Oleh : A. Yusrianto Elga
Dalam menyambut datangnya tahun baru 2010, salah satu bentuk refleksi yang penting kita gugah ialah tentang persoalan-persoalan kebangsaan. Sebab tidak bisa dimungkiri lagi selama tahun 2009 bangsa ini mengalami semacam fluktuasi – untuk tidak mengatakan destruksi – dalam berbagai lini kehidupan.
Thomas Friedman, wartawan The New York Times, pernah mengatakan bahwa Indonesia telah menjadi suatu messy state, negara amburadul. Pernyataan ini setidaknya dapat dibenarkan karena pada kenyataannya, sejak berakhirnya rezim otoritarianisme Orde Baru hingga berakhirnya tahun 2009 ini bangsa Indonesia belum mampu beranjak ke arah perbaikan yang cukup signifikan.
Hal itu salah satunya bisa dilihat dari komitmen serta kebijakan pemerintah dalam merumuskan agenda-agenda kebangsaan yang sama sekali tidak berpijak pada kepentingan rakyat. Inilah refleksi kebangsaan yang menuntut tanggung jawab untuk menyelesaikannya.
Bangsa ini tidak pantas membusungkan dada dengan keberhasilannya menumbangkan rezim otoritarianisme Orde Baru beberapa tahun yang silam. Sebab bagaimana pun penegakan hukum masih pincang karena banyak koruptor yang dibiarkan berkeliaran, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana, begitu juga dengan para penguasa yang cenderung mementingkan dirinya tanpa sedikit pun melihat realitas kehidupan rakyatnya yang terancam akan tereksploitasi dari masa ke masa. Kekuasaan rupanya tidak dijadikan instrumen dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Melainkan dijadikan semacam legitimasi untuk meraih ambisi pribadi.
Dalam konteks ini saya kira benar apa yang dikatakan oleh Frederic Nietzche (1987), bahwa naluri manusia yang tidak pernah padam adalah kehendaknya untuk berkuasa. Kekuasaaan telah menyebabkan mereka rakus sehingga menyebabkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Para penguasa atau politikus di negeri kita cenderung skeptis terhadap realitas rakyatnya, kemiskinan yang seharusnya ditanggulangi justru diperparah dengan kasus korupsi yang seringkali dilakukan secara berjamaah.
Pertanyaannya, kenapa semua itu mesti terjadi? Tentu karena para elite penguasa tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai substansial demokrasi secara konkret. Mereka terjebak terhadap kepentingannya masing-masing yang bersifat pragmatis. Karena itu, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Max Weber, para penguasa atau politikus harus terus menerus disadarkan bahwa politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup. Kalau itu tidak dipenuhi, mereka hanya menjadi apa yang dikatakan Aldous Huxley sebagai political merchandiser, pedagang politik, sehingga yang dipentingkan tak lain adalah keuntungan materi dan kekuasaan belaka.
Persoalan-persoalan kebangsaan semacam itulah yang penting kita refleksikan dalam menyambut tahun baru 2010 ini. Tanpa adanya kesadaran dan komitmen kebangsaan untuk merealisasikannya, mustahil bangsa ini akan mengalami perubahan ke arah yang lebih progresif dan dinamis.
Dalam menyambut datangnya tahun baru 2010, salah satu bentuk refleksi yang penting kita gugah ialah tentang persoalan-persoalan kebangsaan. Sebab tidak bisa dimungkiri lagi selama tahun 2009 bangsa ini mengalami semacam fluktuasi – untuk tidak mengatakan destruksi – dalam berbagai lini kehidupan.
Thomas Friedman, wartawan The New York Times, pernah mengatakan bahwa Indonesia telah menjadi suatu messy state, negara amburadul. Pernyataan ini setidaknya dapat dibenarkan karena pada kenyataannya, sejak berakhirnya rezim otoritarianisme Orde Baru hingga berakhirnya tahun 2009 ini bangsa Indonesia belum mampu beranjak ke arah perbaikan yang cukup signifikan.
Hal itu salah satunya bisa dilihat dari komitmen serta kebijakan pemerintah dalam merumuskan agenda-agenda kebangsaan yang sama sekali tidak berpijak pada kepentingan rakyat. Inilah refleksi kebangsaan yang menuntut tanggung jawab untuk menyelesaikannya.
Bangsa ini tidak pantas membusungkan dada dengan keberhasilannya menumbangkan rezim otoritarianisme Orde Baru beberapa tahun yang silam. Sebab bagaimana pun penegakan hukum masih pincang karena banyak koruptor yang dibiarkan berkeliaran, pelanggaran HAM terjadi di mana-mana, begitu juga dengan para penguasa yang cenderung mementingkan dirinya tanpa sedikit pun melihat realitas kehidupan rakyatnya yang terancam akan tereksploitasi dari masa ke masa. Kekuasaan rupanya tidak dijadikan instrumen dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Melainkan dijadikan semacam legitimasi untuk meraih ambisi pribadi.
Dalam konteks ini saya kira benar apa yang dikatakan oleh Frederic Nietzche (1987), bahwa naluri manusia yang tidak pernah padam adalah kehendaknya untuk berkuasa. Kekuasaaan telah menyebabkan mereka rakus sehingga menyebabkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Para penguasa atau politikus di negeri kita cenderung skeptis terhadap realitas rakyatnya, kemiskinan yang seharusnya ditanggulangi justru diperparah dengan kasus korupsi yang seringkali dilakukan secara berjamaah.
Pertanyaannya, kenapa semua itu mesti terjadi? Tentu karena para elite penguasa tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai substansial demokrasi secara konkret. Mereka terjebak terhadap kepentingannya masing-masing yang bersifat pragmatis. Karena itu, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Max Weber, para penguasa atau politikus harus terus menerus disadarkan bahwa politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup. Kalau itu tidak dipenuhi, mereka hanya menjadi apa yang dikatakan Aldous Huxley sebagai political merchandiser, pedagang politik, sehingga yang dipentingkan tak lain adalah keuntungan materi dan kekuasaan belaka.
Persoalan-persoalan kebangsaan semacam itulah yang penting kita refleksikan dalam menyambut tahun baru 2010 ini. Tanpa adanya kesadaran dan komitmen kebangsaan untuk merealisasikannya, mustahil bangsa ini akan mengalami perubahan ke arah yang lebih progresif dan dinamis.
Penulis adalah aktivis mato
0 komentar:
Posting Komentar