Oleh: Amir Fawwaz
Sampai saat ini, pengangguran masih menjadi persoalan pelik di negeri ini. Celakanya, dari sekian banyak pengangguran sebagian adalah lulusan perguruan tinggi. Status sarjana yang diperoleh selama sekian tahun dengan biaya yang relativ mahal tak cukup membantu mencari pekerjaan. Ternyata, menjadi sarjana belum tentu mengenakan.
Karena itu, mengapa Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mengeluarkan program bantuan wirausaha khusus untuk lulusan mahasiswa. Lewat program tersebut, sarjana diberikan kemudahan akses kredit sebagai dana awal usaha. Jaminanya cukup dengan ijasah.
Meski begitu, program baru tersebut masih menyisakan sejumlah kekhawatiran, diantaranya; pertama, terjadinya kredit macet yang berarti juga kerugian bagi keuangan negara. Untuk itu, diharapkan bunga yang ditentukan tidak besar. Sehingga tidak terlalu memberatkan sarjana. Jangan sampai, inginya membantu pengangguran terdidik malahan menambah beban mereka.
Kedua, sekaligus merupakan dampak dari yang pertama, karena tidak bisa menyelesaikan cicilan, sehingga tidak bisa mengambil ijasah yang dijadikan agunan. Padahal, secara formal, ijasah merupakan dokumen penting. Dimana suatau saat nanti diperlukan.
Munculnya kekhawatiran semacam itu sangatlah wajar mengingat dunia bisnis bagi mahasiswa yang baru lulus adalah dunia baru. Dunia kerja cenderung pragmatis, tidak lagi teoritis seperti dunia akademik. Karenanya, tidak menutup kemungkinan, meski sebelumnya telah mendapat pelatihan, usaha yang mereka jalankan gagal.
Lebih-lebih, program bantuan tersebut belum ditunjang dengan peningkatan mutu sarjana. Para keluaran perguruan tinggi sejak mahasiswa tidak dididik untuk bermental kreatif. Akibatnya, dalam mengahadapi realitas kehidupan masih ada sikap gamang dan gagap. Jadi, apa yang disampaikan Fadel Muhammad dalam sambutanya di acara pembekalan calon wirausaha di Fakultas Pertanian UGM (16/1), bahwa wirausahawan akan lebih berkembang jika berbasiskan pendidikan perguruan tinggi, belum berlaku untuk saat ini.
Di sisi lain, realisasi program itu menunjukan betapa kelirunya paradigma pendidikan yang selama ini dianut. Sekolah semata-mata demi tujuan ekonomis. Dengan masuk pada jurusan tertentu kita percaya akan memperoleh pekerjaan dengan mudah. Tumbuhkembangnya sekolah menengah kejuruan (SMK), ribuan lulusan SMA yang mencoba keberuntungan daftar ke STAN menjadi potret nyata bagaimana orang kita memaknai pendidikan.
Namun, semuanya termentahkan dengan fakta di lapangan; banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia. Spesifikasi jurusan malah membuat anak didik tidak memiliki cara pandang luas. Cenderung berwawasan sempit. Sementara, pemerintah sendiri gagal dalam mengupayakan titik temu antara dunia pendidikan dan kerja. Di mana pertemuan keduanya adalah konsekuensi logis dari pemahaman pendidikan di atas. Sebanyak apapun jumlah lulusan siap pakai diproduksi di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi, tanpa diimbagi lapangan kerja akan sama saja tak berguna.
Dengan demikian, penting untuk melakukan reorientasi dalam dunia pendidikan. Sudah saatnya, pendidikan kita kembalikan pada akar filosofisnya. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Pendidikan yang menciptakan dinamika kebangsaan cerdas. Dengan membentuk karakter dan mental anak didik yang berdikari, kreatif dan tahan banting. Hingga pada giliranya, bukan pekerjaan yang menjadi ambisi mereka. Melainkan menciptakan lapangan pekerjaan.
Sampai saat ini, pengangguran masih menjadi persoalan pelik di negeri ini. Celakanya, dari sekian banyak pengangguran sebagian adalah lulusan perguruan tinggi. Status sarjana yang diperoleh selama sekian tahun dengan biaya yang relativ mahal tak cukup membantu mencari pekerjaan. Ternyata, menjadi sarjana belum tentu mengenakan.
Karena itu, mengapa Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mengeluarkan program bantuan wirausaha khusus untuk lulusan mahasiswa. Lewat program tersebut, sarjana diberikan kemudahan akses kredit sebagai dana awal usaha. Jaminanya cukup dengan ijasah.
Meski begitu, program baru tersebut masih menyisakan sejumlah kekhawatiran, diantaranya; pertama, terjadinya kredit macet yang berarti juga kerugian bagi keuangan negara. Untuk itu, diharapkan bunga yang ditentukan tidak besar. Sehingga tidak terlalu memberatkan sarjana. Jangan sampai, inginya membantu pengangguran terdidik malahan menambah beban mereka.
Kedua, sekaligus merupakan dampak dari yang pertama, karena tidak bisa menyelesaikan cicilan, sehingga tidak bisa mengambil ijasah yang dijadikan agunan. Padahal, secara formal, ijasah merupakan dokumen penting. Dimana suatau saat nanti diperlukan.
Munculnya kekhawatiran semacam itu sangatlah wajar mengingat dunia bisnis bagi mahasiswa yang baru lulus adalah dunia baru. Dunia kerja cenderung pragmatis, tidak lagi teoritis seperti dunia akademik. Karenanya, tidak menutup kemungkinan, meski sebelumnya telah mendapat pelatihan, usaha yang mereka jalankan gagal.
Lebih-lebih, program bantuan tersebut belum ditunjang dengan peningkatan mutu sarjana. Para keluaran perguruan tinggi sejak mahasiswa tidak dididik untuk bermental kreatif. Akibatnya, dalam mengahadapi realitas kehidupan masih ada sikap gamang dan gagap. Jadi, apa yang disampaikan Fadel Muhammad dalam sambutanya di acara pembekalan calon wirausaha di Fakultas Pertanian UGM (16/1), bahwa wirausahawan akan lebih berkembang jika berbasiskan pendidikan perguruan tinggi, belum berlaku untuk saat ini.
Di sisi lain, realisasi program itu menunjukan betapa kelirunya paradigma pendidikan yang selama ini dianut. Sekolah semata-mata demi tujuan ekonomis. Dengan masuk pada jurusan tertentu kita percaya akan memperoleh pekerjaan dengan mudah. Tumbuhkembangnya sekolah menengah kejuruan (SMK), ribuan lulusan SMA yang mencoba keberuntungan daftar ke STAN menjadi potret nyata bagaimana orang kita memaknai pendidikan.
Namun, semuanya termentahkan dengan fakta di lapangan; banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia. Spesifikasi jurusan malah membuat anak didik tidak memiliki cara pandang luas. Cenderung berwawasan sempit. Sementara, pemerintah sendiri gagal dalam mengupayakan titik temu antara dunia pendidikan dan kerja. Di mana pertemuan keduanya adalah konsekuensi logis dari pemahaman pendidikan di atas. Sebanyak apapun jumlah lulusan siap pakai diproduksi di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi, tanpa diimbagi lapangan kerja akan sama saja tak berguna.
Dengan demikian, penting untuk melakukan reorientasi dalam dunia pendidikan. Sudah saatnya, pendidikan kita kembalikan pada akar filosofisnya. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Pendidikan yang menciptakan dinamika kebangsaan cerdas. Dengan membentuk karakter dan mental anak didik yang berdikari, kreatif dan tahan banting. Hingga pada giliranya, bukan pekerjaan yang menjadi ambisi mereka. Melainkan menciptakan lapangan pekerjaan.
Amir Fawwaz
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar