Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Selasa, 14 September 2010

Untung Rugi Rupiah Ramping (Redenominasi Tak Mendesak )

USUL Bank Indonesia merampingkan angka nominal rupiah (redenominasi) pada 2013 melahirkan sejumlah tudingan. Bank sentral dianggap lebih mementingkan soal mata uang ketimbang inflasi, mengawasi bank, dan menggenjot kredit.

Tapi Bank Indonesia jalan terus. Menurut Gubernur BI Darmin Nasution, perampingan angka nominal rupiah harus dilakukan. Selain membuat rupiah lebih gagah, perampingan membuat akuntansi lebih gampang.

Bank Indonesia kini sudah merampungkan studi tentang redenominasi dan akan segera disampaikan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Nanti keputusan politik yang akan menentukan," ujarnya kepada Padjar Iswara, Agus Supriyanto, Agoeng Wijaya, Famega Syavira, dan Sutji Decilya dari Tempo, yang menemuinya pada Kamis malam pekan lalu.

Apakah perampingan angka nominal rupiah sangat mendesak sehingga harus diprioritaskan?

Prioritas Bank Indonesia sekarang ini adalah membenahi pengawasan bank agar kredit berjalan, tingkat suku bunga turun, melakukan kebijakan moneter yang hati-hati agar makroekonomi stabil dan inflasi terkendali. Seluruh cetak biru prioritas tadi akan selesai akhir tahun ini sehingga awal 2011 sudah bisa jalan. Tapi kami melihat prioritas tersebut perlu dilengkapi dengan pembenahan sistem pembayaran, termasuk redenominasi. Kami perkirakan rencana ini baru bisa berjalan pada 2013, karena harus dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Jadi, kalau ditanya redenominasi urgent atau tidak sekarang, jawabnya redenominasi memang tak mendesak.

Jadi hanya kebijakan pelengkap?

Dalam bahasa matematika: ada yang necessary, ada sufficient. Nah, redenominasi ini sufficient-semacam pelengkap dan penyempurna. Yang necessary adalah pengawasan perbankan, perkreditan, dan kebijakan moneter.

Apa pengaruh redenominasi bagi perekonomian kita?

Jika orang terbiasa berpikir dengan paradigma pecahan uang besar, kenaikan harga barang dari Rp 100 menjadi Rp 200 dianggap biasa, meski kenaikan itu 100 persen. Kalau dengan paradigma pecahan uang kecil, Rp 100 adalah urusan besar. Rp 1 saja sudah diperhitungkan, apalagi Rp 100.

Dengan pecahan uang besar, kecenderungan pembulatan ke atas itu makin banyak. Kalau mau menaikkan tarif Transjakarta dari Rp 3.500 kan di pikirannya langsung ke Rp 5.000. Mereka tidak berani membuat tarif Rp 4.700. Dengan pecahan kecil, orang akan menghitung sen-senan.

Dengan begitu, inflasi bisa terkendali?

Sebetulnya tak terkait langsung, tapi kami melihat itu penting. Manfaat perampingan adalah mempermudah dan mengefisienkan pembayaran. Sekarang warung saja sudah mengalami kesulitan dengan digit yang banyak. Apalagi perusahaan dengan sistem informasi, misalnya asuransi atau perusahaan kelapa sawit. Pencatatannya begitu panjang, sehingga angka di belakang koma sering tak tampak. Dengan redenominasi, pembulatan ke atas berkurang sehingga inflasi berpotensi ditekan.

Benarkah kebijakan itu agar rupiah lebih gagah?

Jika orang asing datang ke Indonesia lalu menukar tiga lembar dolar di lapangan terbang, dia akan dapat segepok rupiah. Orang asing itu akan langsung bilang begini, "Wah, underdeveloping country, nih," ha-ha-ha....
Selain itu, kasihan anak-anak kita di sekolah dasar. Di kelas mereka menghitung 4+7=11. Tapi dia dikasih uang jajan Rp 5.000. Pergi ke warung, beli sesuatu Rp 1.500 atau Rp 2.000. Di kelas belajarnya 4+7, kok urusan duit jadi empat digit-1.500 dan 2.000. Ini persoalan serius, lo.

Program ini akan berbiaya tinggi?

Kalau jadi dilaksanakan pada 2013, uang lama yang lusuh dan rusak akan ditarik dan diganti yang baru. Jadi tak ada sama sekali penambahan uang cetak. Biayanya tetap. Bahkan kalau dalam jangka panjang biayanya pasti turun, karena pecahannya makin kecil.

Tapi masyarakat akan bingung....

Karena itu, ada undang-undang. Label harga di toko-toko harus ditulis dengan uang lama dan uang baru. Kalau beli korek Rp 1.500 uang lama, ditulis juga harga uang baru Rp 1,5. Kalau ada orang yang sudah punya uang baru, dia bayar saja pakai uang baru. Kalau punya uang lama, ya dia bisa bayar pakai uang itu. Bahkan bercampur pun bisa. Tidak ada masalah kok, dua-duanya sah.


Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/09/LU/mbm.20100809.LU134321.id.html

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share