Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Selasa, 14 September 2010

Untung Rugi Rupiah Ramping (Dari Sampah Jadi Gagah)

KEREPOTAN melanda Bank Indonesia. Senin pekan lalu, anggota dewan gubernur dan para pejabat bank sentral kebanjiran pertanyaan lewat telepon dan pesan pendek dari bankir, investor, serta masyarakat. Mereka resah dengan rencana Bank Indonesia melakukan redenominasi alias perampingan angka nominal rupiah. Lembaga itu dikira akan memangkas nilai rupiah alias sanering. "Sampai-sampai kawan saya di kampung ikut nanya soal isu tersebut," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Mau tak mau anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia merespons pertanyaan-pertanyaan tersebut. Keesokan harinya mereka menggelar rapat. Gubernur Bank Indonesia yang baru saja terpilih, Darmin Nasution, dan Deputi Gubernur Budi Rochadi meninggalkan rapat lebih awal. Mereka mengadakan jumpa pers untuk meluruskan berita tentang redenominasi yang semakin simpang-siur.

Darmin meminta masyarakat tenang. "Redenominasi itu bukan sanering atau pemotongan nilai rupiah," katanya. Redenominasi, kata bekas Direktorat Jenderal Pajak ini, hanyalah penyederhanaan penyebutan satuan harga atau nilai mata uang. Angka pada mata uang disederhanakan tanpa mengurangi nilainya. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1, sedangkan Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.000. Pemangkasan angka nominal rupiah, ujarnya, tak merugikan masyarakat lantaran nilai barang dan jasa tak berubah (lihat infografik "Agar Lebih Kredibel").

Bank Indonesia, kata Darmin, sudah merampungkan studi mendalam terhadap rencana perampingan nominal rupiah tersebut. Kebon Sirih-sebutan Bank Indonesia merujuk ke alamat kantornya-segera membawa usul itu secara resmi ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akhir tahun ini. "Ini bukan hanya keputusan ekonomi, tapi juga perlu keputusan politik," katanya. Bila pemerintah dan juga Dewan Perwakilan Rakyat setuju, pada 2011-2012 akan dilakukan sosialisasi. Pelaksanaannya bertahap mulai 2013 hingga 2018. Saat itu ada dua mata uang rupiah lama dan rupiah baru. Pada 2020, redenominasi rampung. Rupiah lama ditarik penuh dan berlakulah rupiah baru.

Rencana perampingan ini malah menjadi bola liar. Pro dan kontra menyeruak. Para ekonom, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan pengusaha terbelah. "Tak ada urgensinya dan berpotensi mengganggu stabilitas," kata Kepala Ekonom Danareksa Research Institut Purbaya Yudhi Sadewa. Anggota Dewan dari Fraksi Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy, mengatakan Bank Indonesia sebaiknya berfokus pada inflasi ketimbang merealisasikan perampingan angka nominal rupiah. Sebaliknya, anggota Dewan dari Partai Demokrat, Achsanul Qosasi, justru mendukung rencana Bank Indonesia itu. "Dilihat dari tujuannya, ini bisa berdampak positif."

Rencana Bank Indonesia memangkas digit rupiah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Sumber Tempo di lingkungan pemerintah mengungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Kementerian Keuangan kecewa karena tak diajak bicara tentang masalah strategis tersebut. "Mereka kaget sekali," ujarnya. Hatta kepada wartawan pekan lalu memang mengatakan, "Pemerintah belum punya rencana melakukan redenominasi, dan itu masih wacana." Begitu juga Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Menurut mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu, pemangkasan angka nominal rupiah masih berupa studi. "Jadi belum final," ujarnya.

l l l

RAPAT Dewan Direksi Bank Indonesia dilakukan pada akhir 1999. Setiap direktorat di lingkungan Bank Indonesia diminta membuat program kerja. Direktorat Peredaran Uang, kata sumber Tempo, mengusulkan kajian mengenai redenominasi. Sebab, ada indikasi angka dalam laporan keuangan perbankan sudah semakin besar: mencapai ratusan miliar. Tapi rencana itu kembali masuk laci lantaran kondisi perekonomian Indonesia sedang terkena krisis.

Usul tentang redenominasi kembali dijajaki pada saat Burhanuddin Abdullah menjadi Gubernur Bank Indonesia. Kebetulan pada 2005 Turki sudah berhasil merampingkan angka nominal mata uangnya, lira. Pada 2008, Bank Indonesia semakin serius melakukan studi redenominasi tersebut. Demi niat itu, sejumlah pejabat Bank Indonesia melakukan studi banding ke negeri bekas Kesultanan Usmani itu.

Selain itu, para pejabat Bank Indonesia, seperti Budi Rochadi dan Kepala Biro Peredaran Uang Yopie Alamudin, melakukan studi banding ke Rusia. "Setidaknya empat kali studi banding," ujar seorang pebisnis Rusia kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Budi mengaku pernah ke Rusia, tapi bukan untuk studi banding. "Hanya menyampaikan presentasi dalam acara asosiasi kredit di sana," katanya. Darmin mengatakan, Bank Indonesia melakukan penjajakan ke sejumlah negara yang melakukan redenominasi. "Tapi paling sering ke Turki karena mereka paling sukses," katanya.

Keseriusan Bank Indonesia mengusulkan perampingan angka nominal rupiah juga terlihat setelah lembaga itu membahasnya bersama Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dua tahun lalu. Dalam sebuah pertemuan, kata seorang karyawan Peruri, Bank Indonesia menginformasikan kebutuhan uang baru dalam program redenominasi sebanyak 12 miliar bilyet. "Itu gede banget, di atas kapasitas produksi Peruri sebanyak 8 miliar bilyet," bisiknya.

Sekretaris Perusahaan Peruri Slamet Haryono membenarkan cerita tersebut. Saat itu Bank Indonesia dan tiga pelanggan Peruri seperti Bea-Cukai, Imigrasi, Badan Pertanahan Nasional, menggelar rapat koordinasi rencana jangka panjang. Bank Indonesia memaparkan rencana perampingan angka nominal rupiah karena terkait juga dengan proyek Peruri. Adapun mengenai jumlah uang baru redenominasi, Slamet mengatakan," BI secara resmi belum menyebut jumlahnya berapa, karena pelaksanaan juga masih jauh."

Kendati sudah punya kajian mendalam, ternyata Bank Indonesia tak berani mengusulkan secara resmi kepada pemerintah. Menurut seorang pejabat Bank Indonesia, bank sentral belum mau mengekspos penuh rencana itu lantaran khawatir masyarakat salah persepsi mengartikan redenominasi sebagai sanering. "Maklum, masih banyak orang dari generasi yang merasakan pahitnya sanering," ujarnya.

Pada masa kemerdekaan, pemerintahan Sjafrudin Prawiranegara melakukan sanering, tapi gagal mencegah lonjakan inflasi. Rakyat malah kehilangan daya beli. Pada 1959 juga dilakukan sanering kedua. Tapi kembali gagal. Inflasi tetap terbang tinggi.

Rencana perampingan angka nominal rupiah kembali disimpan rapat. Terlebih lagi pada 2008, Indonesia ikut kena imbas krisis subprime mortgage (krisis sektor properti) di Amerika Serikat. "Redenominasi berpeluang berhasil bila dilakukan dalam kondisi ekonomi sehat," kata sang sumber.

Alhasil, Bank Indonesia terus menyimpan rapat-rapat riset dan studi perampingan angka nominal rupiah itu selama lebih dari satu setengah tahun. Tapi, serapat-rapatnya menyimpan rahasia, usul penting itu secara tak sengaja bocor ke sejumlah jurnalis pada Mei lalu. Tapi saat itu Bank Indonesia masih berhasil meredamnya. Isu perampingan digit nol pada rupiah seperti ditelan bumi.

Sumber Tempo membisikkan, studi tentang redenominasi memang sudah rampung. Tapi belum layak diungkap ke publik. Selain khawatir diartikan sanering, lantaran masih ada beberapa permasalahan penting di luar kendali Bank Indonesia, seperti masalah hukum dan sistem akuntansi. "Itu masih harus dikoordinasikan dulu dengan pemerintah dan lembaga lain," ujarnya.

Toh, sukses Bank Indonesia meredam isu redenominasi hanya bisa bertahan tiga bulan. Pekan lalu isu itu semakin santer, dan justru melintir menjadi isu pemotongan nilai rupiah alias sanering. Isu liar itu yang memaksa Darmin dan Budi menggelar jumpa pers dan meluruskan semua berita miring. Menurut Darmin, konsep kajian dan studi tentang perampingan angka nominal rupiah memang sudah selesai. Hanya, kata dia, masih perlu ada pemantapan atas rencana sosialisasinya. "Belum pernah resmi dibahas dalam rapat dewan gubernur," kata Budi Rochadi.

Bank Indonesia mengaku berkeinginan kuat merampingkan angka nominal rupiah. Upaya ini sengaja ditempuh, menurut Agus Santoso, Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia, salah satunya untuk meningkatkan kebanggaan memegang rupiah. Dengan mengurangi nol tiga digit, rupiah bisa terlihat lebih baik, dari semula satu dolar setara dengan Rp 9.000 menjadi Rp 9. "Kan bisa terlihat lebih gagah," ujarnya saat berkunjung ke redaksi majalah Tempo pekan lalu.

Di mata orang awam, mata uang rupiah yang mempunyai nol banyak seolah-olah terlihat lebih keren dan berharga. Padahal, kata Agus, kondisi itu sebaliknya. Rupiah justru relatif tidak bernilai dibanding mata uang negara lain.

Pengamat pasar uang Farial Anwar punya penilaian lebih buruk terhadap rupiah. Menurut dia, nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dolar sama seperti nilai tukar negara miskin di Benua Afrika. "Mata uang rupiah ini masuk 10 uang sampah (garbage money) karena sudah sangat tidak bernilai," ujarnya kepada Viva Budi dari Tempo pekan lalu. Nilai rupiah, katanya, akan semakin baik bila perampingan angka nominal rupiah direalisasikan.

Adapun pengamat ekonomi Andi Irawan mengatakan bahwa perampingan angka nominal rupiah banyak manfaatnya. Namun merealisasikan mimpi itu bukan perkara mudah. "Sulit dengan kondisi geografis Indonesia," ujarnya. Redenominasi juga bukan tanpa risiko. Ada kemungkinan akan lahirnya salah persepsi tentang nilai mata uang domestik.

Kasus itu terjadi di Afganistan pada 2002. Dua bulan setelah dilakukan redenominasi, justru nilai mata uang domestiknya turun tajam (depresiasi) karena masyarakatnya khawatir memegang mata uang domestik dan lebih nyaman memegang dolar Amerika. "Peluang terjadinya salah persepsi bisa terjadi di Indonesia," ujar Andi Irawan. Perampingan mata uang juga sangat rawan berimplikasi hiperinflasi seperti terjadi di Zimbabwe. Itu akan terjadi bila waktu penyesuaian harga barang, para pengusaha malah menaikkan harga barangnya.

Darmin menyadari semua risiko itu. Dia hakulyakin perampingan angka nominal di Indonesia tidak akan gagal seperti di Zimbabwe. Kepala Biro Hubungan Massa Bank Indonesia Difi Johansyah menambahkan, berdasarkan pengalaman sukses di Turki dan Rumania, sosialisasi intensif menjadi kunci keberhasilan perampingan angka nominal rupiah. "Tapi kami menyerahkan semua keputusan kepada Presiden dan Dewan. Jika mereka tidak setuju, kami tidak akan memaksakan," kata Darmin Nasution.

Padjar Iswara, Agoeng Wijaya, Fery Firmansyah

Mata Uang yang Paling Tak Bernilai*
Vietnam dong 19.095
Sao Tome dobra 18.655
Turkmenistan manat 14.250
Iran riyal 10.000
Indonesia rupiah 8.957
Laos kip 8.243
Guinea franc 5.150
Paraguay guarani 4.770
Zambia kwacha 4.870
Kamboja riel 4.233
*) per dolar AS Sumber: yahoo.com

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/LU/mbm.20100809.LU134318.id.html

2 komentar:

heri-jogja@mail.com mengatakan...

Proposal yg sangat elitis !! BI malu dgn rakyat yg masih memakai recehan Rp 100, persoalannya bukan pd rasa malu itu, tetapi bagi rakyat yg memakai cara sekarang, jika recehan minimal mjd Rp 1000, maka telah terjadi depresiasi Ropiah sebesar 1000 % ( 10 kali lipat !! ). Sementara bsgi kalangan diatasnya tidak terasa samasekali ! Negara ini justru hrs melindungi dan mengutamakan yg miskin dulu Bung, bukan sebaliknya ! Lihat nanti DPR dan Presiden, ikutan gila nggak.. Salam... Merdeka !!!

Senthir Online mengatakan...

agenda yang lebih penting dan mendesak lebih banyak drpd merampingkan nilai rupiah.
Merdeka!!!

Posting Komentar

Bookmark and Share