RUMANIA, awal Juli, lima tahun silam. Perekonomian negeri ini memasuki babak baru. Negara di Eropa Timur itu meluncurkan mata uang baru, leu berlambang RON-seperti Rp pada rupiah Indonesia. Leu baru menandai berakhirnya penggunaan mata uang leu lama-berkode ROL-yang punya nol enam digit. "Si malang leu ini kini lebih mirip anjing linglung," kata Presiden Traian Basescu, seraya mengambil beberapa lembar uang baru dari mesin kas di satu sudut ibu kota negeri itu, Bukares.
Pada hari bersejarah itu, bank sentral Rumania memperkenalkan pecahan baru hasil redenominasi atau perampingan nominal mata uang. Satu leu baru setara dengan 10 ribu leu lama. Sejak itu, leu-yang artinya singa-menciut jadi "anjing" lantaran kini nolnya dipangkas empat digit.
Nyatanya, sang anjing malah lebih hebat ketimbang singa pendahulunya. Dengan perubahan itu, nilai tukar leu pada dolar Amerika ataupun euro secara psikologis menguat. Dulu, US$ 1 setara dengan RON 29.800. Kini, setiap US$ 1 dihargai RON 2,98, sedangkan 1 euro setara dengan 3,6 leu. Perubahan itu membuat transaksi menjadi praktis. Dengan pecahan lebih sederhana: 1, 5, 10, 50, 100, dan 500, para pegawai di Rumania tak perlu lagi menenteng duit jutaan leu pada gajian setiap bulan.
Di Zimbabwe, perampingan nominal mata uang terjadi pada 1 Agustus dua tahun lalu. Gubernur bank sentral Zimbabwe, Gideo Gono, memangkas 10 digit nol mata uang dolar negara itu. "Setiap sepuluh miliar dolar Zimbabwe akan menjadi satu dolar," katanya, seperti dikutip CNN.
Efeknya, sistem transaksi elektronik negara di Benua Afrika itu terbantu. Maklum saja, lantaran harus menghitung angka mirip rangkaian kereta, komputer ataupun kalkulator di sana kerap hang. Rupanya, mesin juga pitam ketika menghitung transaksi miliaran atau triliunan.
Sepanjang 2005 hingga saat ini, beberapa negara melakukan perampingan angka mata uangnya untuk mengatasi hambatan sistem pembayaran. Selain Rumania dan Zimbabwe, Turki, Slovenia, Azerbaijan, Mozambik, serta Venezuela memangkas beberapa digit nol mata uangnya. Zimbabwe bahkan memecahkan rekor lantaran merampingkan angka mata uangnya lebih dari sekali.
Perampingan mata uang memang langkah menyederhanakan sistem pembayaran, ketika angka nominal satu mata uang sudah terlalu besar. Ketika inflasi meroket, transaksi harian bakal terpengaruh lantaran uang yang harus dibawa dan dicatat luar biasa banyak. Alhasil, pecahan mata uang lama harus diganti, atau diseimbangkan dengan pecahan baru yang secara nominal lebih kecil.
Dalam makalah berjudul "Dropping Zeros, Gaining Credibility? Currency Redenomination in Developing Nations", Layna Mosley, peneliti dari University of North Carolina, Amerika Serikat, mengatakan perampingan nominal mata uang sudah dilakukan sejak abad ke-19. Ketika itu, pemerintah suatu negara melakukannya bila terjadi kekurangan alat pembayaran, seperti emas atau perak. "Penyesuaian pun dilakukan pada nilai koin," katanya. Situs Wikipedia mencatat, sejak 1826 hingga 2009, 30 negara telah melakukan 44 kali redenominasi.
Sayangnya, motif perampingan nominal mata uang menjadi terlalu muluk: menurunkan inflasi dan mengangkat "harga diri" mata uang sebuah negara terhadap dolar atau euro. Penjabat gubernur bank sentral Rumania, Mugur Isarescu, mengatakan perampingan nominal mata uang harus dilakukan setelah leu beberapa kali terdevaluasi terhadap dolar akibat meroketnya inflasi.
Ketika leu mulai stabil dan menguat, hingga bisa menandingi euro dan dolar Amerika, Rumania merasa perlu menerbitkan leu "baru" agar sejajar dengan dua mata uang global itu. "Selain simbol stabilitas ekonomi, RON memuluskan jalan kami untuk bergabung menggunakan mata uang tunggal euro," katanya, seperti dikutip Bucharest Daily News. Memang, selain kepercayaan diri yang bangkit setelah leu menguat terhadap dolar, tingkat inflasi Rumania yang sempat mencapai ratusan persen pada dekade 1990 bisa ditekan hingga belasan persen.
Turki juga sukses melakukan perampingan angka nominal lira, yang dimulai pada 1 Januari 2005. Beberapa tahun setelah mengkonversi 1 juta lira menjadi 1 new Turkish lira, inflasi di negeri bekas Kesultanan Ottoman itu turun dari 12 persen menjadi sekitar 5 persen. Sukses perampingan angka nominal lira, menurut Kepala Biro Hubungan Massa Bank Indonesia Difi Johansyah, tak lepas dari peran Menteri Keuangan Turki. "Dia ibarat lokomotifnya," katanya.
Sekalipun akhirnya berbuah manis, tetap saja ada pil pahit yang mesti ditelan. Di Rumania, kepercayaan publik kepada pemerintah sempat anjlok. Rakyat khawatir para pedagang mencuri kesempatan menaikkan harga, ketika leu lama dan leu baru bersandingan sebagai mata uang resmi hingga 1 Januari 2006. Untuk mengatasinya, pemerintah sampai mewajibkan pedagang memajang dua banderol ROL dan RON pada satu barang.
Perampingan angka nominal rubel Rusia pada Januari 1998 juga sempat membuat kacau sektor retail. Sosialisasi pemotongan angka nominal hingga seperseribu itu tak menyentuh semua kalangan, terutama pendatang asing. Kejadian tak mengenakkan dialami Suryo Guritno, promotor tinju Indonesia yang ketika itu sedang berada di Moskwa. Ketika akan membeli sosis di sebuah toko swalayan, ia tak tahu nilai rubel telah berganti. "Rubel lama yang saya bawa tak laku dan sulit menukarkannya," ia bercerita kepada Tempo.
Namun tak semua negara menuai berkah redenominasi. Zimbabwe, misalnya, tingkat inflasinya tak kunjung turun walaupun berkali-kali melakukan perampingan angka mata uangnya. Pada redenominasi jilid satu, 2006, ketika tiga angka nol dolar Zimbabwe dihilangkan, penyesuaian harga terhadap angka nominal uang baru berjalan lamban. Inflasi pun melonjak.
Gideo Gono menyusutkan angka nominal untuk kedua kalinya dengan memangkas sepuluh digit nol, atau sepersepuluh miliar, pada 2008. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat membuat kebijakan ini gagal. Harga barang malah melonjak berjuta kali lipat. Pada 2009, perampingan angka nominal ketiga dilakukan dengan memangkas 12 digit nol. Tapi, lantaran stok barang yang terbatas, ditambah keadaan perang, stabilitas ekonomi negeri di bagian selatan Benua Afrika itu tak kunjung membaik. Tak ada hasil positif perampingan nominal mata uang selain transaksi yang lebih praktis.
Becermin pada berbagai pengalaman, perampingan nominal mata uang memang bukan perkara gampang. Namun tampaknya Bank Indonesia sudah berketetapan hati mengambil langkah strategis ini. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan perampingan nominal mata uang penting untuk mengubah cara pandang terhadap pecahan uang kecil, seraya bisa membantu menekan inflasi. "Jika terlalu lama memakai pecahan uang besar, ada kecenderungan pembulatan harga ke atas, dan ini yang mendorong inflasi," katanya.
Agar masyarakat tak bergejolak, kata Darmin, satu cara yang bisa diikuti dari pengalaman negara lain adalah penarikan pecahan lama secara perlahan, seraya menyandingkannya dengan pecahan baru untuk menilai harga satu barang. Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa berpandangan lain. Redenominasi di Indonesia belum perlu dilakukan lantaran inflasi, kurs, dan stabilitas ekonomi saat ini masih terjaga. "Jangan sampai membuat sesuatu yang mubazir," katanya.
Fery Firmansyah, Agoeng Wijaya (BBC, Reuters, AP)
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/LU/mbm.20100809.LU134319.id.html
Pada hari bersejarah itu, bank sentral Rumania memperkenalkan pecahan baru hasil redenominasi atau perampingan nominal mata uang. Satu leu baru setara dengan 10 ribu leu lama. Sejak itu, leu-yang artinya singa-menciut jadi "anjing" lantaran kini nolnya dipangkas empat digit.
Nyatanya, sang anjing malah lebih hebat ketimbang singa pendahulunya. Dengan perubahan itu, nilai tukar leu pada dolar Amerika ataupun euro secara psikologis menguat. Dulu, US$ 1 setara dengan RON 29.800. Kini, setiap US$ 1 dihargai RON 2,98, sedangkan 1 euro setara dengan 3,6 leu. Perubahan itu membuat transaksi menjadi praktis. Dengan pecahan lebih sederhana: 1, 5, 10, 50, 100, dan 500, para pegawai di Rumania tak perlu lagi menenteng duit jutaan leu pada gajian setiap bulan.
Di Zimbabwe, perampingan nominal mata uang terjadi pada 1 Agustus dua tahun lalu. Gubernur bank sentral Zimbabwe, Gideo Gono, memangkas 10 digit nol mata uang dolar negara itu. "Setiap sepuluh miliar dolar Zimbabwe akan menjadi satu dolar," katanya, seperti dikutip CNN.
Efeknya, sistem transaksi elektronik negara di Benua Afrika itu terbantu. Maklum saja, lantaran harus menghitung angka mirip rangkaian kereta, komputer ataupun kalkulator di sana kerap hang. Rupanya, mesin juga pitam ketika menghitung transaksi miliaran atau triliunan.
Sepanjang 2005 hingga saat ini, beberapa negara melakukan perampingan angka mata uangnya untuk mengatasi hambatan sistem pembayaran. Selain Rumania dan Zimbabwe, Turki, Slovenia, Azerbaijan, Mozambik, serta Venezuela memangkas beberapa digit nol mata uangnya. Zimbabwe bahkan memecahkan rekor lantaran merampingkan angka mata uangnya lebih dari sekali.
Perampingan mata uang memang langkah menyederhanakan sistem pembayaran, ketika angka nominal satu mata uang sudah terlalu besar. Ketika inflasi meroket, transaksi harian bakal terpengaruh lantaran uang yang harus dibawa dan dicatat luar biasa banyak. Alhasil, pecahan mata uang lama harus diganti, atau diseimbangkan dengan pecahan baru yang secara nominal lebih kecil.
Dalam makalah berjudul "Dropping Zeros, Gaining Credibility? Currency Redenomination in Developing Nations", Layna Mosley, peneliti dari University of North Carolina, Amerika Serikat, mengatakan perampingan nominal mata uang sudah dilakukan sejak abad ke-19. Ketika itu, pemerintah suatu negara melakukannya bila terjadi kekurangan alat pembayaran, seperti emas atau perak. "Penyesuaian pun dilakukan pada nilai koin," katanya. Situs Wikipedia mencatat, sejak 1826 hingga 2009, 30 negara telah melakukan 44 kali redenominasi.
Sayangnya, motif perampingan nominal mata uang menjadi terlalu muluk: menurunkan inflasi dan mengangkat "harga diri" mata uang sebuah negara terhadap dolar atau euro. Penjabat gubernur bank sentral Rumania, Mugur Isarescu, mengatakan perampingan nominal mata uang harus dilakukan setelah leu beberapa kali terdevaluasi terhadap dolar akibat meroketnya inflasi.
Ketika leu mulai stabil dan menguat, hingga bisa menandingi euro dan dolar Amerika, Rumania merasa perlu menerbitkan leu "baru" agar sejajar dengan dua mata uang global itu. "Selain simbol stabilitas ekonomi, RON memuluskan jalan kami untuk bergabung menggunakan mata uang tunggal euro," katanya, seperti dikutip Bucharest Daily News. Memang, selain kepercayaan diri yang bangkit setelah leu menguat terhadap dolar, tingkat inflasi Rumania yang sempat mencapai ratusan persen pada dekade 1990 bisa ditekan hingga belasan persen.
Turki juga sukses melakukan perampingan angka nominal lira, yang dimulai pada 1 Januari 2005. Beberapa tahun setelah mengkonversi 1 juta lira menjadi 1 new Turkish lira, inflasi di negeri bekas Kesultanan Ottoman itu turun dari 12 persen menjadi sekitar 5 persen. Sukses perampingan angka nominal lira, menurut Kepala Biro Hubungan Massa Bank Indonesia Difi Johansyah, tak lepas dari peran Menteri Keuangan Turki. "Dia ibarat lokomotifnya," katanya.
Sekalipun akhirnya berbuah manis, tetap saja ada pil pahit yang mesti ditelan. Di Rumania, kepercayaan publik kepada pemerintah sempat anjlok. Rakyat khawatir para pedagang mencuri kesempatan menaikkan harga, ketika leu lama dan leu baru bersandingan sebagai mata uang resmi hingga 1 Januari 2006. Untuk mengatasinya, pemerintah sampai mewajibkan pedagang memajang dua banderol ROL dan RON pada satu barang.
Perampingan angka nominal rubel Rusia pada Januari 1998 juga sempat membuat kacau sektor retail. Sosialisasi pemotongan angka nominal hingga seperseribu itu tak menyentuh semua kalangan, terutama pendatang asing. Kejadian tak mengenakkan dialami Suryo Guritno, promotor tinju Indonesia yang ketika itu sedang berada di Moskwa. Ketika akan membeli sosis di sebuah toko swalayan, ia tak tahu nilai rubel telah berganti. "Rubel lama yang saya bawa tak laku dan sulit menukarkannya," ia bercerita kepada Tempo.
Namun tak semua negara menuai berkah redenominasi. Zimbabwe, misalnya, tingkat inflasinya tak kunjung turun walaupun berkali-kali melakukan perampingan angka mata uangnya. Pada redenominasi jilid satu, 2006, ketika tiga angka nol dolar Zimbabwe dihilangkan, penyesuaian harga terhadap angka nominal uang baru berjalan lamban. Inflasi pun melonjak.
Gideo Gono menyusutkan angka nominal untuk kedua kalinya dengan memangkas sepuluh digit nol, atau sepersepuluh miliar, pada 2008. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat membuat kebijakan ini gagal. Harga barang malah melonjak berjuta kali lipat. Pada 2009, perampingan angka nominal ketiga dilakukan dengan memangkas 12 digit nol. Tapi, lantaran stok barang yang terbatas, ditambah keadaan perang, stabilitas ekonomi negeri di bagian selatan Benua Afrika itu tak kunjung membaik. Tak ada hasil positif perampingan nominal mata uang selain transaksi yang lebih praktis.
Becermin pada berbagai pengalaman, perampingan nominal mata uang memang bukan perkara gampang. Namun tampaknya Bank Indonesia sudah berketetapan hati mengambil langkah strategis ini. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan perampingan nominal mata uang penting untuk mengubah cara pandang terhadap pecahan uang kecil, seraya bisa membantu menekan inflasi. "Jika terlalu lama memakai pecahan uang besar, ada kecenderungan pembulatan harga ke atas, dan ini yang mendorong inflasi," katanya.
Agar masyarakat tak bergejolak, kata Darmin, satu cara yang bisa diikuti dari pengalaman negara lain adalah penarikan pecahan lama secara perlahan, seraya menyandingkannya dengan pecahan baru untuk menilai harga satu barang. Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa berpandangan lain. Redenominasi di Indonesia belum perlu dilakukan lantaran inflasi, kurs, dan stabilitas ekonomi saat ini masih terjaga. "Jangan sampai membuat sesuatu yang mubazir," katanya.
Fery Firmansyah, Agoeng Wijaya (BBC, Reuters, AP)
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/LU/mbm.20100809.LU134319.id.html
0 komentar:
Posting Komentar