oleh Khidir Marsanto P.
TUJUH bulan telah berlalu sejak diluncurkannya program pemerintah “Tahun Kunjung Museum 2010”. Meski demikian, ‘kesuksesan’ program nasional itu seolah hanya eforia sesaat, yang tetap menyisakan beberapa persoalan di sana-sini.
Sebagai ajang perayaan di tataran pemerintah, barangkali ia cukup berhasil dan membanggakan. Namun ketika kita meninjau museum di ranah praksis, nampaknya masih saja mengawang-awang dan berhadapan dengan sejumlah masalah riil yang sayangnya tidak selalu dapat kita sadari. Termasuk kasus hilangnya sebagian besar koleksi emas di Museum Sonobudoyo tempo hari.
Dari kajian saya, kita bisa melihat setidaknya ada dua problem utama yang menjangkiti jagad permuseuman kita. Pertama, pada aspek internal museum itu sendiri atau pada wilayah estetika visual museum dan tradisi risetnya. Yang kedua, lebih pada persoalan relasi museum dengan publik, yakni sejauh mana museum berstrategi agar berlaku sebagai institusi edukatif dan seni dalam membangun interaksi dengan publik secara positif.
Relasi Estetika Visual
Tidak banyak yang menyadari, bahwa satu hal terpenting dari museum adalah “penampilan”. Penampilan yang dimaksud mencakup dua unsur, yaitu (1) arsitektur bangunan dan tata-ruang serta (2) pameran atau tata-pajang (museum display). Kedua unsur dalam “penampilan” museum ini merupakan aspek formal atau aspek yang harus dipenuhi museum sebagai syarat utama dan terkait dengan estetika visual atau keindahan eksibisinya.
Estetika visual museum inilah “nyawa” (core) dari tubuh museum, karena nantinya berhubungan langsung dengan persoalan kedua di atas, yaitu aspek interaksi antara museum dengan pengunjung. Ketika museum tidak memenuhi kedua unsur tersebut, maka museum menjadi sepi peminat, dan lama-lama akan gulung-tikar.
Contoh konkret museum yang tidak memperhatikan secara baik aspek formalnya ialah Museum Sonobudoyo. Harian Kompas (Rabu, 23/06) mewartakan MS sebagai museum berstandar internasional dengan koleksi sejumlah 42.589 sedang dirundung persoalan. Banyaknya koleksi dan predikat standard internasional ternyata tak menjamin MS diminati pengunjung. Bahkan sempat kemalingan.
Banyak teori tourism studies mengatakan bahwa museum bukan tipe tempat wisata dengan pengunjung repeater (pengunjung berulang). Dan lazim adanya ketika seseorang berkunjung ke museum hanya sesekali. Tetapi, perlu dicatat di sini bahwa sebenarnya ini hanya persoalan strategi. Aspek “penampilan” di museum memiliki sesuatu yang sifatnya bisa temporer, terutama pamerannya.
Hal lain, saya beda pandangan tentang anggapan bahwa sebuah museum akan kalah bersaing dengan obyek wisata ikonik, seperti kasus Sonobudoyo dengan Keraton Jogja. Secara obyektif, kita harus melihat dulu seperti apa kondisi internal Sonobudoyo, sehingga dari situ baru kita bisa menelaah lebih jauh mengapa salah satu museum tertua di Indonesia ini sepi peminat.
Kasus Sonobudoyo
Saya mencatat, dalam 10 tahun terakhir koleksi yang dipamerkan dalam museum ini secara substansi tidak banyak berubah. Itu-itu saja. Tata-ruang dan strategi tata-pajang koleksi dalam rak-raknya konvensional, belum canggih. Pertanyaannya, apakah ini cukup ‘internasional’ kalau hanya menambah pendingin dan pengukur suhu ruangan.
Jika menghendaki museum ramai pengunjung, yang paling mungkin disiasati dengan memacu keterbaruan pada aspek tata-pajangnya, pada pamerannya. Karena, arsitektur bangunan museum mustahil dirombak karena memerlukan biaya besar. Dan, tentu saja harus melakukan strategi pameran berkala dengan menampilkan koleksi yang berbeda.
Sehingga, dari sini mau tidak mau museum harus melakukan publikasi kepada publik. Maka, otomatis publik akan mengetahui bahwa Museum Sonobudoyo rutin memamerkan koleksinya secara berkala karena menganut sistem rotasi koleksi. Meski koleksi bukan barang baru, tetapi benda-benda itu dapat dipamerkan dalam tema dan tata-pajang (penampilan) baru.
Ketika ini dilakukan, maka museum telah secara sadar membangun aspek estetika visual. Museum juga akan menjadi dinamis dan pengunjung yang awalnya merasa tidak perlu datang dua-tiga kali ke museum akan berpikir ulang. Paling tidak, mereka mempertimbangkan untuk melihat koleksi yang lain.
Estetika visual baru dapat terwujud bilamana terjalin interaksi antara museum dengan pirsawannya. Estetika visual mengandaikan pengalaman personal pengunjung yang dibangun oleh seni tata-pajang yang baik, yang mengundang seseorang untuk menyaksikan tiap benda yang dipamerkan dengan jenak dan hikmat. Di situ terjadi pergulatan emosional seseorang dengan pelbagai ihwal kebendaan dalam dimensi historis maupun kultural.
Akhirnya, museum dalam “kota museum” seperti Yogyakarta tidak bisa selesai dengan jumlah museum berlimpah, tapi harus lebih dari itu. Tatkala kota mengemban citra sebagai kota museum, maka semestinya seluruh museum di Yogyakarta bergerak secara kreatif. Jangan sampai hanya berpangku-tangan menanti bala-bantuan pemerintah untuk pengembangan institusinya.
Ide-ide kreatif harus dimunculkan untuk merengkuh jejaring pada lingkup lokal, seperti para seniman, kelompok seni dan pekerja budaya, serta akademisi untuk bekerja sama.
Dengan demikian, wacana museum yang berkembang di masyarakat dan pemerintah tidak melulu pada hal-hal non-substansial. Hemat saya, optimalkan kualitas museum-museum yang telah ada melalui kerja-kerja antarjejaring, daripada membangun museum baru. Atau, jangan sampai kita mengulang kasus terbengkalainya rancangan Museum Patiayam di Kudus, Jawa Tengah selama tiga tahun dan telah memakan ratusan juta rupiah. Semoga saja. ***
*) Periset Museum dan Budaya Visual pada Lab. Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sumber: http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=61
TUJUH bulan telah berlalu sejak diluncurkannya program pemerintah “Tahun Kunjung Museum 2010”. Meski demikian, ‘kesuksesan’ program nasional itu seolah hanya eforia sesaat, yang tetap menyisakan beberapa persoalan di sana-sini.
Sebagai ajang perayaan di tataran pemerintah, barangkali ia cukup berhasil dan membanggakan. Namun ketika kita meninjau museum di ranah praksis, nampaknya masih saja mengawang-awang dan berhadapan dengan sejumlah masalah riil yang sayangnya tidak selalu dapat kita sadari. Termasuk kasus hilangnya sebagian besar koleksi emas di Museum Sonobudoyo tempo hari.
Dari kajian saya, kita bisa melihat setidaknya ada dua problem utama yang menjangkiti jagad permuseuman kita. Pertama, pada aspek internal museum itu sendiri atau pada wilayah estetika visual museum dan tradisi risetnya. Yang kedua, lebih pada persoalan relasi museum dengan publik, yakni sejauh mana museum berstrategi agar berlaku sebagai institusi edukatif dan seni dalam membangun interaksi dengan publik secara positif.
Relasi Estetika Visual
Tidak banyak yang menyadari, bahwa satu hal terpenting dari museum adalah “penampilan”. Penampilan yang dimaksud mencakup dua unsur, yaitu (1) arsitektur bangunan dan tata-ruang serta (2) pameran atau tata-pajang (museum display). Kedua unsur dalam “penampilan” museum ini merupakan aspek formal atau aspek yang harus dipenuhi museum sebagai syarat utama dan terkait dengan estetika visual atau keindahan eksibisinya.
Estetika visual museum inilah “nyawa” (core) dari tubuh museum, karena nantinya berhubungan langsung dengan persoalan kedua di atas, yaitu aspek interaksi antara museum dengan pengunjung. Ketika museum tidak memenuhi kedua unsur tersebut, maka museum menjadi sepi peminat, dan lama-lama akan gulung-tikar.
Contoh konkret museum yang tidak memperhatikan secara baik aspek formalnya ialah Museum Sonobudoyo. Harian Kompas (Rabu, 23/06) mewartakan MS sebagai museum berstandar internasional dengan koleksi sejumlah 42.589 sedang dirundung persoalan. Banyaknya koleksi dan predikat standard internasional ternyata tak menjamin MS diminati pengunjung. Bahkan sempat kemalingan.
Banyak teori tourism studies mengatakan bahwa museum bukan tipe tempat wisata dengan pengunjung repeater (pengunjung berulang). Dan lazim adanya ketika seseorang berkunjung ke museum hanya sesekali. Tetapi, perlu dicatat di sini bahwa sebenarnya ini hanya persoalan strategi. Aspek “penampilan” di museum memiliki sesuatu yang sifatnya bisa temporer, terutama pamerannya.
Hal lain, saya beda pandangan tentang anggapan bahwa sebuah museum akan kalah bersaing dengan obyek wisata ikonik, seperti kasus Sonobudoyo dengan Keraton Jogja. Secara obyektif, kita harus melihat dulu seperti apa kondisi internal Sonobudoyo, sehingga dari situ baru kita bisa menelaah lebih jauh mengapa salah satu museum tertua di Indonesia ini sepi peminat.
Kasus Sonobudoyo
Saya mencatat, dalam 10 tahun terakhir koleksi yang dipamerkan dalam museum ini secara substansi tidak banyak berubah. Itu-itu saja. Tata-ruang dan strategi tata-pajang koleksi dalam rak-raknya konvensional, belum canggih. Pertanyaannya, apakah ini cukup ‘internasional’ kalau hanya menambah pendingin dan pengukur suhu ruangan.
Jika menghendaki museum ramai pengunjung, yang paling mungkin disiasati dengan memacu keterbaruan pada aspek tata-pajangnya, pada pamerannya. Karena, arsitektur bangunan museum mustahil dirombak karena memerlukan biaya besar. Dan, tentu saja harus melakukan strategi pameran berkala dengan menampilkan koleksi yang berbeda.
Sehingga, dari sini mau tidak mau museum harus melakukan publikasi kepada publik. Maka, otomatis publik akan mengetahui bahwa Museum Sonobudoyo rutin memamerkan koleksinya secara berkala karena menganut sistem rotasi koleksi. Meski koleksi bukan barang baru, tetapi benda-benda itu dapat dipamerkan dalam tema dan tata-pajang (penampilan) baru.
Ketika ini dilakukan, maka museum telah secara sadar membangun aspek estetika visual. Museum juga akan menjadi dinamis dan pengunjung yang awalnya merasa tidak perlu datang dua-tiga kali ke museum akan berpikir ulang. Paling tidak, mereka mempertimbangkan untuk melihat koleksi yang lain.
Estetika visual baru dapat terwujud bilamana terjalin interaksi antara museum dengan pirsawannya. Estetika visual mengandaikan pengalaman personal pengunjung yang dibangun oleh seni tata-pajang yang baik, yang mengundang seseorang untuk menyaksikan tiap benda yang dipamerkan dengan jenak dan hikmat. Di situ terjadi pergulatan emosional seseorang dengan pelbagai ihwal kebendaan dalam dimensi historis maupun kultural.
Akhirnya, museum dalam “kota museum” seperti Yogyakarta tidak bisa selesai dengan jumlah museum berlimpah, tapi harus lebih dari itu. Tatkala kota mengemban citra sebagai kota museum, maka semestinya seluruh museum di Yogyakarta bergerak secara kreatif. Jangan sampai hanya berpangku-tangan menanti bala-bantuan pemerintah untuk pengembangan institusinya.
Ide-ide kreatif harus dimunculkan untuk merengkuh jejaring pada lingkup lokal, seperti para seniman, kelompok seni dan pekerja budaya, serta akademisi untuk bekerja sama.
Dengan demikian, wacana museum yang berkembang di masyarakat dan pemerintah tidak melulu pada hal-hal non-substansial. Hemat saya, optimalkan kualitas museum-museum yang telah ada melalui kerja-kerja antarjejaring, daripada membangun museum baru. Atau, jangan sampai kita mengulang kasus terbengkalainya rancangan Museum Patiayam di Kudus, Jawa Tengah selama tiga tahun dan telah memakan ratusan juta rupiah. Semoga saja. ***
*) Periset Museum dan Budaya Visual pada Lab. Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sumber: http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=61
0 komentar:
Posting Komentar