Oleh: Manto
Kalau anda mengaku orang Indonesia, tentu tidak asing dengan istilah urik atau curang bin licik. Apa sebab? Menurut Kang Dul pemerhati masalah sosial yang nyambi ¹ jual beli ayam, urik itu salah satu kepribadian kita. Demi mendengar pernyataan kang Dul ini, spontan saya menolaknya dan membuat pernyataan tandingan. Saya katakan kalau urik, curang, licik beserta keluarganya itu penyakit. Oleh karenanya bisa dan harus disembuhkan.
Tetapi reaksi pengamat kita ini? Sambil mengaduk bekatul dan sedikit air, ia berkata: “ Waktu kecil siapa tokoh kesayangan sampean²?” Tanpa pikir panjang, saya jawab: kancil! Kang Dul bangkit dari jongkoknya lalu menepuk pundak saya seraya berucap: ”Kancil, ya. Itulah kuncinya. Sampean tau tidak, kancil itu ditokohkan bukan karena keindahan warna rambutnya, kekuatan tubuhnya atau kecepatan larinya. Ia tampil menjadi tokoh karena ia urik, curang. Sayang, buku-buku menulisnya cerdik”.
Hampir saja saya membantah ucapan Kang Dul . Tapi untunglah, seorang mbok-mbok³ mendekat ke arah kami sembari ngempit4 babon5 hitam yang sudah tidak kuat mengangkat kepalanya sendiri. Katanya si babon terserang batuk pilek. Saat berikutnya bisa ditebak Kang Dul menjadi sangat sibuk dengan berbagai kalimat yang arahnya cuma satu: mengesankan bahwa babon itu tidak ada gunanya lagi dan otomatis harganya sangat murah. Kalau sudah begini mendingan saya pamit lalu ngeloyor pergi.
Setelah pembicaraan dengan Kang Dul, saya menjadi tertantang untuk menemukan bantahan yang sebanding dengan pernyataannya. Untuk itu saya mencoba membuka obrolan dengan Kang Supro, sekalian mencicipi tembakau yang baru saja dibelinya. Katanya, sih tembakau madu. Tapi kali ini saya kurang beruntung karena Kang Sapro malah bercerita tentang pengalaman dirinya dan teman-teman sekerjanya dulu, nguriki percetakan tempat mereka bekerja. Ada yang menjual plate bekas cetakan, sisa tinta cetak, negatif film dari bagian editing atau menyunat jatah susu untuk karyawan yang kerja lembur. Bahkan ada juga yang sengaja menahan setoran uang dari pelanggan untuk disimpan di bank dan dipetik bunganya.
Lain lagi cerita si Karyo yang pernah menjadi security di Jakarta. Katanya, jangan heran kalau banyak teman sekerjanya yang dipecat justru karena terlibat penggelapan yang harusnya dijaganya atau karena telibat perampokan rumah dan kantor yang menjadi tanggungjawabnya.
Sampai disini saya berpikir untuk berhenti mencari bantahan atas pernyataan Kang Dul dari orang lain. Bukannya menyerah kalah tetapi saya khawatir kalau-kalau saya berkesempatan bertukar pikiran dengan kepala desa, anggota DPR, menteri, murid-murid SD, Polisi, pegawai Puskesmas, ibu-ibu rumah tangga, makelar motor, sopir tangki minyak, atau banyak lagi pekerjaan yang lebih memungkinkan para pelakunya berlaku urik. Kalau sampai terjadi, bisa-bisa saya ikut-ikutan berpikir seperti Kang Dul bakul6 ayam: urik itu diri kita sendiri bukan penyakit yang menjangkit.
Akhirnya, saya putuskan untuk mencari dukungan dari buku. Tapi celaka dua belas! Saya baru ingat kalau saya tidak punya buku. Buku tulis terakhir sudah ditukar biyung7 saya dengan beberapa bungkus tempe seminggu yang lalu. Tapi sedikit keberuntungan masih mau mendekat. Sebuah buku tua dengan bertelanjang bulat tergeletak diatas lemari. Saking tuanya buku itu, sampai-sampai kertas tempat ditulisnya huruf-huruf menjadi sewarna dengan huruf-huruf itu sendiri. ”Lebih baik ada dari pada tidak sama sekali”, pikir saya.
Ndilalah buku yang saya temukan itu buku sejarah. Ada cerita manusia purba di Indonesia, kerajaan-kerajaan Hindu, Budha, Islam, lalu jaman kompeni, Nippon dan jaman kemerdekaan. Sayang beberapa halaman terakhir yang mungkin bercerita jaman sesudah kemerdekaan, sudah mendahului berpulang ke asal kejadiannya. Tapi sekali lagi saya harus kecewa karena selalu ada cerita-cerita tentang perebutan tahta, pengkhianatan, pemberontakan, persekongkolan dengan bangsa asing untuk keuntungan diri pribadi, menghiasi lembaran-lembaran kusam buku sejarah saya, buku sejarah kita. Meski demikian , saya belum bisa menerima pendapat Kang Dul bahkan saya memberanikan diri menyusun kesimpulan sementara : urik itu penyakit yang diderita kebanyakan manusia di bumi Indonesia. Sambil menyelesaikan kalimat tersebut, segera melintas dalam benak saya, pertanyaan-pertanyaan lain yang yang bakal diajukan Kang Dul seandainya saya tetap bersikukuh dengan pendapat semula. Ia tentu akan berkata : kalau urik itu penyakit yang sudah menahun bahkan mengabad dan menyerang sekujur tubuh masyarakat kita lalu terpaksa harus diamputasi, maka sebutan apa yang tepat untuk sang penyembuh?
¹ melakukan pekerjaan sampingan
² sapaan untuk orang lain
³ sebutan untuk perempuan setengah baya keatas
4 membawa barang dengan meletakkannya diantara pinggang dan tangan yang ditekan kearah badan.
5 Ayam betina
6 Pedagang
7 ibu
Kalau anda mengaku orang Indonesia, tentu tidak asing dengan istilah urik atau curang bin licik. Apa sebab? Menurut Kang Dul pemerhati masalah sosial yang nyambi ¹ jual beli ayam, urik itu salah satu kepribadian kita. Demi mendengar pernyataan kang Dul ini, spontan saya menolaknya dan membuat pernyataan tandingan. Saya katakan kalau urik, curang, licik beserta keluarganya itu penyakit. Oleh karenanya bisa dan harus disembuhkan.
Tetapi reaksi pengamat kita ini? Sambil mengaduk bekatul dan sedikit air, ia berkata: “ Waktu kecil siapa tokoh kesayangan sampean²?” Tanpa pikir panjang, saya jawab: kancil! Kang Dul bangkit dari jongkoknya lalu menepuk pundak saya seraya berucap: ”Kancil, ya. Itulah kuncinya. Sampean tau tidak, kancil itu ditokohkan bukan karena keindahan warna rambutnya, kekuatan tubuhnya atau kecepatan larinya. Ia tampil menjadi tokoh karena ia urik, curang. Sayang, buku-buku menulisnya cerdik”.
Hampir saja saya membantah ucapan Kang Dul . Tapi untunglah, seorang mbok-mbok³ mendekat ke arah kami sembari ngempit4 babon5 hitam yang sudah tidak kuat mengangkat kepalanya sendiri. Katanya si babon terserang batuk pilek. Saat berikutnya bisa ditebak Kang Dul menjadi sangat sibuk dengan berbagai kalimat yang arahnya cuma satu: mengesankan bahwa babon itu tidak ada gunanya lagi dan otomatis harganya sangat murah. Kalau sudah begini mendingan saya pamit lalu ngeloyor pergi.
Setelah pembicaraan dengan Kang Dul, saya menjadi tertantang untuk menemukan bantahan yang sebanding dengan pernyataannya. Untuk itu saya mencoba membuka obrolan dengan Kang Supro, sekalian mencicipi tembakau yang baru saja dibelinya. Katanya, sih tembakau madu. Tapi kali ini saya kurang beruntung karena Kang Sapro malah bercerita tentang pengalaman dirinya dan teman-teman sekerjanya dulu, nguriki percetakan tempat mereka bekerja. Ada yang menjual plate bekas cetakan, sisa tinta cetak, negatif film dari bagian editing atau menyunat jatah susu untuk karyawan yang kerja lembur. Bahkan ada juga yang sengaja menahan setoran uang dari pelanggan untuk disimpan di bank dan dipetik bunganya.
Lain lagi cerita si Karyo yang pernah menjadi security di Jakarta. Katanya, jangan heran kalau banyak teman sekerjanya yang dipecat justru karena terlibat penggelapan yang harusnya dijaganya atau karena telibat perampokan rumah dan kantor yang menjadi tanggungjawabnya.
Sampai disini saya berpikir untuk berhenti mencari bantahan atas pernyataan Kang Dul dari orang lain. Bukannya menyerah kalah tetapi saya khawatir kalau-kalau saya berkesempatan bertukar pikiran dengan kepala desa, anggota DPR, menteri, murid-murid SD, Polisi, pegawai Puskesmas, ibu-ibu rumah tangga, makelar motor, sopir tangki minyak, atau banyak lagi pekerjaan yang lebih memungkinkan para pelakunya berlaku urik. Kalau sampai terjadi, bisa-bisa saya ikut-ikutan berpikir seperti Kang Dul bakul6 ayam: urik itu diri kita sendiri bukan penyakit yang menjangkit.
Akhirnya, saya putuskan untuk mencari dukungan dari buku. Tapi celaka dua belas! Saya baru ingat kalau saya tidak punya buku. Buku tulis terakhir sudah ditukar biyung7 saya dengan beberapa bungkus tempe seminggu yang lalu. Tapi sedikit keberuntungan masih mau mendekat. Sebuah buku tua dengan bertelanjang bulat tergeletak diatas lemari. Saking tuanya buku itu, sampai-sampai kertas tempat ditulisnya huruf-huruf menjadi sewarna dengan huruf-huruf itu sendiri. ”Lebih baik ada dari pada tidak sama sekali”, pikir saya.
Ndilalah buku yang saya temukan itu buku sejarah. Ada cerita manusia purba di Indonesia, kerajaan-kerajaan Hindu, Budha, Islam, lalu jaman kompeni, Nippon dan jaman kemerdekaan. Sayang beberapa halaman terakhir yang mungkin bercerita jaman sesudah kemerdekaan, sudah mendahului berpulang ke asal kejadiannya. Tapi sekali lagi saya harus kecewa karena selalu ada cerita-cerita tentang perebutan tahta, pengkhianatan, pemberontakan, persekongkolan dengan bangsa asing untuk keuntungan diri pribadi, menghiasi lembaran-lembaran kusam buku sejarah saya, buku sejarah kita. Meski demikian , saya belum bisa menerima pendapat Kang Dul bahkan saya memberanikan diri menyusun kesimpulan sementara : urik itu penyakit yang diderita kebanyakan manusia di bumi Indonesia. Sambil menyelesaikan kalimat tersebut, segera melintas dalam benak saya, pertanyaan-pertanyaan lain yang yang bakal diajukan Kang Dul seandainya saya tetap bersikukuh dengan pendapat semula. Ia tentu akan berkata : kalau urik itu penyakit yang sudah menahun bahkan mengabad dan menyerang sekujur tubuh masyarakat kita lalu terpaksa harus diamputasi, maka sebutan apa yang tepat untuk sang penyembuh?
Manto
Bendahara DPC GmnI Yogyakarta 2003-2005
Bendahara DPC GmnI Yogyakarta 2003-2005
¹ melakukan pekerjaan sampingan
² sapaan untuk orang lain
³ sebutan untuk perempuan setengah baya keatas
4 membawa barang dengan meletakkannya diantara pinggang dan tangan yang ditekan kearah badan.
5 Ayam betina
6 Pedagang
7 ibu
0 komentar:
Posting Komentar