Oleh : David Kura
Suatu malam di sebuah rumah kecil di pinggir rel kereta, terdapat sebuah keluarga yang sedang menikmati makan malam seadanya. Tono merupakan anak tertua dari tiga bersaudara dalam keluarga tersebut, dan ia berumur lima belas tahun. Adik Tono adalah Siti dan Buyung, yang masih berumur delapan dan lima tahun. Tono dan Siti tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena ayahnya hanya seorang pengumpul sampah plastik di salah satu tempat pembuangan sementara, di sebuah sudut kota kecil. Ibunya tidak bekerja karena sudah cukup lama menderita sakit, yang keluarganya sendiri tidak tahu apa penyakitnya karena tidak memiliki cukup uang untuk membawa sang ibu ke rumah sakit.
Walau begitu, keluarga ini tetap bersyukur karena masih dapat berkumpul dan bercengkrama. Walau ditekan oleh kemiskinan, mereka tetap berusaha mendapatkan sepiring dua piring nasi. Tetapi malam itu ada yang berbeda dengan keluarga tersebut, Tono mendapatkan buku pengetahuan umum dari teman bekas sekolahnya dulu. Tono sempat sekolah hingga kelas lima sekolah dasar. Sesudah makan malam, di rumah yang hanya berdinding dipan dan beratap seng, dimana keluarga tersebut telah menyelesaikan makan malamnya, Tono memberitahukan orang tuanya, bahwa ia diberikan sebuah buku tentang pengetahuan umum.
Sejenak, Tono perlahan-lahan membuka satu per satu halaman di buku tersebut. Lalu ia tertarik pada sebuah halaman yang membahas kemiskinan. Dengan teliti dan berusaha memahami isi buku tersebut, ayahnya tiba-tiba menghampirinya.
“Sedang baca apa kamu, nak?” tanya ayahnya sambil duduk di sebelah Tono.
“Ini pak, aku lagi baca buku yang tadi siang diberikan oleh teman bekas sekolahku dulu.” jawab tono.
“Pak, disini ditulis kalau fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tapi kenapa kenyataannya nggak begitu?” tanya Tono pada ayahnya.
“Ya bapak nggak tahu, nak. Mungkin karena banyak masalah di negeri ini, hingga nggak semuanya dapat ditangani oleh pemerintah kita.” jawab ayah Tono seadanya.
“Kenapa bisa seperti itu?” tanya Tono dengan rasa penasarannya.
“Ya karena negara kita ini masih berkembang, nak. Seperti seorang anak yang dalam masa pertumbuhan, anak itu pasti butuh uang buat sekolah, baju yang bagus, dan lainnya. Sehingga, kita yang miskin ini nggak bisa nuntut banyak ke negara, nak. Soalnya kita nggak punya apa-apa buat negara kita yang masih berkembang ini.” jawab ayah Tono bersamaan dengan menyeruput secangkir air putih.
“Jadi negara cuman mau merhatiin orang yang punya uang ya, yah?” tanya Tono lagi.
“Bapak juga bingung, nak. Soalnya banyak masalah di negeri kita ini. Nggak cuman kita ini yang miskin, sekarang dah ada masalah keadilan, bencana alam, sama masalah ekonomi.” jawab ayah Tono dengan mata yang menatap langit-langit rumah dengan pandangan tampak kosong.
“Jadi, kita miskin terus donk, yah?” tanya Tono pada ayahnya.
“Nak, kita terus miskin atau tidak miskin, hanya kita yang mampu memutuskannya. Kita sendiri pula yang harus mewujudkan mimpi-mimpi kita untuk lepas dari kehidupan ini. Tapi, kenyataannya buat makan saja kita susah, apalagi buat jadi nggak miskin. Yang penting, kita bisa hidup mandiri dan selalu bersyukur pada sang Pencipta. Jangan pernah kamu mengharapkan belas kasihan orang ya, nak.” jawab ayah Tono bijak.
“Baik yah…” sambung Tono.
Lalu Tono kembali membuka halaman buku tersebut satu per satu. Sang ayah pun beranjak merapikan piring-piring bekas makan malam tadi, setelah Siti dan Buyung menyelesaikan makanan mereka. Sang ibu sudah cukup lama hanya bisa berbaring di lantai beralaskan tikar seadanya. Sehingga sang ibu tidak bisa membantu apa pun. Tetapi sang ibu mendengarkan pembicaraan Tono dengan ayahnya tadi. Sang ibu melirik Tono yang sedang duduk bersila di lantai dengan memgang buku tersebut di bawah sinar lampu senthir.
“Sedang apa kamu nak?” tanya sang ibu kepada Tono.
“Oh, ibu. Ini bu, aku lagi baca buku yang dikasih sama Andre tadi siang.” jawab tono dengan sedikit terkejut karena ibunya tiba-tiba bertanya.
“Baguslah, walau kamu ma adikmu nggak bisa sekolah lagi, tapi kalian harus tetap belajar dari manapun, siapapun, dan bagaimana pun ya, nak.” nasehat ibunya kepada Tono dan Siti yang saat itu langsung memeluk sang ibu.
“Iya bu…” jawab Tono dan Siti hampir bersamaan.
Tak lama kemudian, sang ayah muncul setelah tadi merapikan piring lalu kebelakang rumah sepetak mereka. Sang ayah lalu mengambil sebungkus jamu yang ia beli tadi siang, untuk diberikan kepada ibu. Sesudah menyeduh jamu tersebut, sang ayah menghampiri ibu lalu meminumkan jamu tersebut kepada ibu secara perlahan. Jamu yang diberikan adalah jamu yang sebenarnya untuk penyakit masuk angin. Karena keluarga tersebut tidak memiliki cukup uang untuk membeli obat yang sesungguhnya. Dibandingkan dengan meminum jamu, lebih jarang sang ibu tidak meminum obat apa pun. Setelah ibu minum obat, Tono, Siti, dan Buyung yang masih kecil menghampiri sang ibu, dan berkumpullah keluarga tersebut di tempat sang ibu berbaring.
“Yah, besok kita makan apa? Uang buat beli jamu ini dari mana?” tanya sang ibu kepada ayah.
“Liat besok aja ya, bu. Tadi bapak nemu seribu di tempat pembuangan itu, jadi bapak belikan jamu saja buat ibu.” jawab ayah kepada sang Ibu.
“Kok liat besok aja, yah? Siti ingin makan ayam, yah. Ayam yang ada di restoran gambar badut itu lho. Yang di dekat Mall.” kata Siti tiba-tiba.
“Iya, soalnya bapak belum tahu dapat berapa banyak plastik besok. Sabar ya nak, suatu saat pasti kita sama-sama makan di sana. Soalnya bapak juga pengen makan di sana, biar kayak orang kaya.” jawab sang ayah sembari mengelus rambut Siti.
“Pak, besok aku bantu ya. Biar kita dapat tambahan, supaya bisa beliin ayam buat Siti ma Buyung. Kasihan mereka hanya makan nasi akik dan lauk seadanya terus.” saran Tono dengan memandang mata adik-adiknya.
“Ya sudah, tapi buat ayamnya kita liat besok aja ya anak-anakku.” jawab ayah, yang seketika itu diaminin oleh anak-anaknya.
Tono tahu bahwa membeli sepotong ayam goreng hanyalah sebuah mimpi belaka, walau Tono membantu ayahnya. Tetapi Tono tidak ingin mengecilkan hati adik-adiknya, sesuatu yang juga dilakukan oleh orang tuanya. Tono mengalami kegundahan dalam hatinya, ia merasa bahwa seberapa keras pun usaha yang dilakukan ayahnya dan dirinya dalam mendapatkan sepiring dua piring nasi, tetap saja tak pernah cukup. Tapi, pengusaha hanya tinggal duduk di sofa nyaman di ruangan ber-AC, dengan mudah mendapatkan uang banyak. Tono yakin, orang miskin tidak bodoh dari lahir. Ia merasa dengan sedikitnya akses yang diberikan oleh negara pada orang miskin telah membodohkan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia mencoba mencari jawaban dari bukunya, hingga tak terasa ia telah sibuk sendiri dan tidak memperhatikan ayah, ibu, dan adik-adiknya yang sedang bersenda gurau.
Begitu lama ia terpaku dengan membaca buku tersebut, ia mulai berpikir mengenai segala teori yang ada dalam buku itu. Mengulas, memahami, dan mencari hal-hal lain yang ia rasa dapat menjawab kegundahan hatinya. Ia menemukan bahwa negaranya adalah negara yang berasaskan Pancasila, dimana kemanusiaan dan keadilan sosial terdapat dalam landasan tersebut. Ia juga menemukan bahwa kemiskinan tidak hanya ada di negaranya, tetapi diseluruh dunia kemiskinan adalah masalah global. Hingga akhirnya, ia merasa kecewa ketika menemukan bahwa hampir setiap negara hanya terpaku pada perekonomian dan pesta demokrasi, termasuk negaranya. Kemiskinan hanya dianggap seperti suatu penyakit sosial yang tidak berdampak apa-apa pada para pemimpin negara dan pengusaha. Malah, kemiskinan sering di eksploitasi demi kepentingan sejumlah pihak. Semakin Tono menemukan sesuatu, semakin kecewalah ia pada negaranya.
Cukup lama Tono membaca buku tersebut demi mencari jawaban dari kegundahan hatinya. Hingga tiba-tiba rumah mereka bergoyang dan diiringi suara trompet kereta api. Beberapa detik kemudian, rumah mereka kembali tenang karena kereta tersebut telah berlalu. Ia pun berkata dalam hatinya, “Cukup sudah aku membaca buku ini.” Tono pun menaruh buku tersebut di lantai, ia memandang sejenak ayah dan adik-adiknya yang sedang bercanda dan mengobrol dengan hangat disekeliling sang ibu. Ia terpaku mengamati suasana tersebut beberapa menit kemudian, hingga melamun.
Tiba-tiba sang ibu berkata kepadanya, “Tono, apa yang sedang kamu pikirkan? Ayo sini, di sebelah ibu.” yang seketika itu memecahkan lamunan Tono. Tono pun beranjak mendekati sisi kepala ibunya dan mengelus rambut ibunya.
“Pak, bu, walau kita miskin, aku tetap bahagia karena kita masih diberikan rejeki oleh yang Maha Kuasa. Walau kita miskin, aku tetap bahagia karena kita tetap dapat berkumpul sebagai keluarga.” ungkap Tono.
“Iya nak, bapak juga senang kalau kita masih bisa berkumpul sebagai keluarga seperti ini.” sambung sang ayah.
“Kita memang miskin, tapi hanya miskin harta. Kita tidak miskin akhlak, apalagi miskin kasih sayang. Dan kita harus bersyukur karenanya. Sebab, kaya pun tidak menjamin kebahagiaan sejati.” ucap sang ibu bijak kepada Tono. Tono pun mengiyakan pernyataan ibunya. Dan dalam hatinya ia meyakini bahwa kebahagiaan sejati hanya ada ketika kasih sayang dan akhlak ada, bukan kekayaan yang mendatangkan kebahagiaan sejati.
“Iya kak, yang penting sekarang ibu cepat sehat ya… Supaya nanti kita bisa bercanda lebih seru.” sambung Buyung dengan polosnya. Dan Tono pun tersenyum mendengar ucapan adiknya tersebut.
“Nah, buat Tono, Siti, dan Buyung. Kalian harus belajar yang rajin ya… Memang bapak tidak mampu menyekolahi kalian, tetapi karena hal itu jangan membuat kalian menjadi tidak belajar. Kalian dapat belajar dari mana saja, bisa dengan melihat perilaku orang-orang kantoran, atau dari TV punya tetangga kita itu.” nasehat ayah pada anak-anaknya.
“Belajarlah kalian supaya tidak bodoh seperti ibu ini, jadilah lebih baik dari orang tua ya, nak.” ucap ibu, yang langsung disanggupi oleh Tono, Siti, dan Buyung.
“Iya, Tono juga sudah ada buku. Walau cuman satu, Tono akan ngrawat buku itu. Lalu nanti, Tono ajarin Siti, Buyung belajar membaca sama kakak mulai besok ya…” ucap tono lembut kepada adik-adiknya.
“Yang paling penting, belajarlah menyayangi sesama dan mengasah akhlak. Agar pengetahuan yang kita dapat tidak kita gunakan dengan tidak seharusnya ya…” kata sang ibu sambil merangkul Buyung dan di-iya-kan oleh anak-anaknya.
Setelah itu, candaan dan obrolan hangat di tengah-tengah orangtua dan adik-adiknya terus berlanjut. Ia merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, tetapi ia merasakan sesuatu yang hangat, yang tidak dirasakan oleh semua orang yang tidak senasib dengan keluarganya. Ia rela mengorbankan apa pun agar kehangatan itu tetap ada, ia tak perlu memikirkan hal-hal rumit yang dapat mengikis kehangatan tersebut. Dan akhirnya buku tersebut ia jual, dan uangnya ia belikan sepotong ayam goreng untuk makan bersama keluarganya.
Suatu malam di sebuah rumah kecil di pinggir rel kereta, terdapat sebuah keluarga yang sedang menikmati makan malam seadanya. Tono merupakan anak tertua dari tiga bersaudara dalam keluarga tersebut, dan ia berumur lima belas tahun. Adik Tono adalah Siti dan Buyung, yang masih berumur delapan dan lima tahun. Tono dan Siti tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena ayahnya hanya seorang pengumpul sampah plastik di salah satu tempat pembuangan sementara, di sebuah sudut kota kecil. Ibunya tidak bekerja karena sudah cukup lama menderita sakit, yang keluarganya sendiri tidak tahu apa penyakitnya karena tidak memiliki cukup uang untuk membawa sang ibu ke rumah sakit.
Walau begitu, keluarga ini tetap bersyukur karena masih dapat berkumpul dan bercengkrama. Walau ditekan oleh kemiskinan, mereka tetap berusaha mendapatkan sepiring dua piring nasi. Tetapi malam itu ada yang berbeda dengan keluarga tersebut, Tono mendapatkan buku pengetahuan umum dari teman bekas sekolahnya dulu. Tono sempat sekolah hingga kelas lima sekolah dasar. Sesudah makan malam, di rumah yang hanya berdinding dipan dan beratap seng, dimana keluarga tersebut telah menyelesaikan makan malamnya, Tono memberitahukan orang tuanya, bahwa ia diberikan sebuah buku tentang pengetahuan umum.
Sejenak, Tono perlahan-lahan membuka satu per satu halaman di buku tersebut. Lalu ia tertarik pada sebuah halaman yang membahas kemiskinan. Dengan teliti dan berusaha memahami isi buku tersebut, ayahnya tiba-tiba menghampirinya.
“Sedang baca apa kamu, nak?” tanya ayahnya sambil duduk di sebelah Tono.
“Ini pak, aku lagi baca buku yang tadi siang diberikan oleh teman bekas sekolahku dulu.” jawab tono.
“Pak, disini ditulis kalau fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tapi kenapa kenyataannya nggak begitu?” tanya Tono pada ayahnya.
“Ya bapak nggak tahu, nak. Mungkin karena banyak masalah di negeri ini, hingga nggak semuanya dapat ditangani oleh pemerintah kita.” jawab ayah Tono seadanya.
“Kenapa bisa seperti itu?” tanya Tono dengan rasa penasarannya.
“Ya karena negara kita ini masih berkembang, nak. Seperti seorang anak yang dalam masa pertumbuhan, anak itu pasti butuh uang buat sekolah, baju yang bagus, dan lainnya. Sehingga, kita yang miskin ini nggak bisa nuntut banyak ke negara, nak. Soalnya kita nggak punya apa-apa buat negara kita yang masih berkembang ini.” jawab ayah Tono bersamaan dengan menyeruput secangkir air putih.
“Jadi negara cuman mau merhatiin orang yang punya uang ya, yah?” tanya Tono lagi.
“Bapak juga bingung, nak. Soalnya banyak masalah di negeri kita ini. Nggak cuman kita ini yang miskin, sekarang dah ada masalah keadilan, bencana alam, sama masalah ekonomi.” jawab ayah Tono dengan mata yang menatap langit-langit rumah dengan pandangan tampak kosong.
“Jadi, kita miskin terus donk, yah?” tanya Tono pada ayahnya.
“Nak, kita terus miskin atau tidak miskin, hanya kita yang mampu memutuskannya. Kita sendiri pula yang harus mewujudkan mimpi-mimpi kita untuk lepas dari kehidupan ini. Tapi, kenyataannya buat makan saja kita susah, apalagi buat jadi nggak miskin. Yang penting, kita bisa hidup mandiri dan selalu bersyukur pada sang Pencipta. Jangan pernah kamu mengharapkan belas kasihan orang ya, nak.” jawab ayah Tono bijak.
“Baik yah…” sambung Tono.
Lalu Tono kembali membuka halaman buku tersebut satu per satu. Sang ayah pun beranjak merapikan piring-piring bekas makan malam tadi, setelah Siti dan Buyung menyelesaikan makanan mereka. Sang ibu sudah cukup lama hanya bisa berbaring di lantai beralaskan tikar seadanya. Sehingga sang ibu tidak bisa membantu apa pun. Tetapi sang ibu mendengarkan pembicaraan Tono dengan ayahnya tadi. Sang ibu melirik Tono yang sedang duduk bersila di lantai dengan memgang buku tersebut di bawah sinar lampu senthir.
“Sedang apa kamu nak?” tanya sang ibu kepada Tono.
“Oh, ibu. Ini bu, aku lagi baca buku yang dikasih sama Andre tadi siang.” jawab tono dengan sedikit terkejut karena ibunya tiba-tiba bertanya.
“Baguslah, walau kamu ma adikmu nggak bisa sekolah lagi, tapi kalian harus tetap belajar dari manapun, siapapun, dan bagaimana pun ya, nak.” nasehat ibunya kepada Tono dan Siti yang saat itu langsung memeluk sang ibu.
“Iya bu…” jawab Tono dan Siti hampir bersamaan.
Tak lama kemudian, sang ayah muncul setelah tadi merapikan piring lalu kebelakang rumah sepetak mereka. Sang ayah lalu mengambil sebungkus jamu yang ia beli tadi siang, untuk diberikan kepada ibu. Sesudah menyeduh jamu tersebut, sang ayah menghampiri ibu lalu meminumkan jamu tersebut kepada ibu secara perlahan. Jamu yang diberikan adalah jamu yang sebenarnya untuk penyakit masuk angin. Karena keluarga tersebut tidak memiliki cukup uang untuk membeli obat yang sesungguhnya. Dibandingkan dengan meminum jamu, lebih jarang sang ibu tidak meminum obat apa pun. Setelah ibu minum obat, Tono, Siti, dan Buyung yang masih kecil menghampiri sang ibu, dan berkumpullah keluarga tersebut di tempat sang ibu berbaring.
“Yah, besok kita makan apa? Uang buat beli jamu ini dari mana?” tanya sang ibu kepada ayah.
“Liat besok aja ya, bu. Tadi bapak nemu seribu di tempat pembuangan itu, jadi bapak belikan jamu saja buat ibu.” jawab ayah kepada sang Ibu.
“Kok liat besok aja, yah? Siti ingin makan ayam, yah. Ayam yang ada di restoran gambar badut itu lho. Yang di dekat Mall.” kata Siti tiba-tiba.
“Iya, soalnya bapak belum tahu dapat berapa banyak plastik besok. Sabar ya nak, suatu saat pasti kita sama-sama makan di sana. Soalnya bapak juga pengen makan di sana, biar kayak orang kaya.” jawab sang ayah sembari mengelus rambut Siti.
“Pak, besok aku bantu ya. Biar kita dapat tambahan, supaya bisa beliin ayam buat Siti ma Buyung. Kasihan mereka hanya makan nasi akik dan lauk seadanya terus.” saran Tono dengan memandang mata adik-adiknya.
“Ya sudah, tapi buat ayamnya kita liat besok aja ya anak-anakku.” jawab ayah, yang seketika itu diaminin oleh anak-anaknya.
Tono tahu bahwa membeli sepotong ayam goreng hanyalah sebuah mimpi belaka, walau Tono membantu ayahnya. Tetapi Tono tidak ingin mengecilkan hati adik-adiknya, sesuatu yang juga dilakukan oleh orang tuanya. Tono mengalami kegundahan dalam hatinya, ia merasa bahwa seberapa keras pun usaha yang dilakukan ayahnya dan dirinya dalam mendapatkan sepiring dua piring nasi, tetap saja tak pernah cukup. Tapi, pengusaha hanya tinggal duduk di sofa nyaman di ruangan ber-AC, dengan mudah mendapatkan uang banyak. Tono yakin, orang miskin tidak bodoh dari lahir. Ia merasa dengan sedikitnya akses yang diberikan oleh negara pada orang miskin telah membodohkan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia mencoba mencari jawaban dari bukunya, hingga tak terasa ia telah sibuk sendiri dan tidak memperhatikan ayah, ibu, dan adik-adiknya yang sedang bersenda gurau.
Begitu lama ia terpaku dengan membaca buku tersebut, ia mulai berpikir mengenai segala teori yang ada dalam buku itu. Mengulas, memahami, dan mencari hal-hal lain yang ia rasa dapat menjawab kegundahan hatinya. Ia menemukan bahwa negaranya adalah negara yang berasaskan Pancasila, dimana kemanusiaan dan keadilan sosial terdapat dalam landasan tersebut. Ia juga menemukan bahwa kemiskinan tidak hanya ada di negaranya, tetapi diseluruh dunia kemiskinan adalah masalah global. Hingga akhirnya, ia merasa kecewa ketika menemukan bahwa hampir setiap negara hanya terpaku pada perekonomian dan pesta demokrasi, termasuk negaranya. Kemiskinan hanya dianggap seperti suatu penyakit sosial yang tidak berdampak apa-apa pada para pemimpin negara dan pengusaha. Malah, kemiskinan sering di eksploitasi demi kepentingan sejumlah pihak. Semakin Tono menemukan sesuatu, semakin kecewalah ia pada negaranya.
Cukup lama Tono membaca buku tersebut demi mencari jawaban dari kegundahan hatinya. Hingga tiba-tiba rumah mereka bergoyang dan diiringi suara trompet kereta api. Beberapa detik kemudian, rumah mereka kembali tenang karena kereta tersebut telah berlalu. Ia pun berkata dalam hatinya, “Cukup sudah aku membaca buku ini.” Tono pun menaruh buku tersebut di lantai, ia memandang sejenak ayah dan adik-adiknya yang sedang bercanda dan mengobrol dengan hangat disekeliling sang ibu. Ia terpaku mengamati suasana tersebut beberapa menit kemudian, hingga melamun.
Tiba-tiba sang ibu berkata kepadanya, “Tono, apa yang sedang kamu pikirkan? Ayo sini, di sebelah ibu.” yang seketika itu memecahkan lamunan Tono. Tono pun beranjak mendekati sisi kepala ibunya dan mengelus rambut ibunya.
“Pak, bu, walau kita miskin, aku tetap bahagia karena kita masih diberikan rejeki oleh yang Maha Kuasa. Walau kita miskin, aku tetap bahagia karena kita tetap dapat berkumpul sebagai keluarga.” ungkap Tono.
“Iya nak, bapak juga senang kalau kita masih bisa berkumpul sebagai keluarga seperti ini.” sambung sang ayah.
“Kita memang miskin, tapi hanya miskin harta. Kita tidak miskin akhlak, apalagi miskin kasih sayang. Dan kita harus bersyukur karenanya. Sebab, kaya pun tidak menjamin kebahagiaan sejati.” ucap sang ibu bijak kepada Tono. Tono pun mengiyakan pernyataan ibunya. Dan dalam hatinya ia meyakini bahwa kebahagiaan sejati hanya ada ketika kasih sayang dan akhlak ada, bukan kekayaan yang mendatangkan kebahagiaan sejati.
“Iya kak, yang penting sekarang ibu cepat sehat ya… Supaya nanti kita bisa bercanda lebih seru.” sambung Buyung dengan polosnya. Dan Tono pun tersenyum mendengar ucapan adiknya tersebut.
“Nah, buat Tono, Siti, dan Buyung. Kalian harus belajar yang rajin ya… Memang bapak tidak mampu menyekolahi kalian, tetapi karena hal itu jangan membuat kalian menjadi tidak belajar. Kalian dapat belajar dari mana saja, bisa dengan melihat perilaku orang-orang kantoran, atau dari TV punya tetangga kita itu.” nasehat ayah pada anak-anaknya.
“Belajarlah kalian supaya tidak bodoh seperti ibu ini, jadilah lebih baik dari orang tua ya, nak.” ucap ibu, yang langsung disanggupi oleh Tono, Siti, dan Buyung.
“Iya, Tono juga sudah ada buku. Walau cuman satu, Tono akan ngrawat buku itu. Lalu nanti, Tono ajarin Siti, Buyung belajar membaca sama kakak mulai besok ya…” ucap tono lembut kepada adik-adiknya.
“Yang paling penting, belajarlah menyayangi sesama dan mengasah akhlak. Agar pengetahuan yang kita dapat tidak kita gunakan dengan tidak seharusnya ya…” kata sang ibu sambil merangkul Buyung dan di-iya-kan oleh anak-anaknya.
Setelah itu, candaan dan obrolan hangat di tengah-tengah orangtua dan adik-adiknya terus berlanjut. Ia merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, tetapi ia merasakan sesuatu yang hangat, yang tidak dirasakan oleh semua orang yang tidak senasib dengan keluarganya. Ia rela mengorbankan apa pun agar kehangatan itu tetap ada, ia tak perlu memikirkan hal-hal rumit yang dapat mengikis kehangatan tersebut. Dan akhirnya buku tersebut ia jual, dan uangnya ia belikan sepotong ayam goreng untuk makan bersama keluarganya.
David Kura
Ilustrator dan Layout Senthir, Aktivis GMNI Komisariat Filsafat UGM
Ilustrator dan Layout Senthir, Aktivis GMNI Komisariat Filsafat UGM
0 komentar:
Posting Komentar