Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Minggu, 25 April 2010

Menjadi Generasi Kritis

Oleh: Amir Fawwaz

Pepatah bilang, nasib bangsa ada di tangan pemuda. Jika begitu, lalu apa jadinya jika para pemuda justru melakukan teror pada bangsanya sendiri. Seperti yang dilakukan Dani Dwi Permana, remaja berusia 17 tahun, tempo hari. Aksi bom bunuh diri olehnya di hotel J. W. Marriot bukan saja menelan korban jiwa, menyisakan ketakutan dan kecemasan, pun mencoreng muka Indonesia.

Kenapa pemuda seumuran Dani mempersembahkan kematiannya justru untuk menghancurkan bangsa, tidak untuk sebaliknya, mengaharumkan nama bangsa. Apakah logika dan mentalitas patriotosme tidak lagi menghidup dan terkontruks dalam pemikiran generasi Indonesia saat ini?
Jika ditarik mundur, dari kisah teroris muda itu kita akan mendapatkan gambaran kelabilan psikologis manusia remaja. Pada fase itu, pertanyaan eksistensial kerap muncul di benak manuisa. Siapakah aku? Untuk apa aku hidup dan kehidupan ini? Hingga pada tarap tertentu, ia menemukan jawabanya, aku adalah yang memberikan nilai pada hidup juga kehidupan. Kemudian manusia akan mencari dan merealisasikan sesuatu yang membuat hidupnya bernilai. Nampaknya keadaan itu difahami dan dimanfaatkan betul oleh para teroris. Faktanya, saat perekrutan anggota baru teroris lebih aktif, mereka memilih mengambil bola ketimbang menunggu bola. Strategi yang dipakai biasanya melalui pendekatan emosional dan doktrinisasi secara terus menerus.

Karenanya, agar tidak muncul Dani baru, butuh cara antisipasi pada dua pihak; remaja sebagai objek dan teroris sebagai subjek. Dari sisi remaja, hal itu dapat dilakukan dengan menanamkan sikap dan pemikiran kritis dan radikal. Ini mengingat dalam proses penilaian terhadap hidup, manusia akan bersentuhan dengan dunia di luar keakuannya. Mereka akan bertemu dengan faham, ajaran, prinsip dan dogma-dogma. Untuk itu, dengan kemampuan bersikap dan pikiran seperti itu diharapkan agar pemegang tongkat estavet sanggup bernegosiasi dan tidak mengambil sesuatu begitu saja (taken for grented).

Dalam kasus terorisme, sikap itu juga harus ditunjukkan terhadap ajaran agama. Di mana – dan ini pantas disayangkan – oleh kelompok teroris ia dijadikan alat pembenar atas tindakan terornya. Sehingga, kematian “syahid”nya dipercaya sebagai realisasi nilai tertinggi dalam hidup. Padahal, jika genersi muda semodel Dani mau bersabar mendalami ajaran agama nisacaya bom bunuh diri tidak akan ia lakukan.

Agaknya menarik untuk dijadikan I’tibar upaya kajian agama kaitannya dengan konteks kekinian oleh Amin Abdullah. Menerutnya, di Indonesia yang pluralisrik, perlu adanya pemaknaan ulang terhadap hubungan antara nilai-nilai universal Al-quran dengan praktek keberagamaan yang partikular. Dan yang tak kalah penting lagi adalah menggali makna kemanusian dalam agama.

Sementara itu, antisipasi kelompok teroris adalah tidak membiarkan mereka tumbuh subur. Tentunya, hal ini butuh usaha bersama antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah terus mengupayakan proses-proses pemberantasan –tentunya tidak dengan cara biadab. Sedangkan di sisi lain masyarakat bisa melakukannya dengan menciptakan pola hidup yang lebih komunikatif. Niscaya, dalam struktur masyarakat yang demikian, teroris akan berfikir ulang atau bahkan enggan untuk masuk ke dalamnya.

Amir Fawwaz

Bendahara Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share