Oleh: Sudaedy
Menjadi Tuan di Negeri sendiri
Sebenarnya prinsip kemandirian sejati sudah di tegaskan menjadi cita-cita nasional dalam pembukaan UUD 1945. Bahkan jauh sebelum deklarasi kemerdekaan Negeri ini, kemandirian sudah menjadi tuntutan politik yang tidak bisa di lepaskan dari cita-cita kemerdekaan. Para “Bapak Bangsa” telah secara lantang menyuarakannya. Hal ini dapat di telusuri dalam sikap politik non-kooperatif Perhimpunan Indonesia (organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang di motori oleh Moh. Hatta dan kawan-kawan) yang telah di mulai sejak akhir 1922 dan di deklarasikan pada tahun 1925. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut fase ini sebagai “manifesto politik 1925”, dan dalam pandangannya Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dari dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925.
Kemandirian adalah bagian integral dari makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat, tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut keterlepasan dari ketertaklukan, dan dari dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural.
Akan tetapi hari ini, setelah 63 tahun kemerdekaan negeri ini di deklarasikan, realitas kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara justru semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yangs telah dirumuskan “para Bapak Bangsa”. Proses imperialisasi dalam bentuknya yang sudah sangat inovatif ternyata tetap terjadi dan bahkan di legalkan.
Petaka sejak 1967
Pada bulan November 1967, menyusul tumbangnya rezim Soekarno, dilaksanakanlah suatu konferensi “istimewa” di Jenewa Swiss selama tiga hari yang di sponsori oleh The Life-time Corporation. Peserta “pertemuan eksklusif” ini adalah “raja-raja ekonomi dunia” seperti David Rockefeller serta perwakilan dari korporasi-korporasi trans-nasional seperti : General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, Freeport, Alcoa dan US Steel. Sementara delegasi Indonesia di pimpin oleh Adam Malik dan HB IX yang juga mengikut-sertakan beberapa ekonom lulusan Universitas Calivornia di Berkeley-USA. Dalam pertemuan ini, terjadi “pelelangan besar-besaran” terhadap sumber daya alam Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat, sebuah konsorsium AS/Eropa mendapatkan nikel, Raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar bouksit, perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapatkan hutan tropis Sumatera.
Di tahun yang sama, Orde Baru sudah memulai proses liberalisasi sistem perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU pertama produk Rezim Soeharto. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru. Di area pertambangan yang dikuasai Freeport diperkirakan cadangan emas mencapai 63,7 juta pon, sedangkan tembaga 50,9 milyar pon. Inilah konsesi yang diberikan terhadap Trans-national Corporation’s (TNC’s) untuk mengekploitasi sumber daya alam Indonesia sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap Orde Baru.
Praktis sejak saat itu kendali ekonomi Indonesia berada di tangan Trans-national Corporation (TNC’s) serta terus di dikte oleh kepentingan negara-negara yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Hal ini juga di perparah dengan menjadikan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Utang luar negeri juga menjadi instrumen penting dalam “praktik penjarahan” sumber daya alam Indonesia, karena di dalamnya terdapat “paket kebijakan ekonomi” ( Memorandum of Economic and Financial Policies:MEFP) yang harus di penuhi oleh Pemerintah Indonesia, atau lebih di kenal sebagai Letter of Intent (LOI). Paket kebijakan yang dipaksakan tersebut meliputi membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
Memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial. Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
Deregulasi. Dengan mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha. Privatisasi. Kebijakan menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.
Menghapus konsep barang-barang publik (public goods) atau komunitas, menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
LOI dalam paket utang luar negeri inilah yang menjadi pendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak populis, negara seolah hanya berfungsi sebagai kaki-tangan kapitalisme global. Dengan paket kebijakan ini, sumber daya alam Indonesia di tampilkan layaknya lahan terbuka untuk eksploitasi. Tidak ada lagi proteksi terghadap sumber daya alam dan kepentingan publik sebagaimana diamanatkan konstitusi. Dalam konteks ini, faktor utang luar negeri merupakan “instrument penting” yang telah mengakibatkan penjarahan besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia.
Selain itu, utang luar negeri juga pada dasarnya hanya di jadikan sebagai proyek untuk menggali keuntungan finansial dengan cara yang licik. Seperti yang diungkapkan John Perkins dalam bukunya, Confessions of Economic Hit Man, bahwa dirinya tergabung dalam suatu tim yang bekerja untuk meyakinkan Pemerintah Indonesia agar melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri yang dibiayai oleh utang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Setiap pinjaman selalu disertai syarat : Pemerintah Indonesia harus menggunakan perusahaan rekayasa dan konstruksi dari Amerika Serikat.
Dana utang luar negeri untuk Indonesia tidak pernah ditransfer ke rekening Pemerintah, melainkan ditransfer dari Washington langsung ke rekening kantor perusahaan-perusahaan rekayasa dan konstruksi Amerika Serikat. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia harus membayar cicilan pokok dan bunganya.
Dominasi utang luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek ternyata juga membuka luas praktik mark up. Dalam penyusunan proyek yang dibiayai utang, nilai proyeknya terlebih dulu di-mark up rata-rata 30% oleh kreditor. Setelah di-mark up, utang itupun masih dikorupsi. Menurut Jeffrey A. Winters, selama kekuasaan Orde Baru, US$ 10 miliar pinjaman Bank Dunia dikorupsi dari total pinjaman US$ 30 miliar. Dalam skup yang lebih luas, Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menyatakan sekitar 30-50% utang luar negeri Pemerintah dikorupsi. Pada akhirnya beban cicilan pokok dan bunga utang Indonesia, termasuk biaya mark up dan korupsi, menjadi tanggungan rakyat.
Dalam catatan Rachmat Basoeki, Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) yang mengendalikan kebijakan keuangan negara, melalui Bank Indonesia secara diam-diam menyalurkan Kredit Pembauran untuk industri tanpa agunan. Jumlah kredit KLBI selama 1985-1988 yang telah dikucurkan Pemerintah kepada konglomerat mencapai Rp 100 triliun. Belum puas menguras uang negara melalui BI, para konglomerat kembali dimanjakan oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan mengeluarkan Pakto 88 yang menjadi awal liberalisasi sistem perbankan Indonesia. Paket deregulasi perbankan ini memberikan kemudahan bagi pengusaha mendirikan bank devisa hanya bermodal Rp 100 miliar dengan syarat personalia yang sangat ringan. Hal ini memberikan kesempatan konglomerat yang bermental perampok pun dapat duduk sebagai komisaris dan direktur bank.
Para konglomerat, selain membidik bank Pemerintah sebagai sumber dana konglomerasi, juga menjadikan bank swasta yang mereka dirikan sebagai sumber permodalan. Atas nama pembangunan, melalui sistem perbankan ribawi para konglomerat menghisap ratusan triliun uang rakyat untuk kepentingan konglomerasi mereka. Tidaklah aneh, banyak bank swasta melakukan pelanggaran BMPK (Batas Minimum Penyaluran Kredit) karena sebagian besar dana kredit bank disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Krisis moneter 1997 mengungkap ratusan triliun kredit macet pada sistem perbankan nasional. Namun, para konglomerat sejak medio 1996 telah melarikan dana lebih dari US$ 100 miliar dari bank-bank di Indonesia ke bank-bank di Singapura.
Ternyata, sampai saat inipun “praktik penjarahan “ itu terus berlanjut, terbukti tahun ini Pemerintah telah melakukan privatisasi (menjual) 37 BUMN kepada swasta dan asing. Bahkan Pemerintah merencanakan akan menjual seluruh saham 14 BUMN yang bergerak di bidang industri. Atas nama investasi, Pemerintah Indonesia juga dipaksa melegalisasi “praktik penjarahan” SDA oleh TNC’s. Bahkan dalam skema kontrak dengan investor migas, Pemerintah RI-lah yang harus menanggung seluruh biaya produksi dan biaya kerugian (cost recovery) investor. Tahun 2007 Pemerintah menanggung cost recovery sebesar US$ 8,338 miliar. Inilah potret kelam Indonesia pasca 1967.
Mengembalikan Kedaulatan
Ekspolitasi yang dilakukan oleh TNC’s di tanah air tidak hanya menyebabkan hilangnya sumber daya alam kita saja, tapi lebih dari itu, kedaulatan kita sebagai Bangsa Merdeka juga telah di langgar dan di ingkari. Padahal, dalam seluruh kalusul kerjasama dengan pihak asing selalu di tegaskan bahwa kedaulatan Negara berada diatas segalanya.
Hari ini, ketika TNC’s memiliki keleluasaan untuk mengekploitasi kekeyaan sumber daya alam kita (apalagi setelah di sahkannya UU PM 2007), privatisasi BUMN tetap manjadi trend, swastanisasi sektor publik(terutama sektor pendidikan dan kesehatan) yang terus berlanjut. Maka secara substansial, Indonesia hari ini merupakan replika “Indonesia pada zaman kolonial”. Kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam ekonmi, serta berkepribadian dalam budaya seakan hanya menjadi doktrin klise tanpa aktualisasi nyata dalam konteks kehidupan bernegara.
Merupakan suatu keharusan bagi negara unntuk kembali mengambil alih kontrol dan kendali terhadap pengelolaan sunber daya alam yang sudah 41 tahun lamanya berada di bawah kendali TNC’s. Hanya dengan jalan inilah harkat dan martabat kita sebagai Negara yang berdaulat akan dihargai dalam pergaulan internasional. Tidak akan pernah ada persaudaraan antara tuan dan budak.
Begitu banyak pengalaman berharga dari berbagai negara yang saat ini memainkan peran penting dalam percaturan ekonnomi global, dan semua itu di awali oleh semangat ”percaya terhadap kekuatan sendiri” yang pada akhirnya melahirkan kebijakan untuk menguatkan basis ekonomi dalam negeri, seperti Jepang yang pada awal kebangkitan ekonominya terlebih dahulu melalui suatu proses panjang dalam penguatan ekonomi rakyat yang selanjutnya meningkat menjadi blok-blok usaha yang besar dan kompetitif secara global. Demikian pula di negara-negara Eropa yang memulai perekonomian majunya dari wilayah pedesaan dengan sejumlah usaha agroindustri.
Cina dan India yang menandai bangkitnya kekuatan Asia, Rusia yang mulai menapak kejayaan pasca runruhnya USSR. Gelombang pasang nasionalisme di kawasan Amerika Latin, keberanian Iran untuk melawan kekeuatan USA dan sekutunya demi mempertahankan kepentingan nasional mereka. Catatan-catatan gemilang tersebut adalah gambaran keberanian meletakkan Kedaulatan Negara diatas segalanya. Kedaulatan suatu negara adalah ”harga mati’ yang tidak bisa di negosiasikan.
Berlandaskan realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara inilah, maka upaya untuk mengembalikan kedaulatan kita yang telah ”terampas” sejak 1967 merupakan suatu keharusan. Salah satu langkah penting yang harus ditempuh adalah menguasai kembali sumber daya alam Indonesia.
”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”
( Mohammad Hatta dalam pleidoinya yang berjudul ”Indonesia Merdeka” di Pengadilan Den Haag tahun 1928 )
( Mohammad Hatta dalam pleidoinya yang berjudul ”Indonesia Merdeka” di Pengadilan Den Haag tahun 1928 )
Menjadi Tuan di Negeri sendiri
Sebenarnya prinsip kemandirian sejati sudah di tegaskan menjadi cita-cita nasional dalam pembukaan UUD 1945. Bahkan jauh sebelum deklarasi kemerdekaan Negeri ini, kemandirian sudah menjadi tuntutan politik yang tidak bisa di lepaskan dari cita-cita kemerdekaan. Para “Bapak Bangsa” telah secara lantang menyuarakannya. Hal ini dapat di telusuri dalam sikap politik non-kooperatif Perhimpunan Indonesia (organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang di motori oleh Moh. Hatta dan kawan-kawan) yang telah di mulai sejak akhir 1922 dan di deklarasikan pada tahun 1925. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut fase ini sebagai “manifesto politik 1925”, dan dalam pandangannya Sumpah Pemuda 1928 merupakan pengumandangan (amplification) dari dimensi-dimensi Manifesto Politik 1925.
Kemandirian adalah bagian integral dari makna merdeka itu sendiri. Tidak ada kemerdekan yang genuine tanpa kemandirian. Apabila kemerdekaan memiliki suatu makna, adalah karena kemandirian memberikan martabat bagi bangsa yang memangku kemerdekaan itu. Martabat bangsa merdeka tidak tergantung pada bangsa lain, tidak berada dalam protektorat, tidak dalam posisi tersubordinasi. Kemandirian adalah martabat yang diraih sebagai hasil perjuangan berat menuntut keterlepasan dari ketertaklukan, dan dari dehumanisasi sosial-politik serta sosial-kultural.
Akan tetapi hari ini, setelah 63 tahun kemerdekaan negeri ini di deklarasikan, realitas kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara justru semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan yangs telah dirumuskan “para Bapak Bangsa”. Proses imperialisasi dalam bentuknya yang sudah sangat inovatif ternyata tetap terjadi dan bahkan di legalkan.
Petaka sejak 1967
Pada bulan November 1967, menyusul tumbangnya rezim Soekarno, dilaksanakanlah suatu konferensi “istimewa” di Jenewa Swiss selama tiga hari yang di sponsori oleh The Life-time Corporation. Peserta “pertemuan eksklusif” ini adalah “raja-raja ekonomi dunia” seperti David Rockefeller serta perwakilan dari korporasi-korporasi trans-nasional seperti : General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, Freeport, Alcoa dan US Steel. Sementara delegasi Indonesia di pimpin oleh Adam Malik dan HB IX yang juga mengikut-sertakan beberapa ekonom lulusan Universitas Calivornia di Berkeley-USA. Dalam pertemuan ini, terjadi “pelelangan besar-besaran” terhadap sumber daya alam Indonesia. Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat, sebuah konsorsium AS/Eropa mendapatkan nikel, Raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar bouksit, perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan Prancis mendapatkan hutan tropis Sumatera.
Di tahun yang sama, Orde Baru sudah memulai proses liberalisasi sistem perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU pertama produk Rezim Soeharto. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim Orde Baru. Di area pertambangan yang dikuasai Freeport diperkirakan cadangan emas mencapai 63,7 juta pon, sedangkan tembaga 50,9 milyar pon. Inilah konsesi yang diberikan terhadap Trans-national Corporation’s (TNC’s) untuk mengekploitasi sumber daya alam Indonesia sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap Orde Baru.
Praktis sejak saat itu kendali ekonomi Indonesia berada di tangan Trans-national Corporation (TNC’s) serta terus di dikte oleh kepentingan negara-negara yang tergabung dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Hal ini juga di perparah dengan menjadikan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Utang luar negeri juga menjadi instrumen penting dalam “praktik penjarahan” sumber daya alam Indonesia, karena di dalamnya terdapat “paket kebijakan ekonomi” ( Memorandum of Economic and Financial Policies:MEFP) yang harus di penuhi oleh Pemerintah Indonesia, atau lebih di kenal sebagai Letter of Intent (LOI). Paket kebijakan yang dipaksakan tersebut meliputi membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
Memotong pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial. Ini seperti terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
Deregulasi. Dengan mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha. Privatisasi. Kebijakan menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak.
Menghapus konsep barang-barang publik (public goods) atau komunitas, menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekan rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
LOI dalam paket utang luar negeri inilah yang menjadi pendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang sama sekali tidak populis, negara seolah hanya berfungsi sebagai kaki-tangan kapitalisme global. Dengan paket kebijakan ini, sumber daya alam Indonesia di tampilkan layaknya lahan terbuka untuk eksploitasi. Tidak ada lagi proteksi terghadap sumber daya alam dan kepentingan publik sebagaimana diamanatkan konstitusi. Dalam konteks ini, faktor utang luar negeri merupakan “instrument penting” yang telah mengakibatkan penjarahan besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia.
Selain itu, utang luar negeri juga pada dasarnya hanya di jadikan sebagai proyek untuk menggali keuntungan finansial dengan cara yang licik. Seperti yang diungkapkan John Perkins dalam bukunya, Confessions of Economic Hit Man, bahwa dirinya tergabung dalam suatu tim yang bekerja untuk meyakinkan Pemerintah Indonesia agar melakukan pembangunan infrastruktur jalan raya, pembangkit listrik, pelabuhan, bandar udara, dan kawasan industri yang dibiayai oleh utang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Setiap pinjaman selalu disertai syarat : Pemerintah Indonesia harus menggunakan perusahaan rekayasa dan konstruksi dari Amerika Serikat.
Dana utang luar negeri untuk Indonesia tidak pernah ditransfer ke rekening Pemerintah, melainkan ditransfer dari Washington langsung ke rekening kantor perusahaan-perusahaan rekayasa dan konstruksi Amerika Serikat. Sebaliknya, Pemerintah Indonesia harus membayar cicilan pokok dan bunganya.
Dominasi utang luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek ternyata juga membuka luas praktik mark up. Dalam penyusunan proyek yang dibiayai utang, nilai proyeknya terlebih dulu di-mark up rata-rata 30% oleh kreditor. Setelah di-mark up, utang itupun masih dikorupsi. Menurut Jeffrey A. Winters, selama kekuasaan Orde Baru, US$ 10 miliar pinjaman Bank Dunia dikorupsi dari total pinjaman US$ 30 miliar. Dalam skup yang lebih luas, Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menyatakan sekitar 30-50% utang luar negeri Pemerintah dikorupsi. Pada akhirnya beban cicilan pokok dan bunga utang Indonesia, termasuk biaya mark up dan korupsi, menjadi tanggungan rakyat.
Dalam catatan Rachmat Basoeki, Trio RMS (Radius-Mooy-Sumarlin) yang mengendalikan kebijakan keuangan negara, melalui Bank Indonesia secara diam-diam menyalurkan Kredit Pembauran untuk industri tanpa agunan. Jumlah kredit KLBI selama 1985-1988 yang telah dikucurkan Pemerintah kepada konglomerat mencapai Rp 100 triliun. Belum puas menguras uang negara melalui BI, para konglomerat kembali dimanjakan oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan mengeluarkan Pakto 88 yang menjadi awal liberalisasi sistem perbankan Indonesia. Paket deregulasi perbankan ini memberikan kemudahan bagi pengusaha mendirikan bank devisa hanya bermodal Rp 100 miliar dengan syarat personalia yang sangat ringan. Hal ini memberikan kesempatan konglomerat yang bermental perampok pun dapat duduk sebagai komisaris dan direktur bank.
Para konglomerat, selain membidik bank Pemerintah sebagai sumber dana konglomerasi, juga menjadikan bank swasta yang mereka dirikan sebagai sumber permodalan. Atas nama pembangunan, melalui sistem perbankan ribawi para konglomerat menghisap ratusan triliun uang rakyat untuk kepentingan konglomerasi mereka. Tidaklah aneh, banyak bank swasta melakukan pelanggaran BMPK (Batas Minimum Penyaluran Kredit) karena sebagian besar dana kredit bank disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri. Krisis moneter 1997 mengungkap ratusan triliun kredit macet pada sistem perbankan nasional. Namun, para konglomerat sejak medio 1996 telah melarikan dana lebih dari US$ 100 miliar dari bank-bank di Indonesia ke bank-bank di Singapura.
Ternyata, sampai saat inipun “praktik penjarahan “ itu terus berlanjut, terbukti tahun ini Pemerintah telah melakukan privatisasi (menjual) 37 BUMN kepada swasta dan asing. Bahkan Pemerintah merencanakan akan menjual seluruh saham 14 BUMN yang bergerak di bidang industri. Atas nama investasi, Pemerintah Indonesia juga dipaksa melegalisasi “praktik penjarahan” SDA oleh TNC’s. Bahkan dalam skema kontrak dengan investor migas, Pemerintah RI-lah yang harus menanggung seluruh biaya produksi dan biaya kerugian (cost recovery) investor. Tahun 2007 Pemerintah menanggung cost recovery sebesar US$ 8,338 miliar. Inilah potret kelam Indonesia pasca 1967.
Mengembalikan Kedaulatan
Ekspolitasi yang dilakukan oleh TNC’s di tanah air tidak hanya menyebabkan hilangnya sumber daya alam kita saja, tapi lebih dari itu, kedaulatan kita sebagai Bangsa Merdeka juga telah di langgar dan di ingkari. Padahal, dalam seluruh kalusul kerjasama dengan pihak asing selalu di tegaskan bahwa kedaulatan Negara berada diatas segalanya.
Hari ini, ketika TNC’s memiliki keleluasaan untuk mengekploitasi kekeyaan sumber daya alam kita (apalagi setelah di sahkannya UU PM 2007), privatisasi BUMN tetap manjadi trend, swastanisasi sektor publik(terutama sektor pendidikan dan kesehatan) yang terus berlanjut. Maka secara substansial, Indonesia hari ini merupakan replika “Indonesia pada zaman kolonial”. Kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam ekonmi, serta berkepribadian dalam budaya seakan hanya menjadi doktrin klise tanpa aktualisasi nyata dalam konteks kehidupan bernegara.
Merupakan suatu keharusan bagi negara unntuk kembali mengambil alih kontrol dan kendali terhadap pengelolaan sunber daya alam yang sudah 41 tahun lamanya berada di bawah kendali TNC’s. Hanya dengan jalan inilah harkat dan martabat kita sebagai Negara yang berdaulat akan dihargai dalam pergaulan internasional. Tidak akan pernah ada persaudaraan antara tuan dan budak.
Begitu banyak pengalaman berharga dari berbagai negara yang saat ini memainkan peran penting dalam percaturan ekonnomi global, dan semua itu di awali oleh semangat ”percaya terhadap kekuatan sendiri” yang pada akhirnya melahirkan kebijakan untuk menguatkan basis ekonomi dalam negeri, seperti Jepang yang pada awal kebangkitan ekonominya terlebih dahulu melalui suatu proses panjang dalam penguatan ekonomi rakyat yang selanjutnya meningkat menjadi blok-blok usaha yang besar dan kompetitif secara global. Demikian pula di negara-negara Eropa yang memulai perekonomian majunya dari wilayah pedesaan dengan sejumlah usaha agroindustri.
Cina dan India yang menandai bangkitnya kekuatan Asia, Rusia yang mulai menapak kejayaan pasca runruhnya USSR. Gelombang pasang nasionalisme di kawasan Amerika Latin, keberanian Iran untuk melawan kekeuatan USA dan sekutunya demi mempertahankan kepentingan nasional mereka. Catatan-catatan gemilang tersebut adalah gambaran keberanian meletakkan Kedaulatan Negara diatas segalanya. Kedaulatan suatu negara adalah ”harga mati’ yang tidak bisa di negosiasikan.
Berlandaskan realitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara inilah, maka upaya untuk mengembalikan kedaulatan kita yang telah ”terampas” sejak 1967 merupakan suatu keharusan. Salah satu langkah penting yang harus ditempuh adalah menguasai kembali sumber daya alam Indonesia.
Sudaedy
Bendahara DPC GMNI Yogyakarta 2005-2009
Bendahara DPC GMNI Yogyakarta 2005-2009
0 komentar:
Posting Komentar