Rencana Bank Indonesia melakukan redenominasi mengundang perdebatan. Banyak yang khawatir rencana ini tak dimengerti rakyat kecil dan menimbulkan kepanikan. Indonesia punya sejarah melakukan sanering alias pemotongan nilai mata uang yang ternyata tak berhasil menyelamatkan perekonomian. Tapi Bank Indonesia yakin, dengan redenominasi, rupiah terlihat gagah, bernilai, dan kredibel.
Redenominasi
Denominasi (dari bahasa Latin: denomatio) merujuk pada istilah pecahan mata uang. Redenominasi dalam rencana Bank Indonesia secara sederhana bisa diartikan memangkas angka nolnya, tanpa mengurangi nilai rupiahnya. Misalnya uang Rp 1.000, jika angka nolnya dipangkas tiga digit menjadi Rp 1. Pada saat bersamaan, harga barang dan jasa pun ikut berubah tiga digit, sehingga daya beli masyarakat tak terganggu.
Contoh
a. Sebelum redenominasi: Pengendara motor membayar satu liter bensin Rp 4.500 dengan empat lembar uang Rp 1.000 dan koin Rp 500.
b. Setelah redenominasi Rp 1.000 = Rp 1: Pengendara membayarnya dengan pecahan mata uang baru Rp 4,5. Bisa dengan empat lembar uang seperak (Rp 1) dan uang koin 50 sen.
Tujuan
Menyederhanakan pecahan agar efisien. Menyiapkan ekonomi Indonesia agar setara dengan negara tetangga.
Dampak
Tak ada kerugian, karena daya beli tetap sama.
Nilai uang
Tetap, karena yang berubah penyebutan dan cetakan pecahan uang.
Penerapan
Ekonomi tumbuh dengan makroekonomi yang stabil dan inflasi terkendali.
Manfaat
• Efisiensi sistem akuntansi, pencatatan transaksi keuangan
• Secara psikologis rupiah lebih gagah
• Tak repot membawa banyak uang
• Mengurangi pembulatan harga barang/jasa ke atas
• Bisa menekan inflasi
• Menyesuaikan dengan rencana mata uang tunggal ASEAN
Sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda 'geld sanering politiek', yang secara harfiah berarti politik penyehatan uang. Istilah ini hanya disebut sanering untuk menunjuk kebijakan penyehatan atau pemotongan/pengguntingan nilai mata uang yang biasanya dilakukan untuk menekan inflasi yang tinggi. Sanering tak mengubah pecahan mata uang, tapi hanya nilainya yang turun. Misalnya, uang Rp 1.000 nilainya turun menjadi Rp 100, atau Rp 500 menjadi Rp 50. Sementara harga barang tetap tidak berubah, sehingga daya beli masyarakat jatuh.
Contoh
Si A punya uang Rp 2.000.000 yang akan dibelikan telepon seluler. Tiba-tiba pemerintah memutuskan sanering 50 persen. Akibatnya, uang si A jadi tinggal separuhnya atau Rp 1.000.000. Si A tak bisa lagi membeli ponsel itu karena harga alat komunikasi itu tetap Rp 2.000.000.
Tujuan
Mengurangi jumlah uang beredar yang bisa memicu inflasi. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi.
Dampak
Rugi. Daya beli turun drastis.
Nilai uang
Lebih kecil karena yang dipotong nilainya.
Penerapan
Dilakukan saat ekonomi bergejolak akibat inflasi yang sangat tinggi.
Manfaat
Tidak bermanfaat.
Sumber: Bank Indonesia, Riset, dan wawancara Tempo
BILA TIGA DIGIT NOL HILANG
Rp 100.000= Rp 100
Rp 50.000= Rp 50
Rp 20.000 = Rp 20
Rp 10.000 = Rp 10
Rp 5.000 = Rp 5
Rp 2.000 = Rp 2
Rp 1.000 = Rp 1
Rp 200 = 20 sen
Rp 100 = 10 sen
Rp 50 = 5 sen
Rp 25 = 2,5 sen
PENGALAMAN GUNTING RUPIAH
19 Maret 1950
Sanering pertama. Kebijakan ini dikenal dengan "Gunting Sjafrudin", karena ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat Sjafrudin Prawiranegara. Sanering itu untuk menekan harga yang melambung tinggi alias inflasi.
Uang kertas De Javasche Bank-sekarang Bank Indonesia-pecahan Rp 5 ke atas dan uang NICA pecahan f (gulden) 2,50 ke atas dipangkas. Guntingan uang sebelah kanan ditukar dengan surat utang pemerintah Indonesia 1950 berbunga 3 persen. Potongan uang kiri tetap beralaku, tapi nilainya tinggal setengahnya.
25 Agustus 1959
Sanering kedua. Nilai uang Rp 500 dan Rp 1.000 digunting menjadi Rp 50 dan Rp 100. Paket sanering ini juga berisi kebijakan pemerintah membekukan sebagian simpanan pada bank sebesar 90 persen dari jumlah simpanan di atas Rp 25 ribu. Alih-alih berhasil menekan inflasi, laju inflasi malah meroket dari 22 persen pada 1959 menjadi 594 persen pada 1965.
13 Desember 1965
Bank Indonesia melakukan redenominasi. Pada saat itu inflasi tinggi dan defisit anggaran besar. Pemerintah pun mengeluarkan mata uang baru dan uang rupiah khusus Irian Barat (IB). Isinya, Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama), dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1. Adapun US$ 1 menjadi Rp 45 dari Rp 11,4. Kebijakan ini gagal karena inflasi pada 1964 naik lagi menjadi 635,5 persen.
BERTAHAP
Jika redenominasi disetujui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tahun depan, Bank Indonesia sudah menyiapkan tahapannya:
2011-2012
Sosialisasi intensif ke masyarakat dan dunia usaha.
2013-2015
Uang lama tetap berlaku. Rupiah baru dicetak dengan penanda kata "Baru". Label harga pada produk atau jasa sudah diumumkan dalam dua versi, uang lama dan uang baru. Misalnya Premium 1 liter Rp 4.500/ Rp 4,5. Pada tahap ini juga BI pelan-pelan menarik uang lama lusuh.
2016-2018
Semua uang kertas lama ditarik. Mulai berlaku uang baru.
2019-2020
Pemerintah mulai menarik uang berlabel "Baru" dan menggantinya dengan uang tanpa tanda "Baru".
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/LU/mbm.20100809.LU134320.id.html
Redenominasi
Denominasi (dari bahasa Latin: denomatio) merujuk pada istilah pecahan mata uang. Redenominasi dalam rencana Bank Indonesia secara sederhana bisa diartikan memangkas angka nolnya, tanpa mengurangi nilai rupiahnya. Misalnya uang Rp 1.000, jika angka nolnya dipangkas tiga digit menjadi Rp 1. Pada saat bersamaan, harga barang dan jasa pun ikut berubah tiga digit, sehingga daya beli masyarakat tak terganggu.
Contoh
a. Sebelum redenominasi: Pengendara motor membayar satu liter bensin Rp 4.500 dengan empat lembar uang Rp 1.000 dan koin Rp 500.
b. Setelah redenominasi Rp 1.000 = Rp 1: Pengendara membayarnya dengan pecahan mata uang baru Rp 4,5. Bisa dengan empat lembar uang seperak (Rp 1) dan uang koin 50 sen.
Tujuan
Menyederhanakan pecahan agar efisien. Menyiapkan ekonomi Indonesia agar setara dengan negara tetangga.
Dampak
Tak ada kerugian, karena daya beli tetap sama.
Nilai uang
Tetap, karena yang berubah penyebutan dan cetakan pecahan uang.
Penerapan
Ekonomi tumbuh dengan makroekonomi yang stabil dan inflasi terkendali.
Manfaat
• Efisiensi sistem akuntansi, pencatatan transaksi keuangan
• Secara psikologis rupiah lebih gagah
• Tak repot membawa banyak uang
• Mengurangi pembulatan harga barang/jasa ke atas
• Bisa menekan inflasi
• Menyesuaikan dengan rencana mata uang tunggal ASEAN
Sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda 'geld sanering politiek', yang secara harfiah berarti politik penyehatan uang. Istilah ini hanya disebut sanering untuk menunjuk kebijakan penyehatan atau pemotongan/pengguntingan nilai mata uang yang biasanya dilakukan untuk menekan inflasi yang tinggi. Sanering tak mengubah pecahan mata uang, tapi hanya nilainya yang turun. Misalnya, uang Rp 1.000 nilainya turun menjadi Rp 100, atau Rp 500 menjadi Rp 50. Sementara harga barang tetap tidak berubah, sehingga daya beli masyarakat jatuh.
Contoh
Si A punya uang Rp 2.000.000 yang akan dibelikan telepon seluler. Tiba-tiba pemerintah memutuskan sanering 50 persen. Akibatnya, uang si A jadi tinggal separuhnya atau Rp 1.000.000. Si A tak bisa lagi membeli ponsel itu karena harga alat komunikasi itu tetap Rp 2.000.000.
Tujuan
Mengurangi jumlah uang beredar yang bisa memicu inflasi. Dilakukan karena terjadi hiperinflasi.
Dampak
Rugi. Daya beli turun drastis.
Nilai uang
Lebih kecil karena yang dipotong nilainya.
Penerapan
Dilakukan saat ekonomi bergejolak akibat inflasi yang sangat tinggi.
Manfaat
Tidak bermanfaat.
Sumber: Bank Indonesia, Riset, dan wawancara Tempo
BILA TIGA DIGIT NOL HILANG
Rp 100.000= Rp 100
Rp 50.000= Rp 50
Rp 20.000 = Rp 20
Rp 10.000 = Rp 10
Rp 5.000 = Rp 5
Rp 2.000 = Rp 2
Rp 1.000 = Rp 1
Rp 200 = 20 sen
Rp 100 = 10 sen
Rp 50 = 5 sen
Rp 25 = 2,5 sen
PENGALAMAN GUNTING RUPIAH
19 Maret 1950
Sanering pertama. Kebijakan ini dikenal dengan "Gunting Sjafrudin", karena ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat Sjafrudin Prawiranegara. Sanering itu untuk menekan harga yang melambung tinggi alias inflasi.
Uang kertas De Javasche Bank-sekarang Bank Indonesia-pecahan Rp 5 ke atas dan uang NICA pecahan f (gulden) 2,50 ke atas dipangkas. Guntingan uang sebelah kanan ditukar dengan surat utang pemerintah Indonesia 1950 berbunga 3 persen. Potongan uang kiri tetap beralaku, tapi nilainya tinggal setengahnya.
25 Agustus 1959
Sanering kedua. Nilai uang Rp 500 dan Rp 1.000 digunting menjadi Rp 50 dan Rp 100. Paket sanering ini juga berisi kebijakan pemerintah membekukan sebagian simpanan pada bank sebesar 90 persen dari jumlah simpanan di atas Rp 25 ribu. Alih-alih berhasil menekan inflasi, laju inflasi malah meroket dari 22 persen pada 1959 menjadi 594 persen pada 1965.
13 Desember 1965
Bank Indonesia melakukan redenominasi. Pada saat itu inflasi tinggi dan defisit anggaran besar. Pemerintah pun mengeluarkan mata uang baru dan uang rupiah khusus Irian Barat (IB). Isinya, Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama), dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1. Adapun US$ 1 menjadi Rp 45 dari Rp 11,4. Kebijakan ini gagal karena inflasi pada 1964 naik lagi menjadi 635,5 persen.
BERTAHAP
Jika redenominasi disetujui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tahun depan, Bank Indonesia sudah menyiapkan tahapannya:
2011-2012
Sosialisasi intensif ke masyarakat dan dunia usaha.
2013-2015
Uang lama tetap berlaku. Rupiah baru dicetak dengan penanda kata "Baru". Label harga pada produk atau jasa sudah diumumkan dalam dua versi, uang lama dan uang baru. Misalnya Premium 1 liter Rp 4.500/ Rp 4,5. Pada tahap ini juga BI pelan-pelan menarik uang lama lusuh.
2016-2018
Semua uang kertas lama ditarik. Mulai berlaku uang baru.
2019-2020
Pemerintah mulai menarik uang berlabel "Baru" dan menggantinya dengan uang tanpa tanda "Baru".
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/LU/mbm.20100809.LU134320.id.html
0 komentar:
Posting Komentar