Oleh: Amir Fawwaz
Sekali lagi aksi Susno Duaji, mantan Kabareskrim Polri, menjadi kontroversi dihadapan publik. Kali ini, ia tampak lebih berani ketimbang kehadiran dirinya di persidangan Antasari Azhar beberapa waktu lalu. Perlahan, manusia satu ini, berubah menjadi bola liar. Tapi, keberaniannya dirasa cukup delematis. Dalam hal mana, tindakanya itu dikatakan benar sehingga pantas diapresiasi.
Sebagai salah satu anggota polisi, dia, tanpa tedeng aling-aling, membeberkan kepada publik kebusukan lembaga dimana ia bernaung. Dalam sebuah pengakuannya, ia mengatakan salah seorang perwira tinggi ada yang menjadi makelar kasus. Wajar saja, kalau perbuatannya, oleh Polri dianggap tidak hanya mencemarkan nama baik seseorang melainkan telah mencabik-cabik citra lembaga yang saat ini dikepalai Bambang Hendarso.
Dilihat dari kode etik, atau dalam terminologi filsafat dikenal dengan istilah etika profesi, keberanian Susno tidak layak dikatakan benar. Kode etik, jelas mengandaikan kepatuhan anggota sebuah lembaga atau institusi terhadap norma dan hukum yang berlaku. Sementara Susno melanggar ketentuan kelembagaan, seharusnya, manakala ia mengetahui adanya kelakuan menyimpang dari sesama anggota, dirinya cukup melaporkan kepada pimpinan tanpa perlu mencibir kepada khalayak umum.
Namun, dari pandangan etika secara luas, aksi Susno patut kita acungi jempol. Sebagai warga negara, minimal sebagai langkah awal, ia telah membuka gerbang kebusukan yang ada di lembaga negara. Apa yang dia lakukan menggambarkan keberanian yang layak ditiru oleh siapa saja. Terutama karena ia tidak lagi memperdulikan nasib pribadinya. Bisa saja yang ia lakukan justru membuat dirinya dijerat hukum. Namun demi terciptanya sebuah tatanan lembaga yang bersih dan efesien ia tetap harus melakukanya. Artinya, ia sedang mengupayakan kebaikan bersama sedangkan kebaikan pribadi atau keluarga ia korbankan. Tidak berlebihan jika dikatakan tindakan ini istimewa, pasalnya dari sekian banyak manusia jarang-jarang yang mengambil keputusan seperti dia.
Ini tidak bermaksud mengafirmasi kebenaran pernyataan Susno, namun kapasitasnya sebagai mantan Kabareskrim membuat kita sulit untuk tidak percaya terhadap tuduhanya. Sebelumnya, kehadiran markus dalam institusi-institusi negara, kita percayai begitu saja. Kita tidak memperdulikan betul atau salah keyakinan kita selama ini. Sampai muncul Susno, sebagai orang yang melakukan verifikasi dari dalam. Sejauh ini, ia telah membongkar sifat mistis yang menyelimuti terminologi markus. Pada fase inilah, kita sebagai masyarakat luas, mengharapkan dan menunggu kemunculan Susno baru di lembaga dan institusi lain.
Meski demikian, menjadikan Susno sebagai contoh kasus, kita tidak bisa mengindahkan faktor-faktor dibalik aksinya. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah Susno melakukan itu semua setelah ia dicopot dari jabatanya. Dari sini muncul kecurigaan, atas dasar apa dirinya bertindak demikian? Jangan-jangan ia didorong unsur kekecewaan dan balas dendam. Yang berarti disebabkan faktor emosional lepas dari kesadaran demi menciptakan tatanan yang lebih baik. Jika kecurigaan itu benar, maka keberaniannya telah kehilangan legitimasi etis. Karena, secara moral, preferensi yang diambil tidak lagi didasarkan kesadaran terhadap hirarki nilai yang lebih tinggi. Kesimpulanya pun menjadi lain. Ia tidak lagi berbeda dengan kebanyakan orang, melainkan sama-sama manusia yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi.
Dengan demikian, memahami keberanian sebagai sikap sekaligus tindakan tidak bisa lepas dari nilai-nilai etis, kondisi, situasi dan implikasi yang secara konkrit melekat pada kehidupan kita sehari-hari. Keberanian adalah hasil dari hitung-hitungan dan pertimbangan hal-hal di atas. Tanpa itu semua, saya kira, keberanian akan kehilangan maknanya yang paling dalam – kalau tidak bisa dikatakn nonsense – , minimal secara moral. Karena hidup adalah sadar akan nilai-nilai.
Uniknya, tidak sedikit dari kita yang terperosok pada kebenaran logika formal. Secara semena-mena, kita berkesimpulan bahwa keberanian adalah manakala kita sudah bisa tampar sana, pukul sisni. Dengan kata lain, kita sudah menganggap diri kita pemberani tatkala kita bisa damprat siapa saja. Sadar atau tidak, terkadang dalam hal-hal tertentu, inilah yang terjadi. Kita tidak mampu membedakan antara keberanian dan kecerobohan.
Padahal kedua istilah tersebut memiliki garis demarkasi yang jelas. Keduanya dibedakan oleh ada tidaknya pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum kita mengambil keputusan. Tidak peduli hasil apa yang nanti dicapai. Sebab pilihan yang kita ambil tidak menjamin itu. Kita sebatas memprediksi bukan menentukan. Karena itu, satu lagi prasyarat kita dikatakan seorang pemberani, yaitu keberanian harus diikuti sikap tanggung jawab. Keberanian minim responsibility adalah pengecut.
Sekali lagi aksi Susno Duaji, mantan Kabareskrim Polri, menjadi kontroversi dihadapan publik. Kali ini, ia tampak lebih berani ketimbang kehadiran dirinya di persidangan Antasari Azhar beberapa waktu lalu. Perlahan, manusia satu ini, berubah menjadi bola liar. Tapi, keberaniannya dirasa cukup delematis. Dalam hal mana, tindakanya itu dikatakan benar sehingga pantas diapresiasi.
Sebagai salah satu anggota polisi, dia, tanpa tedeng aling-aling, membeberkan kepada publik kebusukan lembaga dimana ia bernaung. Dalam sebuah pengakuannya, ia mengatakan salah seorang perwira tinggi ada yang menjadi makelar kasus. Wajar saja, kalau perbuatannya, oleh Polri dianggap tidak hanya mencemarkan nama baik seseorang melainkan telah mencabik-cabik citra lembaga yang saat ini dikepalai Bambang Hendarso.
Dilihat dari kode etik, atau dalam terminologi filsafat dikenal dengan istilah etika profesi, keberanian Susno tidak layak dikatakan benar. Kode etik, jelas mengandaikan kepatuhan anggota sebuah lembaga atau institusi terhadap norma dan hukum yang berlaku. Sementara Susno melanggar ketentuan kelembagaan, seharusnya, manakala ia mengetahui adanya kelakuan menyimpang dari sesama anggota, dirinya cukup melaporkan kepada pimpinan tanpa perlu mencibir kepada khalayak umum.
Namun, dari pandangan etika secara luas, aksi Susno patut kita acungi jempol. Sebagai warga negara, minimal sebagai langkah awal, ia telah membuka gerbang kebusukan yang ada di lembaga negara. Apa yang dia lakukan menggambarkan keberanian yang layak ditiru oleh siapa saja. Terutama karena ia tidak lagi memperdulikan nasib pribadinya. Bisa saja yang ia lakukan justru membuat dirinya dijerat hukum. Namun demi terciptanya sebuah tatanan lembaga yang bersih dan efesien ia tetap harus melakukanya. Artinya, ia sedang mengupayakan kebaikan bersama sedangkan kebaikan pribadi atau keluarga ia korbankan. Tidak berlebihan jika dikatakan tindakan ini istimewa, pasalnya dari sekian banyak manusia jarang-jarang yang mengambil keputusan seperti dia.
Ini tidak bermaksud mengafirmasi kebenaran pernyataan Susno, namun kapasitasnya sebagai mantan Kabareskrim membuat kita sulit untuk tidak percaya terhadap tuduhanya. Sebelumnya, kehadiran markus dalam institusi-institusi negara, kita percayai begitu saja. Kita tidak memperdulikan betul atau salah keyakinan kita selama ini. Sampai muncul Susno, sebagai orang yang melakukan verifikasi dari dalam. Sejauh ini, ia telah membongkar sifat mistis yang menyelimuti terminologi markus. Pada fase inilah, kita sebagai masyarakat luas, mengharapkan dan menunggu kemunculan Susno baru di lembaga dan institusi lain.
Meski demikian, menjadikan Susno sebagai contoh kasus, kita tidak bisa mengindahkan faktor-faktor dibalik aksinya. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah Susno melakukan itu semua setelah ia dicopot dari jabatanya. Dari sini muncul kecurigaan, atas dasar apa dirinya bertindak demikian? Jangan-jangan ia didorong unsur kekecewaan dan balas dendam. Yang berarti disebabkan faktor emosional lepas dari kesadaran demi menciptakan tatanan yang lebih baik. Jika kecurigaan itu benar, maka keberaniannya telah kehilangan legitimasi etis. Karena, secara moral, preferensi yang diambil tidak lagi didasarkan kesadaran terhadap hirarki nilai yang lebih tinggi. Kesimpulanya pun menjadi lain. Ia tidak lagi berbeda dengan kebanyakan orang, melainkan sama-sama manusia yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi.
Dengan demikian, memahami keberanian sebagai sikap sekaligus tindakan tidak bisa lepas dari nilai-nilai etis, kondisi, situasi dan implikasi yang secara konkrit melekat pada kehidupan kita sehari-hari. Keberanian adalah hasil dari hitung-hitungan dan pertimbangan hal-hal di atas. Tanpa itu semua, saya kira, keberanian akan kehilangan maknanya yang paling dalam – kalau tidak bisa dikatakn nonsense – , minimal secara moral. Karena hidup adalah sadar akan nilai-nilai.
Uniknya, tidak sedikit dari kita yang terperosok pada kebenaran logika formal. Secara semena-mena, kita berkesimpulan bahwa keberanian adalah manakala kita sudah bisa tampar sana, pukul sisni. Dengan kata lain, kita sudah menganggap diri kita pemberani tatkala kita bisa damprat siapa saja. Sadar atau tidak, terkadang dalam hal-hal tertentu, inilah yang terjadi. Kita tidak mampu membedakan antara keberanian dan kecerobohan.
Padahal kedua istilah tersebut memiliki garis demarkasi yang jelas. Keduanya dibedakan oleh ada tidaknya pertimbangan-pertimbangan tertentu sebelum kita mengambil keputusan. Tidak peduli hasil apa yang nanti dicapai. Sebab pilihan yang kita ambil tidak menjamin itu. Kita sebatas memprediksi bukan menentukan. Karena itu, satu lagi prasyarat kita dikatakan seorang pemberani, yaitu keberanian harus diikuti sikap tanggung jawab. Keberanian minim responsibility adalah pengecut.
Amir Fawwaz
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar