Oleh: Suluh Pamuji
Pada zaman post-kolonial atau zaman dimana orde lama mulai berkuasa di Indonesia, sebuah istilah ‘seni revolusioner’ atau ‘seni kerakyatan’ yang diusung Lekra, terus-menerus digemakan, bahkan oleh Presiden Soekarno sendiri pada masa itu. Kemudian, menyinggung sedikit tentang Lekra. Paham sosialis pun menjadi identik dengannya, apalagi mengkontekskan itu pada ideologi seni revolusioner atau seni kerakyatan yang jelas-jelas mereka usung di Indonesia. Hal itu di satu sisi membawa pengaruh positif bagi kehidupan di Indonesia, yakni seni memiliki potensi dalam proses perubahan sosial dan pembentukan nilai baru ketika masa transisi, yakni dari zaman kolonial ke zaman post kolonial.
Namun di sisi lain, ideologi seni semacam itu (baca: seni revolusioner atau seni kerakyatan) ternyata juga membawa pengaruh negatif bagi seni itu sendiri, terkhusus pada arah perkembangannya, seni revolusioner atau seni kerakyatan menjadi begitu lekat dengan kepentingan politik para politisi saat itu, bahkan tidak sedikit seniman yang pada masa itu ikut berpolitik.
Dengan kata lain, eksistensi seni terancam, karena mengalami disfungsi besar-besaran. Seni cenderung digunakan sebagai kendaraan atau alat untuk mencapai dan mempertahankan ambisi politik seseorang atau kelompok. Parahnya lagi, penguasa yang berkuasa pada masa itu, turut campur tangan dalam penentuan standar dan arah kesenian, yang itu jelas-jelas membelenggu kebebasan dan mengancam idealisme berkesenian.
Sebuah kegelisahan terhadap kenyataan semacam itu muncul dari beberapa seniman yang membentuk lingkar Manikebu. Bagi kelompok ini, ideologi seni yang berkembang dan menjadi standar pada masa itu selain membelenggu idealisme berkesenian. Rupanya juga telah membuat lubang jebakan yang sangat lebar untuk seni itu sendiri. Lubang jebakkan yang memerosokkan seni pada posisinya yang gelap dan rendah, yang berarti juga menjauhkan seni dari khitoh-nya. Tujuan utama mereka tidak lain adalah ingin membersihkan lapangan seni dari kotoran atau kepentingan politik apa pun. “Seni itu untuk seni!” Begitulah slogan yang dipekikkan oleh para seniman yang tergabung dalam lingkar Manikebu.
Sampai sini, saya tidak ingin menggunakan ilustrasi di atas untuk membuka dan memperpanjang lagi perdebatan dua jargon seni (seni untuk seni atau seni untuk sesuatu?), yang masing-masing diusung oleh dua lembaga yang sempat berpolemik pada tahun 60-an itu (yakni, antara Lekra dengan Manikebu) atau malah mengurai secara panjang lebar esensi dari dua paham yang masing-masing diusung oleh dua lembaga itu (antara realisme-sosial yang diusung Lekra dan humanisme-universal yang diusung Manikebu). Karena menurut saya keduanya tumbuh pada wilayah dan keadaan yang berbeda, tentunya dengan perspektif dan semangat yang berbeda pula. Atau dengan kata lain keduanya itu memang dikotomis atau terbagi.
Terbagi dalam arti dan konteks; wilayah, perspektif, semangat dan pengetahuan yang memiliki standar kebenaran masing-masing atau subjektif. Tapi walaupun demikian saya optimis, kalau keduanya itu bisa bertemu pada titik sublim yang terus menerus digali oleh seorang seniman. Kemudian sebuah pertanyaan lanjutan: “Apa indikasinya kalau seorang seniman dengan karya seninya, dikatakan telah mencapai titik sublim?”
Jujur saja pertanyaan tersebut belum siap saya jawab, karena saya belum tahu persis indikasinya apa dan tentunya sangat beresiko dan mungkin juga terburu-buru, untuk saya jawab sekarang, karena saya pun sedang dalam proses terus mencari dan menuju titik sublim itu, tapi saya juga tidak tahu jika ditanya, kapan saya akan sampai pada titik sublim itu?
Ah, tapi titik sublim itu mungkin tidak bisa saya jawab sekarang tapi bisa kalau menimbang atau membayangkannya seperti ini: Mungkin atau bisa jadi ketika saya telah berhasil menciptakan sebuah karya seni, yang memiliki potensi untuk menciptakan gema, gaung, dengung atau suara-suara gaduh lain yang mengusik kehidupan yang selalu memasang muka baik-baik saja itu, atau mungkin yang memiliki potensi untuk mengaduk-ngaduk kesadaran diri manusia yang tertimbun oleh ke-apatis-annya sendiri, atau dengan kata lain yang secara riil telah menghadirkan realitas baru secara universal.
Atau jika ingin lebih kongkrit lagi, sebuah permisalan—dalam konteks peristiwa politik kontemporer di Indonesia—karya seni yang memiliki potensi sangat besar untuk menyadarkan SBY-JK (baca: penguasa) sekalipun, yang gemar sekali menaikkan harga BBM dan menyengsarakan rakyat itu, tapi tanpa mengehadirkan karya secara langsung, hanya potensinya yang yang bisa menciptakan gema, gaung, dengung atau suara-suara gaduh lain, yang mengusik, yang mengaduk-ngaduk sampai ke detail bagian kehidupan dua manusia itu. Tapi kira-kira, wujud karyanya seperti apa ya?
Pada zaman post-kolonial atau zaman dimana orde lama mulai berkuasa di Indonesia, sebuah istilah ‘seni revolusioner’ atau ‘seni kerakyatan’ yang diusung Lekra, terus-menerus digemakan, bahkan oleh Presiden Soekarno sendiri pada masa itu. Kemudian, menyinggung sedikit tentang Lekra. Paham sosialis pun menjadi identik dengannya, apalagi mengkontekskan itu pada ideologi seni revolusioner atau seni kerakyatan yang jelas-jelas mereka usung di Indonesia. Hal itu di satu sisi membawa pengaruh positif bagi kehidupan di Indonesia, yakni seni memiliki potensi dalam proses perubahan sosial dan pembentukan nilai baru ketika masa transisi, yakni dari zaman kolonial ke zaman post kolonial.
Namun di sisi lain, ideologi seni semacam itu (baca: seni revolusioner atau seni kerakyatan) ternyata juga membawa pengaruh negatif bagi seni itu sendiri, terkhusus pada arah perkembangannya, seni revolusioner atau seni kerakyatan menjadi begitu lekat dengan kepentingan politik para politisi saat itu, bahkan tidak sedikit seniman yang pada masa itu ikut berpolitik.
Dengan kata lain, eksistensi seni terancam, karena mengalami disfungsi besar-besaran. Seni cenderung digunakan sebagai kendaraan atau alat untuk mencapai dan mempertahankan ambisi politik seseorang atau kelompok. Parahnya lagi, penguasa yang berkuasa pada masa itu, turut campur tangan dalam penentuan standar dan arah kesenian, yang itu jelas-jelas membelenggu kebebasan dan mengancam idealisme berkesenian.
Sebuah kegelisahan terhadap kenyataan semacam itu muncul dari beberapa seniman yang membentuk lingkar Manikebu. Bagi kelompok ini, ideologi seni yang berkembang dan menjadi standar pada masa itu selain membelenggu idealisme berkesenian. Rupanya juga telah membuat lubang jebakan yang sangat lebar untuk seni itu sendiri. Lubang jebakkan yang memerosokkan seni pada posisinya yang gelap dan rendah, yang berarti juga menjauhkan seni dari khitoh-nya. Tujuan utama mereka tidak lain adalah ingin membersihkan lapangan seni dari kotoran atau kepentingan politik apa pun. “Seni itu untuk seni!” Begitulah slogan yang dipekikkan oleh para seniman yang tergabung dalam lingkar Manikebu.
Sampai sini, saya tidak ingin menggunakan ilustrasi di atas untuk membuka dan memperpanjang lagi perdebatan dua jargon seni (seni untuk seni atau seni untuk sesuatu?), yang masing-masing diusung oleh dua lembaga yang sempat berpolemik pada tahun 60-an itu (yakni, antara Lekra dengan Manikebu) atau malah mengurai secara panjang lebar esensi dari dua paham yang masing-masing diusung oleh dua lembaga itu (antara realisme-sosial yang diusung Lekra dan humanisme-universal yang diusung Manikebu). Karena menurut saya keduanya tumbuh pada wilayah dan keadaan yang berbeda, tentunya dengan perspektif dan semangat yang berbeda pula. Atau dengan kata lain keduanya itu memang dikotomis atau terbagi.
Terbagi dalam arti dan konteks; wilayah, perspektif, semangat dan pengetahuan yang memiliki standar kebenaran masing-masing atau subjektif. Tapi walaupun demikian saya optimis, kalau keduanya itu bisa bertemu pada titik sublim yang terus menerus digali oleh seorang seniman. Kemudian sebuah pertanyaan lanjutan: “Apa indikasinya kalau seorang seniman dengan karya seninya, dikatakan telah mencapai titik sublim?”
Jujur saja pertanyaan tersebut belum siap saya jawab, karena saya belum tahu persis indikasinya apa dan tentunya sangat beresiko dan mungkin juga terburu-buru, untuk saya jawab sekarang, karena saya pun sedang dalam proses terus mencari dan menuju titik sublim itu, tapi saya juga tidak tahu jika ditanya, kapan saya akan sampai pada titik sublim itu?
Ah, tapi titik sublim itu mungkin tidak bisa saya jawab sekarang tapi bisa kalau menimbang atau membayangkannya seperti ini: Mungkin atau bisa jadi ketika saya telah berhasil menciptakan sebuah karya seni, yang memiliki potensi untuk menciptakan gema, gaung, dengung atau suara-suara gaduh lain yang mengusik kehidupan yang selalu memasang muka baik-baik saja itu, atau mungkin yang memiliki potensi untuk mengaduk-ngaduk kesadaran diri manusia yang tertimbun oleh ke-apatis-annya sendiri, atau dengan kata lain yang secara riil telah menghadirkan realitas baru secara universal.
Atau jika ingin lebih kongkrit lagi, sebuah permisalan—dalam konteks peristiwa politik kontemporer di Indonesia—karya seni yang memiliki potensi sangat besar untuk menyadarkan SBY-JK (baca: penguasa) sekalipun, yang gemar sekali menaikkan harga BBM dan menyengsarakan rakyat itu, tapi tanpa mengehadirkan karya secara langsung, hanya potensinya yang yang bisa menciptakan gema, gaung, dengung atau suara-suara gaduh lain, yang mengusik, yang mengaduk-ngaduk sampai ke detail bagian kehidupan dua manusia itu. Tapi kira-kira, wujud karyanya seperti apa ya?
Suluh Pamuji
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM
0 komentar:
Posting Komentar