Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Sabtu, 01 Mei 2010

Ada Gula Ada Semut

Oleh Jantan Putra Bangsa

Ketika membicarakan alun-alun utara Yogyakarta tentunya tidak dapat dilepaskan dengan adanya pedagang kaki lima (PKL) yang tersebar di setiap sudut alun-alun utara. Istilah PKL sendiri masih simpang siur hingga sekarang. Secara pasti belum dapat dipastikan sejak kapan istilah PKL digunakan, terutama di alun-alun utara Yogyakarta.

Menurut Schoch, dalam tulisannya Transpiosa Riomandha, Dunia (Citra) Kaki Lima Malioboro, mengatakan bahwa istilah kaki lima atau trotoar sudah ada sejak zaman Napoleon (sekitar 1811-1816). Yang diteruskan oleh Rafles yang pada waktu itu menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia, membangun sarana untuk pejalan kaki dengan ketentuan tinggi sekitar 31 centimeter dan lebar 150 centimeter atau biasa disebut five-feet. Dari sinilah kemudian muncul istilah kaki lima.(Lihat PM Laksono dkk, 2000. Permaian Tafsir; Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde baru. Yogyakarta: Insist Press. Dalam tulisan Transpiosa Riomandha, Dunia (Citra) Kakil Lima Malioboro pada catatan kaki hal 33.)

Nah, untuk itu para pedagang yang menggelar dagangannya di atas kaki lima atau trotoar kemudian disebut sebagai pedagang kakil lima. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya pedagang yang berjualan di atas trotoar saja yang disebut sebagai PKL, namun hampir semua pedagang yang menggelar dagangan di jalan atau bisa dikatakan “ruang publik” disebut sebagai PKL.

Wilayah alun-alun utara Yogyakarta yang saat ini dijadikan ruang publik menjadi sasaran PKL untuk mengais rejeki. Hal ini pun tidak dapat dilepaskan dengan adanya wisatawan yang menjadikan alun-alun utara dan Kraton menjadi salah satu tempat tujuan wisata. Sehingga alun-alun utara benar-benar menjadi ruang publik. Bis-bis pariwisata juga ikut serta meramaikan dan memadati alun-alun utara ketimbang memarkirkan bisnya di bekas terminal ngabean yang dirasa cukup jauh untuk berjalan menuju kraton dan sekitarnya.

Seperti pepatah yang mengatakan “ada gula ada semut”, di alun-alun utara pun begitu. Ada wisatawan ada PKL dengan segala macam jenis dagangan yang ditawarkan. Dari makanan hingga pakaian yang bisa dengan mudah didapat tanpa berjalan lebih jauh ke pasar Beringharjo atau Malioboro.

Munculah beraneka ragam jenis PKL di alun-alun utara, yang dapat klasifikasikan menjadi tiga jenis PKL: PKL Permanen, PKL Berjalan dan PKL Musiman. Yang dimaksud dengan PKL permanen adalah PKL yang mendirikan bangunan di pinggir-pinggir alun-alun utara di atas trotoar. Sedangkan yang disebut PKL berjalan yaitu PKL yang menjual dagangannya dengan cara berjalan, entah berjalan kaki maupun menggunakan sepeda dan tidak menetap di satu tempat, sering berpindah-pindah. Untuk PKL musiman yaitu PKL yang menggelar dagangannya kalau ada bis Pariwisata atau ada acara keramaian di alun-alun utara dengan mendirikan tenda.

Sekiranya PKL telah menjadi bagian dari alun-alun utara yang harus dilestarikan. Pencitraan alun-alun utara pun tidak luput dari adanya PKL yang turut serta meramaikan. Alun-alun utara selain menjadi ruang publik bagi masyarakat juga bisa dimanfaatkan untuk mencari nafkah untuk mempertahankan hidup.

Jantan Putra Bangsa
Pimpinan Umum Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share