Oleh: Nur Hidayah
Tak biasanya langit mengacuhkan pandanganku, dimana kaki ku membekas lara menepaki jalan yang berkerikil. Mencoba bertahan ditengah himpitan rasa yang tersakiti, mencoba tersenyum anggun untuk menutupi bekas luka yang menyayat tiap organ tubuhku. Sejenak aku pun terkapar di balik ruas-ruas tempat tidurku. Tiba-tiba dering handphone membangunkanku. Aku pun mengangkatnya.
“Halo! Kenapa menelpon?” tanyaku langsung.
“Bukankah masalahnyah udah sangat jelas!” pintaku lagi.
“Kok? “ Ia sedikit keheranan mendengar pernyataanku.
Suasana sunyi senyap seketika.”Tenangkan pikiranmu, sesakit apapun yang kamu rasa jangan sampai kamu tidak bisa mengendalikan emosimu, tenang dan tenang,” mencoba bijak dalam batinku.
“Hmmm…!” Mulutnya mulai mengeluarkan suara, dan tanpa menunggu lebih lama lagi, ia melanjutkannya.
“Kamu tahu? Perasaan yang kamu tunjukan padaku?” tanyanya.
“perasaan apa?”aku sedikit bengong dengan kata yang pernah ku lontarkan itu.
“semudah itukah kamu melupakan kata yang kamu ucap untukku?, yaitu perasaan hambar yang kamu tunjukan padaku” tanpa jeda sedikitpun ia terus berbicara padaku.
“Kamu tahu? Kata itu mampu meninggalkan goresan yang begitu dalam, seperti ibarat air laut meninggalkan zat keasinanya, seperti sayur tanpa ada rasa sedikitpun dan hanya rasa hambar yang dirasakan oleh penikmatnya dan itulah rasa yang ku rasakan sekarang”.
Mendengar itu, aku bagai dijatuhi beban berat yang mampu membuat tulang-tulangku retak dalam pejaman mata tak sadar. Aku hanya bisa diam dan menarik nafas dalam, berharap kesabaranku terus memihak pada diriku. Dan akupun angkat bicara, bukan untuk membela diri dengan kata yang pernah ku ucup untuknya. Namun aku hanya ingin menjelaskan sedikit kebanaran meskipun ku tahu kebenaran itu bukan untukku.
“aku tahu kamu sakit dengan hal itu, dan aku sadar ditiap apa yang ingin ku ucapkan. Aku tak perlu berharap kamu mengerti aku, aku hanya butuh kesadaran darimu”.
“Ha…ha…ha…” tiba-tiba ia menertawain aku, dan suara tawa itu pun terus berlanjut. Aku hanya diam menyaksikan tawa ejekan darinya.
“oh…Tuhan!, aku ingin beranjak sejenak dan berlari untuk membebaskan raga dan ruh ku dari rantai yang membelenggu di tubuh. Aku terus menjerit dalam hatiku”. Menahan air mata, dan mencoba tetap kuat menghadapi itu.
Ngak tahu kenapa? Mendengar tawa ejekan itu, membuat hatiku terus bertanya-tanya tentangnya, seakan tak percaya “apakah ini sifat aslinya Tuhan?, kenapa selama ini ia memakai topeng. Padahal aku tak menginginkan hal ini, aku hanya ingin dia tampil apa adanya, dan tidak harus menyembunyikan bahwa inilah dirinya”.
“u…huh..! ku pun mengambil nafas panjang.
Suara tawanya berhenti, dan akupun melanjutkan pembicaraanku.
“dalam hidupmu, apakah kamu pernah merasakan sesesorang yang terus memojokanmu atau seseorang yang terus menyalahimu?dan kamu tahu, apa yang harus kamu lakukan untuk itu?”. Ia terdiam.
“apa kamu pernah mencari jawaban dari pernyataanku yaitu “perasaan hambar yang ku tunjukkan untukmu”, coba kamu berpikir secara rasio dan kepala dingin, kenapa aku ngelakukan hal itu?”. Aku terus berbicara dan mengungkapkan apa yang ku rasakan selama ini.
“aku tuh udah bosan dan jenuh dengan permintaan maafmu, berulang kali kamu melakukan hal yang sama, tapi kamu tak pernah berubah. Semakin aku mengarahkanmu semakin menjadi-jadi pula tingkahmu”.
“ok.!, aku terima semua itu dan aku mengakui kesalahanku. Tapi kamu jangan memutuskan keputusan secara sepihak dunk! lagian aku masih ada hak. Dan kamu masih menjadi bagian dari hidupku”. jawabnya.
“Hmmmm…iya…ya. apa aku terlalu egois? Sehingga aku terjebak dalam emosiku sendiri” tanyaku dalam hati.
“udah!, sekarang kamu istirahat. Ohy!, dalam satu minggu ini kita saling berintropeksi diri dulu” ia berusaha menenangkan ku.
“ok!”. jawabku.
Keputusan untuk berintropeksi diri dan saling tidak menghubungi antara satu sama lainpun menjadi akhir dari pembicaraan. Hari-hari yang ku lewati seakan berjalan lambat, dan sesekali rasa kerinduan akan dirinya menghampiriku. Aku ingin menghubunginya untuk sekedar menanyakan kabar dan sekaligus mengobati rasa rinduku. Tapi, aku terbangun dari keinginanku itu, aku kembali sadar bahwa kita mempunyai keputusan yaitu untuk saling berintropeksi. Untuk menghilangkan kerinduan itu, aku mencari aktivitas lain.
Suatu malam aku tampak gelisah akan dirinya. Hanya mondar-mandir yang ku lakukan dibalik ruas-ruas kamar, dan akhirnya ku putuskan untuk menelphone.
“tut…tut…tut…” kok panggilannya menunggu dan di reject sich?, tanyaku.
Kemudian aku menelpon lagi dan panggilanku masih tetap sama.
“kok, ngak biasanya dia kayak gini?, siapa yang menelphonya malam-malam gini?” Tanya ku penuh keheranan.
Sampai ketiga kalinya ku menelphone baru dia angkat.
Dengan tergesa-gesa dan sedikit emosi, aku langsung menanyakan “lagi nelphone sama siapa?, kok!telphone ku di reject?”.
Dengan santainya ia menjawab ”sepupu yang nelphone coz dia lagi patah hati di putusin ma cowoknya, dan aku tidak disuruh angkat telephone kamu”.
“oh…!sepupumu yach! Ataukah itu hanya alasan untuk menutipi kedokmu. Jangan berfikir aku itu bego yang langsung percaya omonganmu setelah ku mengetahui semua yang terjadi dibelakangku. Inikah jawaban intropeksi itu? Kalo ya…! Hubungan kita cukup sampai disini. Terimakasihku untukmu karena dirimu mampu menciptakan goresan itu. Jika kamu tidak mau menerima keputusanku bararti itu resiko dan deritamu. Sudah cukup aku mencoba pertahanin perasaanku dan kini saatnya aku terbang jauh darimu, “tut…tut…tut…” langsung ku matikan telephonenya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, ia menghubungi aku. Namun aku tak pernah meladeninya. Seiring waktu berjalan akhirnya ia jujur bahwa dia selingkuh dengan cewe lain, dan menyesal telah menghianati. Aku hanya bisa senyum ramah padanya meskipun hatiku sakit mendengar itu, tapi disisi lain aku senang karna ia sadar dengan apa yang dia lakukan padaku. Walau sesekali ia masih membujukku untuk balikan, huh…apa mau dikata keputusanku tidak bisa ku tarik lagi. Semoga ini menjadi cerminan bagiku, cukuplah aku yang sudah merasakannya dan jangan sampai kamu melakukan hal yang sama terhadap orang yang kamu cintai.
Tak biasanya langit mengacuhkan pandanganku, dimana kaki ku membekas lara menepaki jalan yang berkerikil. Mencoba bertahan ditengah himpitan rasa yang tersakiti, mencoba tersenyum anggun untuk menutupi bekas luka yang menyayat tiap organ tubuhku. Sejenak aku pun terkapar di balik ruas-ruas tempat tidurku. Tiba-tiba dering handphone membangunkanku. Aku pun mengangkatnya.
“Halo! Kenapa menelpon?” tanyaku langsung.
“Bukankah masalahnyah udah sangat jelas!” pintaku lagi.
“Kok? “ Ia sedikit keheranan mendengar pernyataanku.
Suasana sunyi senyap seketika.”Tenangkan pikiranmu, sesakit apapun yang kamu rasa jangan sampai kamu tidak bisa mengendalikan emosimu, tenang dan tenang,” mencoba bijak dalam batinku.
“Hmmm…!” Mulutnya mulai mengeluarkan suara, dan tanpa menunggu lebih lama lagi, ia melanjutkannya.
“Kamu tahu? Perasaan yang kamu tunjukan padaku?” tanyanya.
“perasaan apa?”aku sedikit bengong dengan kata yang pernah ku lontarkan itu.
“semudah itukah kamu melupakan kata yang kamu ucap untukku?, yaitu perasaan hambar yang kamu tunjukan padaku” tanpa jeda sedikitpun ia terus berbicara padaku.
“Kamu tahu? Kata itu mampu meninggalkan goresan yang begitu dalam, seperti ibarat air laut meninggalkan zat keasinanya, seperti sayur tanpa ada rasa sedikitpun dan hanya rasa hambar yang dirasakan oleh penikmatnya dan itulah rasa yang ku rasakan sekarang”.
Mendengar itu, aku bagai dijatuhi beban berat yang mampu membuat tulang-tulangku retak dalam pejaman mata tak sadar. Aku hanya bisa diam dan menarik nafas dalam, berharap kesabaranku terus memihak pada diriku. Dan akupun angkat bicara, bukan untuk membela diri dengan kata yang pernah ku ucup untuknya. Namun aku hanya ingin menjelaskan sedikit kebanaran meskipun ku tahu kebenaran itu bukan untukku.
“aku tahu kamu sakit dengan hal itu, dan aku sadar ditiap apa yang ingin ku ucapkan. Aku tak perlu berharap kamu mengerti aku, aku hanya butuh kesadaran darimu”.
“Ha…ha…ha…” tiba-tiba ia menertawain aku, dan suara tawa itu pun terus berlanjut. Aku hanya diam menyaksikan tawa ejekan darinya.
“oh…Tuhan!, aku ingin beranjak sejenak dan berlari untuk membebaskan raga dan ruh ku dari rantai yang membelenggu di tubuh. Aku terus menjerit dalam hatiku”. Menahan air mata, dan mencoba tetap kuat menghadapi itu.
Ngak tahu kenapa? Mendengar tawa ejekan itu, membuat hatiku terus bertanya-tanya tentangnya, seakan tak percaya “apakah ini sifat aslinya Tuhan?, kenapa selama ini ia memakai topeng. Padahal aku tak menginginkan hal ini, aku hanya ingin dia tampil apa adanya, dan tidak harus menyembunyikan bahwa inilah dirinya”.
“u…huh..! ku pun mengambil nafas panjang.
Suara tawanya berhenti, dan akupun melanjutkan pembicaraanku.
“dalam hidupmu, apakah kamu pernah merasakan sesesorang yang terus memojokanmu atau seseorang yang terus menyalahimu?dan kamu tahu, apa yang harus kamu lakukan untuk itu?”. Ia terdiam.
“apa kamu pernah mencari jawaban dari pernyataanku yaitu “perasaan hambar yang ku tunjukkan untukmu”, coba kamu berpikir secara rasio dan kepala dingin, kenapa aku ngelakukan hal itu?”. Aku terus berbicara dan mengungkapkan apa yang ku rasakan selama ini.
“aku tuh udah bosan dan jenuh dengan permintaan maafmu, berulang kali kamu melakukan hal yang sama, tapi kamu tak pernah berubah. Semakin aku mengarahkanmu semakin menjadi-jadi pula tingkahmu”.
“ok.!, aku terima semua itu dan aku mengakui kesalahanku. Tapi kamu jangan memutuskan keputusan secara sepihak dunk! lagian aku masih ada hak. Dan kamu masih menjadi bagian dari hidupku”. jawabnya.
“Hmmmm…iya…ya. apa aku terlalu egois? Sehingga aku terjebak dalam emosiku sendiri” tanyaku dalam hati.
“udah!, sekarang kamu istirahat. Ohy!, dalam satu minggu ini kita saling berintropeksi diri dulu” ia berusaha menenangkan ku.
“ok!”. jawabku.
Keputusan untuk berintropeksi diri dan saling tidak menghubungi antara satu sama lainpun menjadi akhir dari pembicaraan. Hari-hari yang ku lewati seakan berjalan lambat, dan sesekali rasa kerinduan akan dirinya menghampiriku. Aku ingin menghubunginya untuk sekedar menanyakan kabar dan sekaligus mengobati rasa rinduku. Tapi, aku terbangun dari keinginanku itu, aku kembali sadar bahwa kita mempunyai keputusan yaitu untuk saling berintropeksi. Untuk menghilangkan kerinduan itu, aku mencari aktivitas lain.
Suatu malam aku tampak gelisah akan dirinya. Hanya mondar-mandir yang ku lakukan dibalik ruas-ruas kamar, dan akhirnya ku putuskan untuk menelphone.
“tut…tut…tut…” kok panggilannya menunggu dan di reject sich?, tanyaku.
Kemudian aku menelpon lagi dan panggilanku masih tetap sama.
“kok, ngak biasanya dia kayak gini?, siapa yang menelphonya malam-malam gini?” Tanya ku penuh keheranan.
Sampai ketiga kalinya ku menelphone baru dia angkat.
Dengan tergesa-gesa dan sedikit emosi, aku langsung menanyakan “lagi nelphone sama siapa?, kok!telphone ku di reject?”.
Dengan santainya ia menjawab ”sepupu yang nelphone coz dia lagi patah hati di putusin ma cowoknya, dan aku tidak disuruh angkat telephone kamu”.
“oh…!sepupumu yach! Ataukah itu hanya alasan untuk menutipi kedokmu. Jangan berfikir aku itu bego yang langsung percaya omonganmu setelah ku mengetahui semua yang terjadi dibelakangku. Inikah jawaban intropeksi itu? Kalo ya…! Hubungan kita cukup sampai disini. Terimakasihku untukmu karena dirimu mampu menciptakan goresan itu. Jika kamu tidak mau menerima keputusanku bararti itu resiko dan deritamu. Sudah cukup aku mencoba pertahanin perasaanku dan kini saatnya aku terbang jauh darimu, “tut…tut…tut…” langsung ku matikan telephonenya.
Beberapa hari setelah kejadian itu, ia menghubungi aku. Namun aku tak pernah meladeninya. Seiring waktu berjalan akhirnya ia jujur bahwa dia selingkuh dengan cewe lain, dan menyesal telah menghianati. Aku hanya bisa senyum ramah padanya meskipun hatiku sakit mendengar itu, tapi disisi lain aku senang karna ia sadar dengan apa yang dia lakukan padaku. Walau sesekali ia masih membujukku untuk balikan, huh…apa mau dikata keputusanku tidak bisa ku tarik lagi. Semoga ini menjadi cerminan bagiku, cukuplah aku yang sudah merasakannya dan jangan sampai kamu melakukan hal yang sama terhadap orang yang kamu cintai.
Nur Hidayah
Pemimpin Perusahaan Senthir, Aktivis GMNI Komisariat UAD Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar