(Tulisan ini dimuat di harian Mitra Dialog)
Sikap SBY yang tidak mempersoalkan demonstrasi terkait peringatan 100 hari program kerja pemerintahanya, asal saja dilakukan dengan tertib dan damai, cukuplah beralasan. Sebagai elit, SBY mendikte aksi protes itu dari atas. Dengan etika elitis yang dijadikan sandaran, SBY menilai aksi brutal yang terjadi saat menyampaikan pendapat tidaklah rasional dan bentuk resistensi moralitas yang mencederai demokrasi. Lebih tidak patut lagi jika hal itu dilakukan oleh mahasiswa , kaum yang menamakan dirinya sebagai intelek.
Bahkan, beberapa hari, baik sebelum dan sesudah tangga 28 kemarin, media ikut menggiring opini publik kepada terminologi peyoratif demonstrasi ala eliter tersebut. Alhasil, secara umum unjuk rasa kemarin berjalan aman terkendali. Meski, Presiden sedikit terusik dengan ulah demonstran yang membawa kerbau.
Menurut hemat penulis, pendapat semacam itu terlampau mengabaikan faktor eksternal penyebab peristiwa anarkhis meletus. Sekaligus, faktor internal – gerakan demonstran – diperlakukan sama besarnya sebagai yang salah.
Hal ini bisa dijelaskan bermula dari relasi kehidupan keseharian dengan motif dan tujuan unjuk rasa. Aksi protes bukanlah spontanitas. Melainkan berlaku hukum kausalitas di dalamnya. Ia muncul sebagai akibat dari ketimpangan-ketimpangan sosial, ekonomi plitik dan abnormalnya kehidupan sehari-hari. Karena itu, perubahan dari ketaknormalan tersebut adalah motif dan tujuanya. Demonstrasi tidak lebih dari akumulasi ketidak mampuan individu-individu untuk merubah keadaan sendirian. Sementara, anarkhis, kerusuhan dan kekerasan adalah ekspresi dari kekuatan yang terbentuk dari keadaan semacam di atas.
Di sisi lain, faktor luaran juga kerap ditemukan di lapangan. Misalya, upaya-upaya pencegahan dari aparat atau pengamanan dari negara. Keinginan massa untuk meringsak masuk ke Istana Negara, kantor Wali Kota atau Bupati dan kantor DPR, sering dihentikan oleh satuan keamanan di depan pintu gerbang. Pada saat inilah terjadi semacam eskalasi psikologis, di mana keadaan semakin memanas. Sehingga kericuhan, chaos dan tindak kekerasan sering meletus pada momen tersebut.
Padahal, tindakan pencegahan semacam itu dinilai merusak kultur demokrasi. Sangat tidak relevan, ditengah menguatnya tuntutan membangun kultur demokrasi yang egaliter rakyat justru tidak diperkenankan menemui pemimipin untuk menyampaikan keluh kesahnya. Keadaan ini tidak lebih baik jika dibandingkan dengan zaman kerajaan, zaman dimana mulut orang-orang modern mencibirnya sebagai feodal, tatanan pemerintahan tanpa adanya pemenuhan hak-hak individu. Ekstrimnya, hak individu tidak pernah diakui dalam sistem masyarakat monarki.
Dalam hal ini, orang-orang yang berpandangan demikian harusnya memikirkan kembali pendapatnya dan mulai berkaca diri. Saya kira tidak fair jika ketidaklayakan sistem feodal saat ini semata-mata dijustifikasikan dengan sikap dan sifat Raja yang cenderung otoriter . Toh sikap otoriter pemimpin sama tidak etisnya dalam sistem apapun, termasuk sistem demokratis seperti sekarang.
Jika kita telisik ke belakang, semisal awal pemerintahan Mataram Islam, maka kita temukan tradisi yang tidak kalah demokratisnya dengan sekarang, bahkan bisa dianggap mengalahkan yang ada hari ini. Pisowanan Agung adalah di mana sebuah protes oleh kawula disampaikan dan diterima Ngerso Ndalem dengan sangat elegan. Sebermula, memang tradisi itu merupakan forum pertemuan pejabat negeri, katakanlah mirip rapat kabinet.
Namun, yang menarik, ketika Pisowanan Agung berlangsung sering dijumpai rakyat yang laku pepe (berjemur diri) di tengah alun-alun. Tujuannya untuk menarik perhatian raja, dengan harapan dapat bertemu dan menyampaikan keluh kesahnya. Di sisi lain, sang raja yang melihat, menyuruh abdi dalem untuk meminta mereka menghadap, minimal menanyakan perihal apa yang akan disampaikan. Hingga pada perkembanganya, Pisowanan Agung menjadi media penyampaian aspirasi masyarakat luas di Yogyakarta. Karenanya perlu bagi kita untuk memberikan apresiasi terhadap gerakan yang mencerminkan kedewasaan berdemokrasi semacam di atas, lebih-lebih itu justru terjadi di tengah susana feodalisme.
Tapi apa yang terjadi sekarang malah kebalikannya. Di mana pemimpin saat ada demonstrasi. Yang ada, demonstran dibubarkan dengan bengis. Lebih bengis dari kericuhan yang disebabkan para unjuk rasa itu sendiri. Lantas, jika ada yang mempersoalkan aksi unjuk rasa dengan pertanyaan, apakah unjuk rasa harus seperti itu? Sebaliknya, rakyat mempertanyakan apakah menyelenggarakan pemerintah mesti begitu?
Selain faktor eksternal di atas, kericuhan saat aksi dimungkin juga dengan adanya propokasi dari pihak ketiga. Dalam suasana unjuk rasa, para penyusup bisa dengan mudah mengusik psikologis massa dan memanfaatkanya demi kepentingan tertentu. Kemungkinan ini biasa dihindari oleh pengunjuk rasa misalnya dengan menggunakan tali pembatas. Serta dibutuhkan juga kepiawaian perangkat aksi, seperti kordinator lapangan (korlap), dalam membaca situasi.
Yang menarik, terkadang para pelaku media justru ikut mempropokasi. Seolah-olah aksi mahasiswa tidak layak diberitakan kalau belum ada adu jotos. Sedangkan isu yang dibawa tidak menjadi sensasi. Faktanya, berita demonstrasi di media massa hampir semuanya adalah aksi yang disertai bentrokan dengan aparat, perusakan bangunan, penutupan jalan dan kegiatan lain yang mengganggu kenyamanan dan keamanan umum.
Meski tidak menutup kemungkinan orientasi pragmatis pun muncul. Kekisruhan biasanya memang sengaja dibikin oleh demonstran demi citra eksistensi mereka. Anggapanya adalah semakin kisruh unjuk rasa berlangsung semakin banyak media yang mem-blow-up. Dengan begitu rating mereka merangkak naik. Hal semacam inilah yang seharusnya dihindari mahasiswa.
Walau begitu, bukan berarti mahasiswa sama sekali tidak menghindari terjadinya kisruh saat aksi. Mereka tahu dan sadar bahwa tindakan kekerasan sangat merugikan bukan hanya orang lain tapi bagi mereka sendiri. Apa yang dilakukan mereka dengan membikin tali pembatas adalah salah satu bukti. Dalam hal ini kreativitas mahasiswa juga tampak. Mahasiswa punya cara mengemas aksi dengan tanpa pemblokiran jalan, pembakran ban atau perusakan. Mereka menggantinya dengan aksi-aksi teatrikal yang menarik. Atau hanya sekedar mengadakan mimbar bebas yang relatif lebih kondusif. Di mana setiap delegasi bergantian secara teratur melakukan orasi.
Sering juga mahasiswa menggelar diskusi publik dengan mengundang beberapa pakar untuk membicarakan kasus tertentu dan hasilnya menjadi rekomendasi bagi pihak terkait. Namun, diskusi publik semacam itu masih memiliki kelemahan. Isu yang dibicarakan acap kali belum bisa menyembul ke atas sebagai opini publik. Ia sebatas berada dalam diskursus di ruang publik. Tapi justru inilah yang terpenting. Semakin banyak diskursus dilakukan di ruang publik maka demokrasi kita diharapkan semakin komunikatif. Adapun mampu tidaknya ia menjadi opini publik yang aspiratif, tergantung komitmen media massa dengan kedudukanya sebagai salah satu pilar terpenting demokrasi.
Kecenderungan lain yang lebih menarik bahkan boleh dikata progresif bagaimana mahasiswa menyalurkan pendapatnya juga mulai terlihat. Akhir-akhir ini, kita banyak menemukan di pasaran buku-buku yang ditulis oleh mahasiswa. Meski dalam proses penulisan, di sana sini masih ditemukan beberapa kritik. Seperti tidak lepas dari plagiatisme, beberapa tulisan mereka hanya copy paste dari karya orang lain. Mahasiswa juga alpa dalam menghindari pengulangan-pengulangan. Tapi, lepas dari itu, sambil terus melakukan pembenahan, penting kiranya penulisan buku dijadikan langkah alternatif buat mahasiswa menyampaikan protes yang lebih sopan, elegan dan etis. Tentunya tanpa merasa antipati dengan aksi massa yang kian terstigmatisasi negatif.
Sayangnya, rintangan justru ditakutkan datang dari pemerintah sendiri. Kebebasan menulis buku ditanggapi pemerintah dengan style orde baru. Perlakuan yang dialami buku Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, yang oleh penulisnya, Jhon Roosa dikatakan sebagai anomali di tengah kemajuan luar biasa di bidang reformasi hukum sejak 1998, bisa dialami oleh buku-buku lain.
Akhirnya, penyampaian aspirasi menjadi elegan dan beretika, apapun bentuknya, hanya dimungkinkan bila mana tumbuh sifat kedewasan diantara pemerintah dan rakytanya.
Amir Fawwaz
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar