Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Kamis, 22 April 2010

Menyapa Luka

Oleh Ratih Indah Lestari

Di dunia ini, banyak orang yang tidak mengerti tujuan hidup. Mereka tidak tahu, kemana arah langkah kaki mereka. Mereka tidak mengerti, apa yang harus mereka capai didalam hidup. Sama halnya seperti diriku. Aku tidak tahu apa makna dari hidup itu sendiri. Aku selalu berfikir, aku hidup karena cinta. Dan aku akan terus hidup untuk cinta. Seperti lingkaran yang tiada bertepi memang, tapi begitulah hidup!

“Dara, selama nafas kamu masih ada, jangan pernah berhenti untuk memberi manfaat untuk orang yang kamu cintai. Jika kamu menyerah, maka kamu akan tertindas dan mati.” Kata-kata terakhir yang sempat ditulis Ibu menjelang kepergiannya, selalu terngiang dan membayangi setiap langkah Dara. Apa aku bisa menjadi manfaat untuk orang lain?Selalu saja pertanyaan itu yang muncul dibenak.

Dara, seorang gadis berusia 23 tahun. Yang masih juga belum bisa untuk menemukan jati dirinya yang sebenarnya, hingga kedua orang tuanya meninggalkannya sendiri di dunia ini.
Dara belum bisa melupakan peristiwa yang sangat memukul jiwanya. Ketika itu, aku masih sempat melihatnya tertawa, sebelum ada kabar yang menggemparkan seluruh isi kampus ini. Ibunya mati gantung diri!

Aib yang dirasakan sangat berat itu, mampu memporakporandakan seluruh harga diri Dara.

“Kenapa Ibu tega ninggalin Dara sendirian.?” Isak Dara ditengah ramai pemakaman Ibunya. Aku bisa melihat, Dara mampu bertahan dari tatapan-tatapan tajam menusuk sebagian para pelayat. Apakah mereka tidak turut berempati?bagaimanapun cara kematian seseorang, orang itu adalah tetap manusia yang harus dihormati, walaupun sudah tidak hidup di dunia ini lagi!Aku masih tidak habis fikir, kenapa sebagian dari mereka masih bisa bersikap seperti itu?Hanya saja, Surat yang ditinggalkan Ibunya itu, sungguh tidak bisa membendung semua isak tangis yang sudah meledak-ledak.

Aku tidak pernah menyangka, Ibu dari seorang anak yang terkenal pintar dan cantik mampu melakukan tindakan bejat seperti bunuh diri!Sungguh tidak terduga. Mengingat, Dara selalu riang dan tak pernah suram. Sebagai sahabat dekatnya, aku mengetahui pasti setiap detil permasalahan yang Dara alami. Dan tidak ada satu pun yang menyangkut Ibunya!

Semenjak kejadian itu, Dara sudah tidak menampakkan wajah seriang dahulu. Setiap harinya selalu kelabu. Aku heran, Dara masih bisa hidup tanpa siapapun yang menemaninya. Dara pernah berkata, “Cukup ada lo aja Rie.” Senyuman Dara mampu menghapuskan semua keraguanku akan ketidakmampuannya untuk hidup sendiri di dunia ini. Semenjak itu pula, aku sering menemaninya kemana pun dia pergi.

Hingga suatu saat,
“Rie, ikut yuk?”

“Kemana?”

“Ikut aja deh!” Aku tak mampu menolak, karena Dara langsung menarik tanganku masuk kedalam mobil temannya.

“Sini!” Aku ditarik lagi masuk kerumah teman Dara, yang diperkenalkan sebagai Roni. Rumah sepetak yang sangat kumuh, bising terdengar dari kejauhan.

“Ini tempat apa, Dara?” Sungguh, aku takut dan gemetaran. Baru pertama kali aku kesini dan hanya Dara satu-satunya orang yang ku kenal.

“Ron, temen gue ajak santai ya?” Dara menyerahkanku begitu saja kepada Roni.

“Tenang aja!gue jagain baik-baik deh!” Dara tertawa terbahak melihat Roni mengerling nakal kepadanya.

“Dara, jangan tinggalin gue sendirian donk!” Dara mengacuhkanku dan memilih untuk bergabung dengan temannya yang lain.

Roni menarikku kedalam sebuah ruangan yang letaknya agak kedalam. Berjuta tanya masih berenang-renang di otakku. Sesampainya didalam, dua orang cewek dan tiga orang cowok sedang asyik mengisap shabu-shabu. Di pojokan kamar itu, ada yang sedang asyik berciuman mesra.

“Sini Rie.” Kali ini, aku langsung didudukkan dekat dengan seorang cowok yang sedang sakau. Tiba-tiba dua orang cowok disebelahnya menarik dan memegang erat-erat kedua lenganku hingga aku tidak dapat bergerak.

“Apa-apaan ini?” Roni menyuntikkan sesuatu ke lenganku. Sesuatu itu membuatku melayang, merasa nyaman dan aku tidak mau lepas darinya. Badanku bergetar, sesekali aku tertawa. Sesekali juga menangis. Namun aku masih bisa merasakan bibir Roni melumat habis bibirku. Seketika dunia kurasakan menjadi gelap gulita. Anehnya, aku masih mendengar teriakan Dara.
“Rie, buka mata lo. Seharusnya gue gak ninggalin lo sendirian disana. Seharusnya gue gak percayain lo sama Roni. Seharusnya gue gak ngajak lo kesana Rie. Bangun Rie!” Tangisan Dara terasa samar kudengar. Apa ini pertanda aku akan menyusul Ibunya Dara?Tidak!Tidak!Tuhan, jangan sekarang. Masih banyak yang ingin aku kerjakan. Masih banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan ke Dara. Jangan sekarang, Tuhan!

“Rie?lo udah sadar?Makasih Tuhan!” Binar di mata Dara penuh syukur.
“Dd-a-rr-a?” Terbata kumengeja nama Dara.

“Iya Rie, ini Dara. Syukurlah, kata dokter lo gak kenapa-kenapa.”

“Apa yang terjadi sama gue, Ra?” Seluruh tenaga kukerahkan untuk mengucapkan pertanyaan itu.

“Semua ini salah gue Rie. Roni emang bajingan!” Baru kali ini kulihat sinar kemarahan yang dipancarkan dari mata Dara.

“Tanpa sepengetahuan gue, Roni ngasih lo drugs. Untung badan lo kuat, kalo gak, gue gak tau deh apa yang bakal terjadi sama lo.” Lanjut Dara sambil terisak.

“Kenapa lo ngajak gue ketempat kayak gitu, Ra?”

“Sorry Rie. Sebelumnya, gue mau ngajak lo masuk kedunia baru gue. Tempat dimana gak ada air mata. Tempat dimana selalu ada canda dan tawa. Gue ngerasa, itu dunia baru gue Rie. Dunia yang bisa membawa gue untuk melupakan dunia lama gue yang kelabu. Lo sobat gue, gue pengen lo jadi bagian dari seluruh kehidupan gue, Rie.”

“Lo tau, Ra?gue emang sayang sama lo. Gue emang mau jadi sahabat sejati lo, yang bisa ngebahagiain lo. Tapi bukan begini caranya, Ra!Lo gak inget apa pesan terakhir Ibu lo?Ibu lo mau lo jadi orang yang bermanfaat, Ra. Jangan ancurin diri lo cuma buat kenikmatan semu. Kenapa lo gak mau jujur sama gue?”

“Bukan gitu, Rie. Ini semua gue lakukan buat ngelupain semua peristiwa hitam yang terjadi sama gue di masa lalu. Gue malu, Rie!Makanya gue lari dari kenyataan. Gue gak kuat. Tapi gue gak mau kalo sampe harus kehilangan lo.” Ada penyesalan yang dalam, yang dirasakan Dara saat ini.

Dara menangis sejadi-jadinya. Aku tahu, Dara tulus menyayangiku. Tangisan Dara membuatku sadar, kita tidak boleh memperlakukan orang dengan tidak adil tanpa memperdulikan perasaan orang tersebut. Seperti halnya Dara, Melihat kematian Ibunya sebagai aib. Padahal, Ibunya bunuh diri karena Dara tidak diperbolehkan melihat duka yang mendalam yang dirasakan Ibunya. Duka yang disebabkan oleh suaminya sendiri.


Ratih Indah Lestari
Doha, 11 sept 07

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share