki sistem dan ukuran nilai yang berbeda. Ia menyusun nilai lewat hubungan dialogis. Baik dengan dirinya sendiri atau yang lain. Sementara, hati nurani sebagai barometernya.
Dalam pada itu, drama bintang tiga yang dilakoni Susno Duadji memberikan pelajaran berharga buat kita. Manakala terjadi angkara, pasanglah badan kita. Apapun yang terjadi. Akhirnya, ini tidak cuma drama.
Setelah sempat menghilang. Nama Susno Duadji, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri yang belum lama dicopot dari jabatanya karena kembali jadi sorotan publik. Gara-garanya, ia bersaksi disidang dengan terdakwa Antasri Azhar, mantan Ketua KPK. Tak ayal, tindakanya memicu laknat dari kepolisian.
Kehadiranya di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/1) lalu, tanpa surat izin dari pimpinan dinilai telah melanggar kode etik dan disiplin anggota polisi. Menurut Juniver Girsang, penasihat hukum Antasari, itu tidak jadi soal. Ia bersaksi atas nama pribadi. Tapi, Polri menganggap ia pantas diperiksa. Pasalnya, meski tidak membawa institusi, Susno datang mengenakan seragam kebesaran, lengkap dengan atribut bintang tiga di pundaknya.
Mungkin, itu sengaja dilakukan. Ia sadar ruangan yang akan dimasuki bukanlah panti pijat plus-plus. Sehingga ia tak perlu ganti kostum lantas menyimpanya di mobil. Jarang-jarang, seorang bintara berani melawan maindstreem. Doktrin satu komando yang diterima sejak jadi polisi didobrak. Susno ibarat anak yang memakan induknya sendiri.
Rupanya, Susno ingin memainkan sebuah drama paradoksial, dengan ruang sidang sebagai latar. Sedangkan ia menjadi aktor tuggal yang melakonkan dua peran. Sekaligus. Dalam wujudnya yang utuh, kita menangkap ada konflik antara dua pihak; institusi yang tersimbol oleh seragamnya di satu sisi dengan dirinya sebagai pribadi di sisi lain.
Teatrikal yang dimainkan Susno, memperlihatkan absudrditas kepatuhan institusional. Sistem komando dalam kepolisian mengeliminasi manusia menjadi mesin. Manusia memiliki perasaan menjadi bukan dirinya. Problem muncul manakala perintah dari atas tidak senada dengan sisi kemanusian. Pada kondisi seperti ini, manusia Susno dituntut mengambil pilihan, patuh atau membangkang. Patuh, berarti ia melayangkan pemberitahuan resmi kepada atasannya. Lantas manut dengan perintah yang ada, meski tidak sesuai. Atau sebaliknya, tetap datang tanpa memperdulikan aturan birokrasi, seperti yang telah ia lakukan walaupun baru-baru ini mengaku mengirim sms pada sekertaris pribadi Kapolri, dan siap menanggung sejuta konsekuensi. Demi penegakan hukum seperti yang dikatakannya.
Dengan memilih untuk membangkang, lakon Susno berarti telah mengikuti suara hati. Suatu sistem moral yang ada dalam diri manusia. Yang mampu menolak perintah yang tidak pas dengannya. Hal serupa, juga pernah dilakukan oleh Martin Luther King Jr. Yang berdasarkan kenuraniannya ia menolak sekaligus melawan undang-undang rasial.
Ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang dimiliki individu manusia yang tidak dipunyai sebuah institusi; suara hati atau nurani. Barangkali, makna inilah yang tersirat dalam kata-kata Reinhold Niebuhr, seorang teolog Amerika, bahwa negara menempati posisi lebih buruk ketimbang individu. Setidaknya seorang individu dapat melakukan kebaikan-kebaikan yang mana negara tidak pernah melakukakanya.
Selain itu, sebagai warga negara, Susno lewat drama dipersidangan mencoba menegaskan perbedaan konsep kewarganegaraan dan kewargaan. Di mana oleh kita dua senyawa ini sering disamajajarkan. Yang pertama, menagandaikan ketaatan dari tiap anggotanya, yaitu warga negara. Undang-undang, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dibuat mengikat. Melanggar berarti hukuman. Karenanya, dalam keseharian terkadang – bahkan sering – kita melihat, merasakan atau melaksanakan hukum yang tidak pantas untuk ukuran kemanusian. Bukan tidak mungkin, membunuh adalah suci jika itu diperintahkan.
Pada titik inilah, kita tidak bisa menyamakan kewargaan sekaligus menemukan perbedaanya dengan kewarganegaraan. Seandainya, seorang warga negara menolak apa yang tidak adil menurut kemanusian. Yang berarti ia telah memasuki wilayah kewargaan. Karena, kewargaan memiliki sistem dan ukuran nilai yang berbeda. Ia menyusun nilai lewat hubungan dialogis. Baik dengan dirinya sendiri atau yang lain. Sementara, hati nurani sebagai barometernya.
Dalam pada itu, drama bintang tiga yang dilakoni Susno Duadji memberikan pelajaran berharga buat kita. Manakala terjadi angkara, pasanglah badan kita. Apapun yang terjadi. Akhirnya, ini tidak cuma drama.
Amir Fawwaz
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar