Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Selasa, 14 September 2010

Menyuarakan Suara-Suara Yang (di)Bungkam: Artikulasi Perlawanan Ingatan Lewat Sastra dalam Antologi Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Adjidarma

oleh Wahyudi Akmaliah Muhammad

Pengantar

TIDAK dapat dipungkiri, naiknya rejim Orde Baru ke puncak kekuasaan Indonesia dibangun lewat pembunuhan massal pada 1965-1966 kepada sejumlah masyarakat yang berafiliasi dengan PKI atau pun orang yang di-PKI-kan. Namun, pembunuhan massal ini tidak diakui sebagai asal usul Orde Baru, melainkan bentuk respon dari “kudeta komunis 1965” yang menewaskan enam jenderal di Jakarta pada malam menjelang 1 Oktober 1965. Ironisnya, “kudeta komunis” dianggap sebagai penanda lahirnya Orde Baru sebagai penyelamat bangsa dari kudeta yang gagal. Dalam proses selanjutnya, kekerasan pun menjadi bagian dari ritus rejim Orde Baru dalam menjalankan dan mengamankan kebijakannya. Dengan kata lain, sejak kelahiran hingga berakhirnya rejim Orde Baru sarat dengan aroma kekerasan, bahkan pola kekerasan yang kerap digunakan rejim Soeharto hingga kini tetap direproduksi. Di sini kekerasan dari negara, oleh negara, dan untuk masyarakat. 1

Namun lewat mekanisme praktik diskursif, selain membentuk wacana dominan atas setiap peristiwa kekerasan bahwa itu ulah masyarakat yang ingin “mengganggu stabilitas bangsa dan keamanan negara”, rejim Orde Baru juga membangun stereotif dan stigma kepada korban dan keluarga korban. Wacana dominan inilah yang mendasari tindakan dan memiliki efek dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang menjadi korban. Di sisi lain, wacana dominan ini meminggirkan wacana-wacana lain mengenai setiap peristiwa kekerasan yang diciptakan rejim Orde Baru.

Kendati wacana-wacana lain terpinggirkan bukan berarti tidak ada ruang untuk melawan. Setiap wacana yang dibungkam atau orang yang ditindas selalu memiliki ruang untuk bersuara dan melawannya. Alih-alih ingin membongkar wacana dominan yang dibentuk oleh rejim Orde baru, dalam tulisan ini, saya akan membahas perlawanan atas wacana dominan dengan wacana-wacana yang dipinggirkan ketika itu, yaitu dengan menjadikan antologi cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Adjidarma (selanjutnya disingkat SGA) sebagai contoh perlawanan ingatan terhadap pembungkaman fakta lewat penulisan sastra mengenai insiden Dili yang terjadi pada 12 November 1991 dan situasi yang terjadi pada masyarakat Timor-timur.

Orde Baru dan Self-Censorship Media Massa

Dalam menjalankan ideologi pembangunannya, pemerintah Orde Baru tidak hanya membungkam komunitas masyarakat yang kritis atas kebijakan yang ada, melainkan juga mengontrol media massa dengan pemberitaan yang dimunculkan. Ini dikuatkan dengan survey penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), bahwa “hampir 46% dari informasi yang dipublikasikan dalam surat kabar-surat kabar Indonesia berasal dari sumber-sumber pemerintah; 39 % masyarakat, komunitas politik dan bisnis; dan sisanya 15% dari pelbagai sumber. Hampir dapat dipastikan bahwa bahasa dari sumber tadi akan sangat menentukan cara bahasa pengguna dan juga para jurnalis, seperti tampak pada bahasa jurnalistik”. 2

Hal itu pula yang terjadi dalam insiden Dili yang menewaskan banyak korban masyarakat Timor-Timur. Sayangnya, tidak ada satupun media massa yang berani mengungkapkan atas apa yang terjadi mengenai peristiwa tersebut. Ini karena, kekhawatiran yang berujung pada paranoid institusi media untuk mengungkapkan peristiwa tersebut. Kerapkali, konsekuensi yang harus mereka tanggung adalah dicabutnya SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan) sebagai legitimasi sah tidaknya sebuah media massa itu muncul ke khalayak publik.

Kondisi ini dialami SGA saat menjadi Redaktur Pelaksana di tabloid mingguan Jakarta-Jakarta (selanjutnya disingkat JJ). SGA dan dua orang temannya (Waskito Trisnoadi dan Usep Hermawan), tepatnya hari Selasa 14 Januari 1992, dipanggil oleh pimpinan perusahaan JJ. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh petinggi perusahaan itu ditetapkan satu kesimpulan bahwa mereka bertiga “dipindahkan” ke tabloid Citra yang merupakan anak perusahaan yang sama dengan tabloid JJ. Alasannya, selain mendeskriditkan, pemberitaan mengenai Insiden Dili juga menurunkan derajat ABRI atas tindakan (kekerasan dan kejahatan) yang dilakukannya; tindakan yang dianggap sebagai bagian dari ‘pengabdian terhadap kesatuan, persatuan dan loyalitas terhadap bangsa’. 3

Sebenarnya, dalam pemberitaan yang ditampilkan oleh JJ, tidak ada niat untuk mendeskriditkan ABRI sebagai bagian dari aparat negara, melainkan ingin mengungkapkan kebenaran atas apa yang sesungguhnya terjadi dalam insiden Dili pada 12 November 1991 “seakurat mungkin” sebagai bagian dari tanggung jawab publik tugas jurnalistik. Ini tercermin dari JJ nomor 282, tanggal terbitnya 23-29 November 1991, memuat satu laporan bertajuk Dili: Heboh Video. Laporan itu dibagi dalam bagian; (1) Dili, Provokasi, dan Videotape, (2) Demo dan Penahanan, (3) Komisi dan Objektivitas, (4) Orang Dili Suka Dansa, (5) Timtim: Membangun dan Memahami. 4 Dalam salah satu laporan itu, JJ menceritakan video itu secara detail:

Rekaman video memperlihatkan, saat kamera diarahkan pada demontran, mereka mengacung-acungkan kepalan ke atas. Sementara potongan berikutnya sangat provokatif: memamerkan adegan cukup lama, close up lagi, seorang pemuda Timtim yang luka parah dibagian perutnya. Ia telantang di tanah, sekujur tubuhnya bersimbah darah dalam pelukan orang lain yang sebaya, kira-kira usia 20-an. Ketika mengerang dan mencoba mengangkat tangannya, tampak tangannya juga hancur. Daging dan darahnya berwarna pekat lantaran bercampur debu dan tanah. 5

Selain itu, JJ nomor 288, tanggal terbit 4-10 Januari 1992 menuliskan laporan tentang Cerita dari Dili yang berisi (1) Mantiri: Jenderal Sukses, (2) Pandangan Mata Saksi Tragedi, (3) Misteri Siluman Berambut Gondrong. Laporan itu bukan hanya sebagai bentuk pengungkapan kebenaran, melainkan penarasian sejumlah saksi mengenai satu peristiwa yang mereka alami. Kesaksian inilah yang kemudian mengindisikan bahwa tertembaknya sejumlah demonstran bukanlah melulu suatu insiden (baca: kecelakaan yang disengaja, sebagaimana diasumsikan oleh sejumlah aparat militer saat itu), melainkan satu serangan yang sepertinya sudah didesain sebelumnya. Sebagaimana terungkap dalam kesaksian yang dituliskan oleh JJ:

Saat penembakan mereka dibagi dalam dua barisan. Barisan pertama di depan dan barisan kedua berada di belakang. Komandannya tembak sekali ke atas, sambil berteriak, “depan tidur, belakang tembak!” pada saat yang belakang tembak, yang depan merangsek masuk ke demonstran dan menusukkan sangkurnya ke semua orang. Kesan yang tertangkap saat itu adalah kekejaman, saya sempat melihat ada satu orang yang mungkin hanya pingsan, begitu dilihat oleh seorang oknum, kepalanya masih bergerak-gerak, langsung ditumbuk batu. Dan satu lagi, saya masih melihat ada yang hidup di truk yang penuh mayat, oleh oknum, orang itu diturunkan dan dipukul kepalanya. Baru dinaikkan kembali ke atas truk.

Namun akibat pemberitaan ini, SGA dipanggil oleh Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan ABRI di Cilangkap. Selain diinterogasi maksud dari pemberitaan tersebut yang dianggap merendahkan martabat ABRI, SGA dituduh sebagai jurnalis yang tidak pancasilais dan nasionalis. Padahal, pemberitaan yang seimbang tersebut mengesankan keterbukaan baik pemerintah maupun pers Indonesia, sehingga Indonesia sebagai sebuah bangsa mendapatkan nama baik di mata internasional, karena tidak menutup-nutupi kenyataan. Terlebih Presiden Soeharto telah mengganti para pejabat militer wilayah tersebut. Tindakan ini satu bukti bahwa insiden itu adalah suatu kesalahan.

Bertolak dari pemaparan di atas, terlihat jelas bagaimana kontrol negara lewat aparatusnya, militer begitu kuat mencengkram media massa sebagai institusi pengungkap kebenaran kepada masyarakat dan juga yang berfungsi sebagai kontrol sosial kepada negara. Di sisi lain, kontrol negara ini telah menciptakan panoptikon (kontrol dan pengawasan) dalam diri pemilik media massa, sehingga sebelum menerbitkan sebuah pemberitaan di media massa terkait dengan isu pelanggaran HAM yang terkait dengan militer, mereka sudah melakukan sensor diri dulu terhadap para jurnalisnya, sebelum dibungkam oleh negara. SGA adalah salah seorang jurnalis yang dibungkam dan mengalami penyensoran itu terkait dengan pemberitaan insiden Dili yang diwartakan.

Melawan Pembungkaman Ingatan Lewat Sastra

Dalam setiap peristiwa kekerasan entah berupa penindasan, pembungkaman, maupun stigma, relasi yang terbentuk antara penindas dan ditindas atau pembungkam dan dibungkam tidaklah melulu bersifat totalitas menguasai. Dalam relasi itu, selalu ada “ruang antara” yang memungkinkan subyek yang ditindas itu melakukan perlawanan balik terhadap si penindas, meskipun “kadar” tindakan yang dilakukannya tidaklah sekuat si penindas. Meminjam ungkapan SGA, “Cacing diinjak pun menggeliat apalagi manusia”. Tindakan perlawanan inilah yang dilakukan SGA.

Ia memang dibungkam dengan pencopotannya sebagai redaktur dan jurnalis di JJ, tapi tidak berarti menyerah dalam ketertundukkan. Ia melawan dengan mengungkapkan fakta insiden Dili dengan cerpen yang dikirimkan ke pelbagai media massa selama tahun 1992-1994 yang kemudian dibukukan dalam antologi cerpen Saksi Mata. Dengan kata lain, perlawanan lewat cerpen ini adalah bentuk perlawanan ingatan yang sudah menjadi bagian dari narasi masyarakat Timor-timur terhadap pelupaan yang ingin dibuat oleh rejim Orde Baru mengenai insiden Dili.

Meskipun diakui, perlawanan melalui medium sastra ini tidaklah mudah. Selain harus membingkai fakta dengan sejumlah imajinasi fiksional, penulisan sastra yang diangkat dari fakta harus menggunakan kekuatan narasi dengan mencantumkan pelbagai metafor atas peristiwa yang dituju. Karena itu, dalam mengangkat faktualitas kisah atas peristiwa bahwa cerpen itu adalah tentang insiden Dili atau situasi Timor-timur harus ada “strategi perlawanan”. “Strategi perlawanan” yang dipraktekkan oleh SGA adalah dengan memasukkan sejumlah kata kunci untuk para pembacanya, yaitu (1) terdapat konteks pembantaian orang-orang yang tidak bersenjata yang menunjuk pada insiden Dili, (2) nama-nama yang diwariskan penjajahan Portugal yang merujuk pada nama-nama sebagai referen pada lokasi Timor-timur, sedangkan yanag terakhir (3) memberikan sinkronisasi waktu. Dengan demikian, secara garis besar ada dua hal yang diangkat dalam antologi cerpen Saksi Mata, yaitu (1) kekejaman tindakan kekerasan ABRI yang biasa disebut sebagai tentara asing, (2) penderitaan yang dialami oleh korban dan keluarga korban masyarakat Timor-Timur sebagai bentuk rasa empati.

Uniknya, cara SGA menulis dan mengkritisi atas fakta melalu cerpen seringkali tidak dengan narasi “amarah” dan emosional yang menggebu, melainkan dengan narasi yang penuh canda bercampurkan satir atau sarkasme. Maksud sarkasme (sarcasm) di sini adalah satu bentuk ironi dan satir untuk penggambaran kekejaman yang lebih kejam dibandingkan dengan tindakan kekejaman yang ada, sehingga hal itu menjadi suatu yang banal. Dalam cerpen telinga misalnya, kecintaan dan kerinduan pacarnya Dewi yang sedang berada di medan perang dibuktikan dengan pengiriman telinga manusia hampir setiap hari, yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Selain pengiriman telinga sebagai bentuk kecintaan terhadap Dewi, pemotongan telinga merupakan satu-satunya hiburan yang dimiliki sang pacar. Ini diungkapkan pacar Dewi dalam surat yang dikirimkannya:

Kukirimkan telinga ini untukmu Dewi, sebagai kenang-kenangan dari medan perang. Ini adalah telinga seseorang yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Kami memang biasa memotong telinga orang-orang yang dicurigai, sebagai peringatan atas risiko yang mereka hadapi jika menyulut pemberontakan. Terimalah telinga ini, hanya untukmu, kukirimkan dari jauh karena aku kangen kepadamu. Setiap kali mengingat ini, ingatlah diriku yang kesepian. Memotong telinga adalah satu-satunya hiburanku (hal.13-14).

Sarkasme juga terdapat dalam Saksi Mata. Dalam cerpen ini, saksi mata yang kehilangan kedua matanya akibat korban kekejaman ninja yang berseragam diminta untuk bersaksi atas kekerasan yang terjadi pada dirinya. Karena kehilangan kedua mata inilah kesaksiannya menjadi sekedar guyonan bagi para audiens. Disebut guyonan karena ia harus bersaksi tanpa disertai mata yang melihat sebagai bentuk kesaksian atas peristiwa yang dilihat. Ketika sedang bersaksi inilah, darah keluar dari matanya, dan membasahi lantai, jalan-jalan, dan semua tempat di kota itu telah menjadi lautan darah. Sayangnya, “tidak ada satu pun yang tahu”; “Darah masih menetes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lubang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewatu pintu menuruni tangga sampai halaman. Tapi orang tidak melihatnya (hal.5).

Selain sebagai bentuk sindiran mendalam mengenai fungsi pengadilan kasus Timor-timur yang seperti komedi dengan penuh ironi yang menyertainya, Saksi Mata dapat ditafsirkan sebagai satu bentuk kekejaman yang dilakukan militer di Timor-timur sehingga mengakibatkan banjir darah dengan banyaknya korban yang meninggal, namun tidak satu pun publik Indonesia yang tahu peristiwa itu. Dalam hal ini adalah media massa yang tidak mempublikasikan peristiwa itu. Meskipun tidak dipublikasikan dan tidak menjadi ingatan publik Indonesia, insiden Dili itu tetap menjadi ingatan masyarakat Timor-timur yang diceritakan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Sebagaimana terlihat dalam Pelajaran Sejarah. Dalam cerpen ini dikisahkan betapa narasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan tidak pernah masuk dalam buku sejarah, sedangkan di satu sisi ingatan atas peristiwa itu telah meninggalkan goresan yang terus melekat dalam diri korban. Keterbungkaman korban atas pengalaman pahit yang dialami ini direpresentasikan oleh tokoh Alfonso sebagai guru sejarah. Keterbungkaman antara ingin melupakan masa lalu atas sejarah pengalaman pahit dan pengingatan sebagai bentuk penagihan keadilan atas ketidakadilan sejarah yang selama ini didominasi oleh sejarah resmi negara yang tidak mencantumkan sejarah penindasan masyarakat Timor-timur (hal. 65-71).

Tidak berhenti di sini. Keterbungkaman korban lewat mesin kekerasan ini kembali ditampilkan oleh SGA pada tokoh Fernando dalam Rosario dan pada Januario dalam Listrik. Dalam kisah Rosario, Fernando diminta oleh dokter muda untuk menceritakan mengapa rosario bisa masuk ke dalam perutnya. Namun setiap kali ingin bercerita, ia selalu tak mampu untuk menuturkannya, bahkan kerapkali ia langsung jatuh pingsang. Ada perasaan ketakutan dan cemas yang mendalam ketika ingin menceritakannya kepada seorang dokter muda. Padahal, ketakutan yang dialami tidak cocok dengan tubuhnya yang besar dan wajahnya yang “agak menakutkan”. Setiap pingsan itulah masa lalu menguak kembali dalam ingatan, di mana seorang serdadu memaksanya menelan rosario di sebuah kuburan, dengan bayonet terhunus yang bersimbah darah, karena ia dituduh ingin merdeka.

Di sini, kekerasan telah menjadi suatu hal yang eksrim di mana korban telah kehilangan eksistensi dirinya, dan membuat hidupnya selalu diliputi oleh hantu kekerasan masa lalu; semakin berusaha ia melupakan, semakin ingatan atas peristiwa itu hadir (hal.45-52). Sedangkan dalam Listrik, akibat siksaan dengan setruman listrik oleh “tentara asing” untuk diinterogasi karena dianggap ingin meminta suaka ke negara lain, hal ini membuat Januario lebih memilih mengingat masa lalunya yang damai nan indah ketimbang realitas yang dihadapinya saat itu. Di sini mengingat masa lalu ketika adalah bentuk pelarian dan penolakan terhadap realitas yang dihadapi Januario (hal.53-62).

Sementara jejak dan efek kekerasan itu tergambar jelas dalam cerpen Maria. Maria adalah sosok ibu yang kehilangan anaknya dan menderita psikis-mental. Namun, saat anaknya, Antonio kembali, ia malah tidak (mau) mengenal anaknya. Bahkan anaknya diusir dari rumah yang selama ini diimpi-impikan oleh Antonio. Antonio diusir dan tidak dikenal lagi oleh ibunya karena secara fisik, akibat tindakan kekerasan, kondisi tubuhnya sudah berubah. Ia tidak lagi tampan, tinggi, dan gagah seperti dahulu. Saat itu, ia menjadi seperti monster yang berjalan dengan tubuh yang penuh bekas-bekas kekerasan (hal.27-35). Di sini, selain telah menyebabkan orang menjadi teralienasi, efek kekejaman militer telah menciptakan orang terdestruksi dari lingkungan sosial dan masyarakatnya. Peristiwa kehilangan seorang anak inilah yang sering dialami oleh masyarakat Timor-timur saat itu.

Puncak akumulasi praktik pelanggaran HAM terhadap masyarakat Timor-timur ini adalah adanya upaya sistematis dan tersembunyi mengenai pembersihan etnis masyarakat Kota Ningi yang setiap tahun makin menurun populasi penduduknya. Sebagaimana dikisahkan petugas sensus yang merupakan warga pendatang dalam Misteri Kota Ningi, “Di kota Ningi aku menemukan suatu hal yang lain sama sekali........... dari tahun ke tahun, penduduknya makin lama makin berkurang. Aneh sekali. Ketika dunia mengerutkan kening karena laju pertumbuhan penduduk yang mengerikan, kota ningi makin lama malah makin berkurang penduduknya. Ketika aku membongkar-bongkar arsip, catatan tahun 1974 menunjukkan jumlah 688.771 orang. Namun ketika aku menghitungnya kembali pada tahun 1978 ternyata penduduknya sudah menjadi 329.271 orang. Kemana yang 359.500 orang itu pergi? Aneh sekali. Toh, bukan soal penyusutan itu benar yang membuatku merasa aneh (hal.74). Kata “misteri’ dalam judul cerpen ini dapat digambarkan sebagai bentuk praktik politik “stabilitas” rejim Orde Baru. Maksudnya dengan menggunakan kata ‘stabilitas’ negara dapat dengan mudah menangkap dan membunuh orang yang dicurigai sebagai pengganggu keamanan. Dengan demikian, perlawanan yang dibangun oleh masyarakat lokal itu sebagai orang yang tidak memiliki rasa nasionalisme, karena itu harus dibersihkan.

Namun, pelbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer bukanlah satu bentuk pelanggaran kemanusiaan yang menurunkan derajat kemanusiaan itu sendiri, melainkan sesuatu pekerjaan yang dianggap biasa yang sama dengan pekerjaan lainnya. Dalam Darah Itu Merah Jenderal dituturkan dengan jelas oleh seorang Jenderal mengenai perihal dirinya yang pernah masuk koran karena menembak maling pada kakinya, “Baru menembak kaki maling saja jadi berita..... bagaimana kalau mereka tahu bagaimana kami bertempur” (hal.92). Bahkan sang Jenderal itu menjadi lupa sudah berapa banyak jiwa yang diterbangkan olehnya. “Ia sudah lupa berapa banyak jiwa telah diterbangkannya ke langit. Aneh, ia baru sekarang ia sadar, cukup banyak darah yang ia tumpahkannya—lewat peluru, dinamit, mortir, granat, dan bom. Celakanya yang disebut musuh tak selalu tentara, tak selalu bersenjata, dan tak selalu orang yang seperti berontak, tapi sama berbahayanya, jadi harus diikat” (hal.96). Menurut Hannah Arrend, tindakan pembunuhan menjadi suatu hal yang banal mengandaikan pelaku sudah tidak memiliki hati, namun ia serupa mesin yang hanya menjalankan tugasnya membunuh. Di sini korban dianggap bukanlah manusia yang memiliki identitas, keluarga, saudara, teman, dan kehidupan yang lainnya, melainkan sekedar sebagai sekumpulan massa dan individu yang dianggap melawan maupun berhasrat mengganggu stabilitas negara.

Penutup

Ingatan bukan sekedar rekaman jejak masa lalu, melainkan bentuk penagihan pengungkapan kebenaran atas masa lalu. Ini bisa terjadi, kalau ingatan individu setiap korban kekerasan itu diuraikan dan dijelaskan lewat transmisi pengalaman, sehingga menemukan ruang pemaknaan yang baru atas peristiwa itu. Ingatan individu inilah yang kemudian masuk dalam kontruksi ingatan kolektif, yang bisa berfungsi menjadi amunisi untuk mematahkan wacana dominan sebuah rejim kekuasaan. Salah satu cara untuk mengetahui artikulasi ingatan mereka adalah dengan melihat bagaimana mereka memelihara dan mengendapkan ingatan mereka.

Pemeliharan dan pengendapan ingatan inilah yang disebut oleh Pierre Nora sebagai situs ingatan, yaitu suatu tempat untuk menyimpan sekaligus merupakan pemicu dari tindakan mengingat. Situs ingatan di sini tidaklah sekedar bangunan fisik seperti artefak, monumen, atau dokumentasi berupa memoar, melainkan kombinasi dari aspek topografi dengan aspek fungsional, seperti ritual, perayaan, peringatan, dan semacamnya. Lewat situs ingatan inilah kita dapat mengetahui bagaimana pewarisan ingatan terjadi dan bagaimana mereka menghangatkan ingatan masa lalu.

Antologi cerpen Saksi Mata adalah salah satu dokumentasi memoar yang merepresentasikan narasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang tidak terungkap dalam diskursus dominan tentang Timor-timur. Lewat antologi ini juga fungsi fiksi dalam sastra menjadi satu perjuangan untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak bisa diekspresikan melalui pemberitaan media. Karena, menurut SGA, jurnalisme lebih berbicara dengan fakta, sedangkan sastra berbicara dengan kebenaran. Lewat jurnalisme, fakta bisa dimanipulasi dan ditutupi, karena ia terikat oleh seribu satu kendala. Sementara kendala sastra hanya kejujuran hati di dalam diri manusia dan tertanam dalam sejarah kemanusiaan manusia.

Perlawanan SGA atas pembungkaman yang menimpa dirinya terkait dengan pemberitaan insiden Dili dan situasi yang terjadi di Timor-timur dengan menuliskan fakta-fakta tersebut lewat sastra telah membuktikan bahwa kebenaran selalu bisa menemukan ruang, walaupun di tengah cengkraman otoritarianisme sebuah rejim. Di sini kuasa pikiran tidak bisa dibelenggu oleh pelbagai praktik dominasi diskursif apapun. Selain sebagai artikulasi ingatan melawan pelupaan yang dibuat oleh rejim Orde Baru mengenai realitas Timor-timur, buku antologi cerpen ini menjadi wacana tandingan atas versi sejarah resmi mengenai peristiwa itu. Sebuah tawaran wacana sejarah lain tentang kekerasan dan pembantaian massal anak manusia atas nama “persatuan dan kesatuan” terhadap masyarakat yang dahulu pernah menjadi bagian dari Indonesia. ***

Catatan Kaki:

1. Untuk mengetahui persoalan ini lebih mendalam lihat, Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, London and New York: Routledge, 2006

2. Dhaniel Dakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996, hal. 246

3. Seno Gumira Adjidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Berbicara, Yogyakarta: Bentang, 1997, hal. 48-49

4. Ibid., hal. 50

5. Ibid, hal.53

6. Ibid., hal. 56

7. Ibid, hal. 57

8. Lihat, Budiawan, “Representing The Voices of Silenced: East Timor in Comtemporary Short Stories Indonesia, dalam Trajectories: Inter-Asia Cultural Studies, Khuan-Hsing Han (ed), London and New York: Routledge, 1998. hal. 209.

9. Lihat. Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Yogyakarta: Bentang, 1994, hal.1-11

10. Budiawan, hal. 209.

11. Lihat Klaus H.Schreiner, “Histories of Trauma and Sites of Memory”, dalam Mary S. Zurbuchen (ed), Begining To Remember, The Past In The Indonesian Present, Singapore: Singapore Press and Universiy of Washington Press, 2005, hal. 266.

Daftar Pustaka

Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging, London and New York: Routledge, 2006

Budiawan, “Representing The Voices of Silenced: East Timor in Comtemporary Short Stories Indonesia, dalam Trajectories: Inter-Asia Cultural Studies, Khuan-Hsing Han (ed), London and New York: Routledge, 1998

Dhaniel Dakidae, “Bahasa, Jurnalisme, dan Politik Orde Baru”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Bandung: Mizan, 1996

Klaus H.Schreiner, “Histories of Trauma and Sites of Memory”, dalam Mary S. Zurbuchen (ed), Beginning To Remember,The Past In The Indonesian Present, Singapore: Singapore Press and Universiy of Washington Press, 2005

Seno Gumira Adjidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Berbicara, Yogyakarta: Bentang, 1997
Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Yogyakarta: Bentang, 1994

*) Alumnus Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Saat ini tengah studi tentang resolusi konflik di Costa-Rica.

Sumber: http://www.indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=26

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share