Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Kamis, 22 April 2010

PEREMPUAN KEDUA

Oleh Ratih Indah Lestari

Wanita itu datang dengan senyum penuh kepolosan seorang gadis desa, namun jujur saja, senyum itu cukup memikat hati orang yang melihatnya.

Inah, begitu ia dipanggil. Sungguh gadis yang sangat polos dan lugu!Sejak pertama kali Inah menginjakkan kakinya dirumah kami dan memasuki bagian dari kehidupan kami, kami sekeluarga sudah merasa cocok. Bukan karena Inah sangat penurut dan mau disuruh-suruh. Aura tubuhnyalah yang mengatakan bahwa Inah adalah orang yang kami cari selama ini.

Sebagai wanita pekerja, tentu saja aku sangat membutuhkan uluran tangan Inah yang dengan senang hati membantu keluarga kami dalam mengurus urusan rumah tangga. Semua anggota keluarga merasa senang dengan segala pekerjaan yang Inah lakukan. Semua urusan rumah, mulai dari mengurus anak hingga urusan beres-beres rumah dilakukannya dengan penuh tanggung jawab dan ketelitian. Sebenarnya Inah adalah gadis yang pintar dalam segala hal. Pendidikannya saja tamatan SLTA berjurusan Akuntansi. Entah alasan apa yang mendasari Inah untuk mengambil pekerjaan ini, yang sebetulnya sangat disayangkan karena pendidikannya yang lumayan, sia-sia begitu saja.

Menjelang tidur, tiba-tiba aku merasa ingin mengetahui pendapat Bang Hendra tentang pekerjaan Inah.

“Bang!Gimana menurut Abang?kerjaan Inah itu bagus atau tidak?”

Sambil menutup buku tebalnya berjudul How to Stop Worrying and Start Living karangan Dale Carnegie, Bang Hendra menarik nafas dalam, tanda ia akan mengeluarkan kata-kata bijaknya. Inilah yang sangat aku kagumi dari Bang Hendra, selain pembawaannya yang sangat tenang, suami tercintaku itu juga sangat jarang berbicara. Bang Hendra hanya berbicara seperlunya saja dan sekalinya berbicara ia akan mengeluarkan kata-kata yang bijak dan sangat enak untuk didengar.

“Bunda kan juga udah ngeliat sendiri gimana semua kerjaan rumah yang ditangani Inah!Inah itu orangnya ulet, jadi kita gak salah kan pilih pembantu!Ini kan Bunda juga yang milih. Mungkin kalo Bunda salah pilih, sekarang Bunda pasti udah uring-uringan kan?” Senyum diwajah teduh suamiku itu memancing gatal ditanganku untuk segera mencubitnya.

Ah!Mungkin didunia ini hanya aku wanita yang paling merasakan bahagia. Suami penyayang dan pengertian, anak-anak yang lucu dan tidak nakal, penghasilan keluarga yang lumayan, juga seorang pembantu rumah tangga yang sangat perfect!Lengkap sudah kebahagiaan yang selalu diidamkan oleh setiap wanita. Wanita mana yang tidak iri melihat kebahagiaan keluarga kami. Teman sekantorku, Ita, pernah menyatakan keinginannya untuk bertukar tempat sehari saja untuk merasakan kebahagiaan yang aku alami. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Andai saja jiwa bisa ditukar-tukar, ingin rasanya aku membagi kebahagiaan ini dengan wanita lainnya yang kurang beruntung mendapatkan kasih sayang seperti yang aku dapatkan.

Suatu hari, Ita mengungkapkan perasaan yang mengganjal dihatinya. Ita dan aku memang sudah biasa untuk terbuka dalam segala hal. Mendiskusikan segala hal hingga menemukan jalan keluar.

“Mer, sebenarnya aku agak risih kalo harus bilang ini ke kamu. Kalo melihat kebahagiaan kamu sih, mungkin aku gak patut buat berkata seperti ini.”

“Emang apaan sih yang mau kamu bicarakan?bikin penasaran aja!Emang ini menyangkut kebahagiaan aku, apa?”

“Emm...iya Mer!jangan marah ya kalo aku berkata kayak gini, ini kan demi kebaikan kamu juga.”

“Emang apaan sih?Udah to the point aja!kamu kan gak biasa basa-basi!”

“Iya betul. Gini loh Mer, Kata orang....”

“Huu...kata orang?kata siapa?mau ngegosip ya?”

“Gak kok. Kata orang kalo ada perempuan kedua dalam rumah tangga, bisa mendatangkan bencana loh bagi keluarga itu. Kamu ngerti kan maksud aku?”

“Kamu ngomong apaan sih?Perempuan kedua apaan?”

“Duh!pinter-pinter kamu ternyata bodoh juga yah!gini loh,ini soal pembantu kamu itu. Kamu bilang kan kamu udah cocok sama dia. Yang aku khawatirin, kata orang, pembantu kamu itu bisa bikin retak rumah tangga lho!”

“Hahaha...(Aku tertawa geli!). Ada-ada saja kamu Ta!Kalo seorang pembantu bisa bikin retak rumah tangga orang, gak mungkin sudah banyak agen yang ngeluarin banyak pembantu sekarang ini!Udahlah jangan percaya kata orang, percaya aja sama kata hati sendiri!Lagian Bang Hendra-ku itu imannya cukup kuat kok kalo bicara soal selingkuh!”

“Ah kamu tuh kalo dibilangin. Emang selama ini kamu selalu dibuai oleh kebahagiaan, dan menutup mata kamu dari sisi lain dunia ini. Sekalinya kamu didera derita, baru tahu rasa kamu gimana kejamnya dunia ini!Eh, selama ada Inah, apa kamu pernah melihat hal yang janggal didiri Bang Hendra?”

“Hahaha...(Aku tertawa keras kali ini!). Kamu aja hingga kini belum berkeluarga, mau menasehati aku. Tapi aku makasih banget karena kamu udah warning aku. Thanks atas masukannya ya Ta, kamu emang sahabat aku!Tapi aku masih percaya sama Bang Hendra kok!Bang hendra gak bisa macam-macam dan gak akan berani berpaling dari wanita yang cantik dan pintar seperti aku ini.”Siang itu percakapan ditutup dengan cerita Ita yang sedang kasmaran dengan kepala manajer bagian produksi diperusahaan kami.

“Kapan berangkatnya Bun?” Bang Hendra menanyakan perihal kepergianku keluar kota. Sebetulnya ini sudah termasuk urusan dinas yang kesekian kalinya yang pernah ditugaskan perusahaan kepadaku. Maklum sebagai manajer marketing disalah satu perusahaan mobile phones terkemuka di Indonesia, kedudukan ini sangat mempengaruhi masa depan perusahaan.
“Nanti setelah makan siang, Bunda akan dijemput sama Ita. Kebetulan Ita juga ikut menghadiri rapat ini. Abang gak usah anter deh!lagi juga kan Abang hari ini ada janji sama klien Abang. Gimana kasusnya?udah selesai?” Sambil mengepak barang, kutanyai balik suamiku itu yang seorang pengacara.

“Kasus yang mana ya?(berfikir sejenak!)Oh, kasus pelecehan itu!sudah selesai kok. Abang menang!Korbannya udah babak belur begitu kok, masa gak bisa menang!Abangnya siapa dulu!”

“Huu....sudah tua ya kok masih begitu aja sih Bang!Makan yuk?”

Kami berdua pun mengangguk tanda sepakat untuk sarapan bersama.
Anak-anak kami yang masih kecil-kecil sedang bermain dengan Inah diruang keluarga. Kulihat mereka sangat sayang kepada Inah. Jika melihat kedekatan Inah dengan anak-anakku, sering terlintas perasaan cemburu. Aku takut kasih sayang mereka terhadap bundanya akan dilimpahkan kepada Inah yang jelas-jelas bukan ibunya!Tapi, lagi-lagi perasaan itu segera kutepis. Aku percaya, hal itu terjadi karena Inah memang sangat sayang terhadap anak-anakku.
Pagi ini semua terasa lancar dan menyenangkan. Rasanya, aku akan tenang meninggalkan ketiga cintaku dirumah.

* * *

Dua hari sudah berlalu, rasanya bagai sewindu aku telah meninggalkan rumah!Karena rindu yang tak tertahankan ini, aku memaksakan diri untuk menelepon kerumah di Jakarta. Walau lelah, nomor itu pun tetap kutekan.

Beberapa menit berlalu, belum ada jawaban dari seberang. “Halo?” Aku masih mengenali suara itu, Inah, sangat santun tutur bahasanya. “Inah!ini Ibu. Ada Bapak?” Aku sudah tidak sabar untuk segera berbincang dengan belahan jiwaku itu. “Sebentar ya Bu!”. “Halo Bunda!” Ah!lega rasanya setelah mendengar suara yang selalu kurindukan disetiap awal hariku. Suara yang selalu bisa memberi teduh dihati. Suara itu juga tidak pernah meninggi, hanya kelembutan yang selalu terpancar dari setiap intonasi yang terdengar. Ah!Dunia ini memang indah!Aku layaknya seorang remaja yang sedang dimabuk asmara. Namun bedanya, aku jatuh cinta kepada suamiku itu setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik terlebih didalam setiap hembusan nafasku ini.

Hari itu, walau dilanda kerinduan yang sangat, pembicaraan via telepon itu begitu singkat. Hanya bertukar kabar dan cerita tentang perkembangan anak-anak dan juga rumah. Aneh!kenapa perasaan itu tidak singgah dihatiku. Perasaan yang orang bilang cemburu karena tidak mengetahui pasti tingkah suami dan anak-anak!Perasaan yang kata orang ketar-ketir memikirkan rumah yang terurus atau malah sebaliknya!Ah!mungkin ini adalah suatu anugerah yang tak ternilai harganya. Berfikir positif selalu membuat hati tenang dan tidak pernah menimbulkan kecemasan dan kegelisahan. Itha selalu ‘ceramah’ soal sifatku yang satu ini!Kenapa?Apa yang salah dari sifat baik yang selalu ku agung-agungkan ini?Apa sifat ini pernah memberikan penderitaan buat orang lain atau malah menyiksa batin ini?Rasanya tidak tuh!Sifat itu begitu agung untuk dimusnahkan dari dalam diri setiap manusia. Semua akan berjalan lancar, hanya jika manusia memiliki sifat ini. Tidak butuh yang lain!Buktinya, aku selalu bisa berfikir jernih setiap masalah menghampiri.

* * *

Seminggu sudah aku tidak bersua dengan rumah dan seisinya. Pulang dari tugas diluar kota, rasanya sungguh melelahkan. Seperti biasa, kupanggil Inah ke kamar. Badan ini serasa remuk dihantam jutaan ton batu. Inah datang sambil membawa minyak yang biasa dia gunakan untuk menggosok seluruh badan. Tidak biasanya kulihat, air muka Inah selalu berubah-ubah. Kadang terlihat keceriaan disana, kadang pula terukir kecemasan yang dalam. Kuberanikan diri untuk menanyakan perihal kegelisahan hatinya.

“Inah!Kamu sedang ada masalah?” Walau Inah jarang terbuka denganku, tak jarang aku sering menanyainya sesuatu hal yang ingin aku ketahui. Beruntungnya, Inah mau bercerita tentang kegalauan hatinya itu.

Dunia kurasakan berhenti berputar seketika, ketika Inah mulai bercerita. Untuk beberapa saat, aku tak sanggup mengeluarkan apa yang seharusnya aku lakukan untuk menenangkan perasaan Inah. Kurasa, saat itu, akulah yang lebih membutuhkannya. Aku butuh seseorang untuk tempatku menjatuhkan diri dan segala beban yang berada didalamnya. Jujur, aku ingin wanita yang berada dihadapanku saat ini, menghilang dari mataku atau berpindah tempat. Entah kemana!yang penting musnah dari penglihatan ini. Walau Inah bersimbah airmata. Aku yakin itu adalah sebuah penyesalan karena telah lancang memiliki perasaan seperti itu. Penyesalan juga akhirnya singgah dijiwaku. Ternyata benarlah apa yang pernah dikatakan sahabatku, Itha. Kata-kata Itha kembali berenang-renang difikiran ini. Dan sialnya, warning yang dulu sangat aku remehkan itu tidak mau menghilang dari otakku. Pokoknya saat ini aku hanya ingin sendirian didunia ini. Tuhan!kalau saja aku boleh meminta, aku ingin semua orang atau pun semua makhluk yang bernyawa dimuka bumi ini menghilang!

Inah langsung keluar dari kamarku sambil terus meminta maaf atas kekhilafannya, dan juga akan keluguannya itu. Aku tak sanggup beranjak dari tempat tidur. Badanku yang tadinya telah remuk redam, kini tambah hancur menjadi kepingan yang lebih kecil lagi. Butiran-butiran itu pun akhirnya jatuh juga, tanpa sanggup unuk kubendung.

Beberapa saat yang lalu,
“Bu. Inah harap, Ibu jangan marah sama Inah ya?” Lega rasanya Inah mau berterus terang tentang kegalauan hatinya.

“Kenapa Ibu harus marah?Coba, jujur sama Ibu!Apa yang membuat kamu merasa aneh begitu?” Aku mencoba bijak terhadap apa yang akan dikeluarkan dari mulut mungil Inah nantinya.

Sejenak, Inah terlihat salah tingkah, aneh dan serba salah!Inah sempat menarik nafas dalam, malah sangat dalam!Apa sih yang hendak dibicarakan Inah, membuat rasa penasaranku terpancing saja.

“Bu, Inah tau Inah salah. Inah mau jujur sama Ibu. Mm...mm...Inah suka sama Bapak.”
“Apa maksud kamu Nah?ibu gak ngerti kamu suka sama siapa?Suka itu wajar kok Nah!Kamu baru pertama kali jatuh cinta ya?” Aku gak percaya, aku masih bisa bercanda kala itu.

“Em..mm...Iya Bu. Inah jatuh cinta sama Bapak.”

Sesaat aku baru menyadari bahwa yang dimaksud Inah adalah bang Hendra, suaminya sendiri. Canda dan senyum yang tadinya sudah kupersiapkan dengan matang dan mantap, akhirnya kandas juga saat mengetahui bahwa Inah menyukai pria yang kini telah menjadi pendamping hidupku.

Kiamat itu datang juga, jiwaku serasa terbang melayang ke awang-awang. Tak berpijak dibumi. Lamat-lamat kudengar penjelasan Inah yang masih kukenali keluguannya.

“Bu. Maafin Inah Bu!Inah tau Inah salah. Makanya, Inah hanya bisa mencintai Bapak dan hanya sanggup memendam perasaan ini sendirian tanpa Bapak mengetahuinya. Inah ingin hanya Inah, Tuhan dan Ibu saja yang tahu!Inah harap Ibu bisa memaafkan Inah. Sebagai hukuman atas kelancangan Inah ini, Inah mau berhenti kerja disini saja Bu. Inah akan membawa seluruh perasaan Inah pergi bersama Inah. Inah akan membiarkan perasaan itu terbang dibawa angin.” Dengan susah payah, Inah mencoba memberiku penjelasan, yang sebenarnya sangat tidak kubutuhkan!Sesekali kudengar Inah terisak sangat keras melebihi isaknya hatiku ini. Hatiku menjerit saat itu juga. Tapi jeritan itu cepat berlalu bersama kepergian Inah.

Ya, Inah benar-benar pergi membawa seluruh perasannnya..........

Ratih Indah Lestari

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share