Oleh: Iskak Ismuwidarto
Setiap negara pasti memiliki pahlawannya. Pemberian gelar Pahlawan di Indonesia meskipun oleh konstitusi telah diatur sebagai hak prerogatif Presiden, namun keberadaannya terkadang masih menjadi kontroversi sebagian masyarakat, mengingat definisi Pahlawan ternyata cukup kontekstual dan dinamis, seiring dengan kehendak (good will) pemerintah serta perkembangan jaman. Oleh sebab itu, dari berbagai epos dan catatan sejarah lainnya, setidaknya kita mengenal beberapa pengkategorian gelar kepahlawanan, yaitu pahlawan nasional, pahlawan kemerdekaan dan pahlawan revolusi.
Menurut definisi dan kategorinya, seorang Pahlawan diyakini lebih mengedepankan kepentingan masyarakat luas dan perjuangan yang diyakininya, dari pada harkat pribadi dan keluarganya. Secara sosiologis, kepahlawanan seseorang memiliki kemiripan atau ciri dengan perjalanan hidup seorang nabi/rasul, yaitu :
- Memperjuangkan kebenaran yang diyakininya serta secara kolektif terlibat langsung di dalamnya bersama kawan atau para pengikutnya,
- Perjuangannya menimbulkan kontroversi atau perlawanan dan bahkan kadang tidak diterima di daerah asal atau tanah kelahirannya sendiri,
- Melawan suatu rezim atau kelompok yang lebih besar dari kelompok pengikutnya sendiri,
- Perwujudan ide atau buah perjuangannya baru diyakini kebenarannya setelah kematiannya, mengingat pemberian gelar pahlawan atau kenabiannya diberikan setelah ia tiada.
Seiring dengan perjalanan berbangsa dan bernegara, catatan sejarah kita menunjukkan beberapa kontroversi yang mengiringi rencana pemberian gelar kepahlawanan seseorang. Mengapa demikian, wajar dikarenakan mereka yang diusulkan menjadi pahlawan tidak pernah mengikuti seleksi fit & proper test layaknya seorang pejabat, karena ia telah wafat dan tidak dapat dimintai testimoni, selain hanya meninggalkan karya fisik atau tulisan. Sebut saja rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, Hasan Tiro atau kontroversi seputar kematian tokoh perjuangan kemerdekaan Tan Malaka, Amir Sjarifuddin dan Soekarno yang belum banyak dipublikasikan dan diketahui oleh masyarakat luas. Bila kebenaran sejarah telah terkuak dan diyakini kebenarannya, bukan tidak mungkin seseorang yang selama ini dianggap sebagai pahlawan, akan justru di-cap sebagai pecundang.
Di sisi lain, berdasarkan catatan sejarah ternyata masyarakat kita masih belum dapat memaafkan peristiwa atau dendam yang terjadi pada masa lalu. Labeling atau stereotype masih cukup kental mewarnai kehidupan sosial-kemasyarakatan, sehingga kasus kelam seputar tahun 1965 atau peristiwa lain yang (bahkan) ratusan tahun sebelumnya masih menjadi trauma dan phobia bagi sebagian masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita belum cukup dewasa dalam berdemokrasi dan masih berproses menuju rekonsiliasi atau “rujuk nasional”, yang kerap digembar-gemborkan namun ternyata begitu sulit untuk dilakukan, ibarat mencari jarum pada tumpukan jerami. Lihatlah misalnya, begitu susahnya kita mencari nama jalan Hayam Wuruk/Gadjah Mada di Kota Bandung, atau mencari gambar/foto P. Diponegoro di kompleks Keraton Jogjakarta, padahal mereka tersebut adalah para Pahlawan Nasional.
Salah satu hal menyebabkan sulitnya “rujuk nasional” ialah ekses desentralisasi yang digulirkan pasca reformasi, dengan munculnya polarisasi antara kebijakan pemerintah pusat dengan daerah (Pemda). Peraturan Daerah (Perda) mengenai wajib KTP yang sesuai antara domisili dengan tempat pekerjaan, disahkannya qanun rajam di NAD dan diterapkannya Perda Kristiani di Manokwari merupakan contoh eskalasi ketidak-patuhan (disobedience) Pemda terhadap amanat konstitusi, mengingat setiap warga negara dijamin haknya untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak tanpa dibatasi apa pun agamanya, dus menantang kebijakan nasional pemerintah pusat. Bila hal semacam itu dibiarkan maka kecenderungan ke arah separatisme hanya lah tinggal menunggu waktu saja.
Dengan demikian, perlu upaya simultan yang dilakukan oleh pemerintah, yang setidaknya mencakup beberapa hal pokok sebagai berikut :
- Melakukan kaji-ulang (review) terhadap setiap Perda yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat,
- Menjamin sepenuhnya kebebasan hak azasi individual setiap warga negara, yaitu kebebasan beragama, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan tanpa dibatasi oleh lokalitas tempat,
- Melakukan sosialisasi sistemik melalui kurikulum pendidikan formal serta dialog berkesinambungan dengan segenap tokoh masyarakat tentang pentingnya dilakukan “rujuk nasional”.
Belajar dari proses rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, nampaknya kita harus berani mengatakan “don’t forget but forgive” terhadap perjalanan sejarah kelam di masa lalu. Bila hal ini tidak segera kita upayakan, maka kita harus bersiap untuk memaafkan nama Pahlawan yang akan terhapus dari catatan sejarah anak-cucu kita di masa yang akan datang, mengingat pakem catatan sejarah yang dipublikasikan adalah tergantung selera penguasa. Dalam konteks ini, adalah menjadi tugas GMNI mengumandangkan “suara kenabian” atau kepahlawanan sesuai dengan motto “Pejuang Pemikir, Pemikir Pejuang” dan amanat Bapak Bangsa, “Jasmerah”, Merdeka!
Setiap negara pasti memiliki pahlawannya. Pemberian gelar Pahlawan di Indonesia meskipun oleh konstitusi telah diatur sebagai hak prerogatif Presiden, namun keberadaannya terkadang masih menjadi kontroversi sebagian masyarakat, mengingat definisi Pahlawan ternyata cukup kontekstual dan dinamis, seiring dengan kehendak (good will) pemerintah serta perkembangan jaman. Oleh sebab itu, dari berbagai epos dan catatan sejarah lainnya, setidaknya kita mengenal beberapa pengkategorian gelar kepahlawanan, yaitu pahlawan nasional, pahlawan kemerdekaan dan pahlawan revolusi.
Menurut definisi dan kategorinya, seorang Pahlawan diyakini lebih mengedepankan kepentingan masyarakat luas dan perjuangan yang diyakininya, dari pada harkat pribadi dan keluarganya. Secara sosiologis, kepahlawanan seseorang memiliki kemiripan atau ciri dengan perjalanan hidup seorang nabi/rasul, yaitu :
- Memperjuangkan kebenaran yang diyakininya serta secara kolektif terlibat langsung di dalamnya bersama kawan atau para pengikutnya,
- Perjuangannya menimbulkan kontroversi atau perlawanan dan bahkan kadang tidak diterima di daerah asal atau tanah kelahirannya sendiri,
- Melawan suatu rezim atau kelompok yang lebih besar dari kelompok pengikutnya sendiri,
- Perwujudan ide atau buah perjuangannya baru diyakini kebenarannya setelah kematiannya, mengingat pemberian gelar pahlawan atau kenabiannya diberikan setelah ia tiada.
Seiring dengan perjalanan berbangsa dan bernegara, catatan sejarah kita menunjukkan beberapa kontroversi yang mengiringi rencana pemberian gelar kepahlawanan seseorang. Mengapa demikian, wajar dikarenakan mereka yang diusulkan menjadi pahlawan tidak pernah mengikuti seleksi fit & proper test layaknya seorang pejabat, karena ia telah wafat dan tidak dapat dimintai testimoni, selain hanya meninggalkan karya fisik atau tulisan. Sebut saja rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, Hasan Tiro atau kontroversi seputar kematian tokoh perjuangan kemerdekaan Tan Malaka, Amir Sjarifuddin dan Soekarno yang belum banyak dipublikasikan dan diketahui oleh masyarakat luas. Bila kebenaran sejarah telah terkuak dan diyakini kebenarannya, bukan tidak mungkin seseorang yang selama ini dianggap sebagai pahlawan, akan justru di-cap sebagai pecundang.
Di sisi lain, berdasarkan catatan sejarah ternyata masyarakat kita masih belum dapat memaafkan peristiwa atau dendam yang terjadi pada masa lalu. Labeling atau stereotype masih cukup kental mewarnai kehidupan sosial-kemasyarakatan, sehingga kasus kelam seputar tahun 1965 atau peristiwa lain yang (bahkan) ratusan tahun sebelumnya masih menjadi trauma dan phobia bagi sebagian masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita belum cukup dewasa dalam berdemokrasi dan masih berproses menuju rekonsiliasi atau “rujuk nasional”, yang kerap digembar-gemborkan namun ternyata begitu sulit untuk dilakukan, ibarat mencari jarum pada tumpukan jerami. Lihatlah misalnya, begitu susahnya kita mencari nama jalan Hayam Wuruk/Gadjah Mada di Kota Bandung, atau mencari gambar/foto P. Diponegoro di kompleks Keraton Jogjakarta, padahal mereka tersebut adalah para Pahlawan Nasional.
Salah satu hal menyebabkan sulitnya “rujuk nasional” ialah ekses desentralisasi yang digulirkan pasca reformasi, dengan munculnya polarisasi antara kebijakan pemerintah pusat dengan daerah (Pemda). Peraturan Daerah (Perda) mengenai wajib KTP yang sesuai antara domisili dengan tempat pekerjaan, disahkannya qanun rajam di NAD dan diterapkannya Perda Kristiani di Manokwari merupakan contoh eskalasi ketidak-patuhan (disobedience) Pemda terhadap amanat konstitusi, mengingat setiap warga negara dijamin haknya untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak tanpa dibatasi apa pun agamanya, dus menantang kebijakan nasional pemerintah pusat. Bila hal semacam itu dibiarkan maka kecenderungan ke arah separatisme hanya lah tinggal menunggu waktu saja.
Dengan demikian, perlu upaya simultan yang dilakukan oleh pemerintah, yang setidaknya mencakup beberapa hal pokok sebagai berikut :
- Melakukan kaji-ulang (review) terhadap setiap Perda yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat,
- Menjamin sepenuhnya kebebasan hak azasi individual setiap warga negara, yaitu kebebasan beragama, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan tanpa dibatasi oleh lokalitas tempat,
- Melakukan sosialisasi sistemik melalui kurikulum pendidikan formal serta dialog berkesinambungan dengan segenap tokoh masyarakat tentang pentingnya dilakukan “rujuk nasional”.
Belajar dari proses rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, nampaknya kita harus berani mengatakan “don’t forget but forgive” terhadap perjalanan sejarah kelam di masa lalu. Bila hal ini tidak segera kita upayakan, maka kita harus bersiap untuk memaafkan nama Pahlawan yang akan terhapus dari catatan sejarah anak-cucu kita di masa yang akan datang, mengingat pakem catatan sejarah yang dipublikasikan adalah tergantung selera penguasa. Dalam konteks ini, adalah menjadi tugas GMNI mengumandangkan “suara kenabian” atau kepahlawanan sesuai dengan motto “Pejuang Pemikir, Pemikir Pejuang” dan amanat Bapak Bangsa, “Jasmerah”, Merdeka!
Iskak Ismuwidarto
Alumni GMNI Komisariat Fisipol UGM, bekerja di Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar