Oleh : Susanto Polamolo
Sejak beberapa bulan terakhir wajah kepolisian Indonesia semakin semrawut dan tak beraturan, para penegak supremasi hukum kini saling tuding dan mengkonfrontir wilayah paradigma satu sama lain, rakyat pun semakin melahap fakta ironis ini, ketika sebuah fungsi akan kekuatan yuridis di pertaruhkan, hukum sebagai panglima menjadi pertanyaan paling tragis akan kondisi yang tengah terjadi di lembaga kepolisian. Secara leadership Indonesia tengah di hadapkan pada kondisi krisis multidimensional, amanat akan tanggung jawab moral, politik, hukum, dan social kini mulai pudar seiring menyeruaknya berbagai problema di setiap aspek. tanggung jawab keamanan dan kenyamanan Negara di serahkan sepenuhnya menjadi wilayah hukum, dan kepolisian menjadi substansi akan amanat kenegaraan, secara umum penempatan kepolisian sebagai institusi yang bersandar pada rule of the law dan equality before the law amatlah bergantung pada prinsip-prinsip makro system bernegara, yang tentu saja didalamnya berisi kemurnian akan pengabdian terhadap Negara, jauh dari dialektika komersil, kepolisian Indonesia diharapkan menjadi entitas kebangsaan yang mengayomi dan melindungi segenap rakyat Indonesia.
Tanggal 1 juli adalah hari jadi kepolisian repoblik Indonesia, seiring sejarah hingga kini dimana POLRI masih saja belum bisa terlepaskan dari arus politik yang masih melihat polisi sebagai potensi kekuatan militeristik bagai tonggak estafet kebijakan-kebijakan politik pemerintah, masih segar diingatan kita ketika POLRI menjadi ‘alat’ yang di perebutkan dalam ketegangan politik antara mantan presiden almarhum KH.abdurrahman wahid Vs DPR/MPR, refleksi buruk ini menjadi gambaran dinamika bahwa belum optimalnya upaya membangun system kepolisian yang “mandiri” dan “professional” setelah realita terburuk rezim orde-baru dengan militernya memporak-porandakan hakikat demokrasi di bangsa ini, juga tidak bisa di pungkiri pemisahan secara structural antara POLRI dan TNI belum cukup memberikan ruang-gerak menjadi suatu mobilisasi evolusi sistemik yang efisien. Demikian tersirat dalam “mandat kerja” kepolisian yang secara normative dirumuskan menjadi 3 fungsi : (a) penegak hukum, (b) penjaga ketertiban dan keamanan, (c) pelayanan public, dari ketiga wilayah ini kepolisian kedepannya mengisyaratkan tidak hanya ‘profesional’ akan tetapi jujur, bersih serta mampu membangun “policemen community relation” yang baik. Tentunya tidak terlepaskan dari upaya-upaya membersihkan diri dari praktek sogok/perilaku korup birokrasi Negara (birokratie rente), maupun iklim mafia kejahatan. Demikian juga dalam UU no. 28/1997 (pasal 1, 2, 4, 5), UU kepolisian RI no. 31/1997 (pasal 2, 8, 9), dan UU no 2/2002, yang memuat fungsi dan peran POLRI menjadi bagian tak terpisahkan dari instrument konsep pembangunanisme, sebagai perangkat kebijakan Negara serta melindungi segala lingkup prosesi integralistik, dalam pasal 7 dan 13 menyebutkan tentang struktur organisasi terpusat, yang di perkuat dengan TAP MPR RI no. IV tahun 2000, serta juga fulgar menyebutkan tentang tugas kepolisian merupakan watak instrument kekuasaan dan militer, secara umum UU ini cacat maka tentu saja perlulah sentuhan amandemen dalam mewujudkan POLRI sebagai institusi sebagai bagian penting dari perangkat penegakan hukum dan perlindungan kemanusiaan setelah dalam prakteknya terjadi hegemoni, seperti disebutkan dalam BAB IV tentang pembinaan dan kode etik yang tidak menjadi bagian dari keharusan kode etik sebagai pejabat penegak hukum, belum lagi ‘hal-hal spesial’ yang termaktub dalam KUHAP serta system peradilan pidana khususnya yang dilakukan oleh polisi dan militer jelas masih membutuhkan proses jangka panjang dalam perubahan sistematik kerangka fungsinya, artinya keputusan pemandirian kepolisian memang masih belum didukung oleh perangkat hukum yang cukup, akibat langkah yang ‘setengah hati’ dari pemerintah/DPR/MPR melalui beberapa produknya (UU). Adalah tanggung jawab substansial pemerintah dalam memberikan batasan kerja yang jelas agar POLRI secara indiependent dapat langsung mempertanggung jawabkan tugasnya khususnya terhadap public, seperti yang terjadi diinggris oleh jhon Wilson, (chief superintendent England police) mengenai pemandirian polisi dengan pelurusan militer, seiring itu juga, pertanyaan yang mencuat apakah tugas POLRI sebenarnya? Apakah mempertahankan kedaulatan Negara dengan penegakan hukum? Hukum seperti apa? Tentu saja pertanyaan ini sekaligus menjadi PR berat POLRI dalam membenahi diri secara kultus melalui structural yang punya wilayah otorisasi kemandirian. Perubahan resensi kinerja tersebut bisa merujuk pada berbagai ketentuan yang sifatnya universal, misalnya dalam ketentuan kovenan hak sipil ( ICCPR ) jo, code of concuct for law enforcement officials (kode etik para pejabat penegak hukum) yang berbunyi : “para petugas penegak hukum harus senantiasa memenuhi tugas yang dibebankan kepada mereka oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang terhadap tindakan-tindakan yang tidak sah, sesuai dengan tingkat tanggung jawab tinggi yang diwajibkan oleh profesi mereka serta para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dari semua dari semua orang”.
Berbagai pendekatan faktualis seharusnya membuat POLRI lebih dewasa dalam memposisikan dirinya, secara kualitas dan kuantitas urgensinya, patut digodok dengan konvensi jenewa, sekiranya estimasi Bowran tidak berlebihan, di eropa timur, repoblik ceko, dengan penduduk lima juta, pada waktu empat tahun untuk mensipilkan polisi, maka Indonesia setidaknya membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk proses police civilinizatione, secara harfiah proses sipil adalah evolusi kepolisian yang tidak memberikan kesenjangan antara masyarakat sipil dan pejabat penegak hukum, dari sinilah perlu dipikirkan upaya mensterilkan berbagai intervensi terhadap kerja-kerja kepolisian, lantas bukan bererti kemandirian polisi lalu tidak bisa diberlakukan tindakan hukum yang tegas bagi mereka, justru sebaliknya kepolisian harus menunjukan bagaimana hakikat dari hukum itu sendiri dengan memperlihatkan keadilan se-adil-adilnya, se-bersih-bersihnya, menghilangkan sisi ‘ego dalam setiap tindakan represifitasnya disamping melayani masyarakat, juga mengayomi, seorang polisi diambil “sumpahnya” bukan untuk menjadi ‘makelar kasus’ yang kini tengah mewarnai Indonesia, lalu kemudian mengerucut lagi oleh opini sebagian besar masyarakat menilai kinerja POLRI berada jauh dalam lingkar optimal, menyebabkan semakin terpuruknya wibawa kepolisian, hal-hal yang harus digaris bawahi adalah tidak terintegritasnya pelayanan polisi pada mayarakat, masalah kemandirian polisi, KKN, rendahnya kinerja pelayanan masyarakat, terlalu berlebihan dalam sudut pandang kesejahteraan anggota, evisiensi peningkatan keteladanan kepemimpinan dan anggota yang tidak proporsional. Inilah wajah kepolisian repoblik Indonesia ditengah badai intervensi dan hipokrasi, menjadi tanggung jawab moral seluruh anggota kepolisian untuk membenahi diri, serta pemerintah dalam produk hukumnya wajib memberikan wilayah kerja menuju pemandirian yang professional dan bertanggung jawab langsung terhadap presiden dan juga masryarakat Indonesia, sejauh ini dibelahan dunia manapun proses pemandirian kepolisian sudah di berlakukan, hanya Myanmar dan Indonesia yang menempatkan kepolisian dibawah tentara.
Untuk menjawab problema kini, dan kedepannya, dimana masyarakat Indonesia dilanda krisis kepercayaan terhadap hukum, hukum tidak lagi dilihat sebagai panglima, dengan para punggawanya yang menjunjung tinggi penegakan supremasi, sebuah persembahan tugas mempertahankan kedaulatan Negara, ikut berperan dalam perubahan social (social change) dengan mengedapankan civil scurity, POLRI menjadi salah satu punggawa hukum yang tengah menghadapi tantangan jaman, namun kita juga tidak dapat menuntut upaya perubahan semata-mata pada pihak kepolisian, meskipun ada beberapa soal yang dapat diubah secara otoritas oleh pihak kepolisian sendiri, persoalan paling makro kemudian mengerucut, adalah bagaimana memberikan koreksi masyarakat politik tentang bagaimana polisi diletakkan dalam system bernegara termasuk kebijakan hukum yang sifatnya umum terhadap tindakan-tindakan di luar koridor penegak hukum, yang bertumpu pada otoritas masyarakat sipil, disinilah kemudian menjadi letak dasar paradigma evolusi tentang bagaimana upaya mengoreksi relasinya dengan Negara, serta menempatkan kepolisian dalam relasi tersebut secara substansial perannya sebagai penegak hukum, tentu saja hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama jika tidak ada keseriusan, kebijakan yang progress untuk menyehatkan institusi ini, seperti dalam kajian-kajian munir tentang HAM menempatkan kepolisian masih berada dalam “kursi tuanya” akan sulit keluar dari bayang-bayang TNI, dari segi psikologi jelas terdapat indikasi frustasi didalam tubuh POLRI, sehingga bukan tidak mungkin penyelewengan-penyelewangan dulu, kini, berpotensi juga terjadi di masa yang akan datang. Wawasan masa depan POLRI dalam penegakan hukum, konsepsi kinerja, tidak berlebihan jika dikatakan wajib mendapatkan “pencerahan”, suatu problema dalam tuntutan masa depan kepolisian yang lebih baik, dan harus segera beranjak dari “kursi tuanya”. Mulai dari pembenahan permasalahan krusial seperti perubahan kepangkatan, struktur komando, hubungan-hubungan kelembagaan, pola pembinaan, anggaran serta terlepas dari sifat represif yang terkesan agak berlebihan dan bar-bar, kemudian evolusi secara sistemik dalam penempatannya dengan pendekatan focus orientasi menuju “satuan sipil” sebagai civilian guardian, dimana perubahan ini sendiri akan menuntut dan menuntun kearah perubahan pola, strategi dan penjagaan keamanan, ketertiban akan penegakan hukum, melalui produk kebijakan pemerintah terhadap pemandirian kepolisian, dengan berpijak pada etika professional yang mandiri, dan terfokus dalam bertanggung terhadap sumpah yang diikrarkannya, sehingga kemudian kepolisian bisa steril dari intervensi, jauh dari hipokrasi dan konspirasi politik, Semoga POLRI tidak terlambat membenahi diri sehingga institusi penegak hukum lainnya bisa tersindrom evaluasi diri menuju tatanan dan cita-cita sejati hukum.
Sejak beberapa bulan terakhir wajah kepolisian Indonesia semakin semrawut dan tak beraturan, para penegak supremasi hukum kini saling tuding dan mengkonfrontir wilayah paradigma satu sama lain, rakyat pun semakin melahap fakta ironis ini, ketika sebuah fungsi akan kekuatan yuridis di pertaruhkan, hukum sebagai panglima menjadi pertanyaan paling tragis akan kondisi yang tengah terjadi di lembaga kepolisian. Secara leadership Indonesia tengah di hadapkan pada kondisi krisis multidimensional, amanat akan tanggung jawab moral, politik, hukum, dan social kini mulai pudar seiring menyeruaknya berbagai problema di setiap aspek. tanggung jawab keamanan dan kenyamanan Negara di serahkan sepenuhnya menjadi wilayah hukum, dan kepolisian menjadi substansi akan amanat kenegaraan, secara umum penempatan kepolisian sebagai institusi yang bersandar pada rule of the law dan equality before the law amatlah bergantung pada prinsip-prinsip makro system bernegara, yang tentu saja didalamnya berisi kemurnian akan pengabdian terhadap Negara, jauh dari dialektika komersil, kepolisian Indonesia diharapkan menjadi entitas kebangsaan yang mengayomi dan melindungi segenap rakyat Indonesia.
Tanggal 1 juli adalah hari jadi kepolisian repoblik Indonesia, seiring sejarah hingga kini dimana POLRI masih saja belum bisa terlepaskan dari arus politik yang masih melihat polisi sebagai potensi kekuatan militeristik bagai tonggak estafet kebijakan-kebijakan politik pemerintah, masih segar diingatan kita ketika POLRI menjadi ‘alat’ yang di perebutkan dalam ketegangan politik antara mantan presiden almarhum KH.abdurrahman wahid Vs DPR/MPR, refleksi buruk ini menjadi gambaran dinamika bahwa belum optimalnya upaya membangun system kepolisian yang “mandiri” dan “professional” setelah realita terburuk rezim orde-baru dengan militernya memporak-porandakan hakikat demokrasi di bangsa ini, juga tidak bisa di pungkiri pemisahan secara structural antara POLRI dan TNI belum cukup memberikan ruang-gerak menjadi suatu mobilisasi evolusi sistemik yang efisien. Demikian tersirat dalam “mandat kerja” kepolisian yang secara normative dirumuskan menjadi 3 fungsi : (a) penegak hukum, (b) penjaga ketertiban dan keamanan, (c) pelayanan public, dari ketiga wilayah ini kepolisian kedepannya mengisyaratkan tidak hanya ‘profesional’ akan tetapi jujur, bersih serta mampu membangun “policemen community relation” yang baik. Tentunya tidak terlepaskan dari upaya-upaya membersihkan diri dari praktek sogok/perilaku korup birokrasi Negara (birokratie rente), maupun iklim mafia kejahatan. Demikian juga dalam UU no. 28/1997 (pasal 1, 2, 4, 5), UU kepolisian RI no. 31/1997 (pasal 2, 8, 9), dan UU no 2/2002, yang memuat fungsi dan peran POLRI menjadi bagian tak terpisahkan dari instrument konsep pembangunanisme, sebagai perangkat kebijakan Negara serta melindungi segala lingkup prosesi integralistik, dalam pasal 7 dan 13 menyebutkan tentang struktur organisasi terpusat, yang di perkuat dengan TAP MPR RI no. IV tahun 2000, serta juga fulgar menyebutkan tentang tugas kepolisian merupakan watak instrument kekuasaan dan militer, secara umum UU ini cacat maka tentu saja perlulah sentuhan amandemen dalam mewujudkan POLRI sebagai institusi sebagai bagian penting dari perangkat penegakan hukum dan perlindungan kemanusiaan setelah dalam prakteknya terjadi hegemoni, seperti disebutkan dalam BAB IV tentang pembinaan dan kode etik yang tidak menjadi bagian dari keharusan kode etik sebagai pejabat penegak hukum, belum lagi ‘hal-hal spesial’ yang termaktub dalam KUHAP serta system peradilan pidana khususnya yang dilakukan oleh polisi dan militer jelas masih membutuhkan proses jangka panjang dalam perubahan sistematik kerangka fungsinya, artinya keputusan pemandirian kepolisian memang masih belum didukung oleh perangkat hukum yang cukup, akibat langkah yang ‘setengah hati’ dari pemerintah/DPR/MPR melalui beberapa produknya (UU). Adalah tanggung jawab substansial pemerintah dalam memberikan batasan kerja yang jelas agar POLRI secara indiependent dapat langsung mempertanggung jawabkan tugasnya khususnya terhadap public, seperti yang terjadi diinggris oleh jhon Wilson, (chief superintendent England police) mengenai pemandirian polisi dengan pelurusan militer, seiring itu juga, pertanyaan yang mencuat apakah tugas POLRI sebenarnya? Apakah mempertahankan kedaulatan Negara dengan penegakan hukum? Hukum seperti apa? Tentu saja pertanyaan ini sekaligus menjadi PR berat POLRI dalam membenahi diri secara kultus melalui structural yang punya wilayah otorisasi kemandirian. Perubahan resensi kinerja tersebut bisa merujuk pada berbagai ketentuan yang sifatnya universal, misalnya dalam ketentuan kovenan hak sipil ( ICCPR ) jo, code of concuct for law enforcement officials (kode etik para pejabat penegak hukum) yang berbunyi : “para petugas penegak hukum harus senantiasa memenuhi tugas yang dibebankan kepada mereka oleh hukum, dengan melayani masyarakat dan dengan melindungi semua orang terhadap tindakan-tindakan yang tidak sah, sesuai dengan tingkat tanggung jawab tinggi yang diwajibkan oleh profesi mereka serta para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dari semua dari semua orang”.
Berbagai pendekatan faktualis seharusnya membuat POLRI lebih dewasa dalam memposisikan dirinya, secara kualitas dan kuantitas urgensinya, patut digodok dengan konvensi jenewa, sekiranya estimasi Bowran tidak berlebihan, di eropa timur, repoblik ceko, dengan penduduk lima juta, pada waktu empat tahun untuk mensipilkan polisi, maka Indonesia setidaknya membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk proses police civilinizatione, secara harfiah proses sipil adalah evolusi kepolisian yang tidak memberikan kesenjangan antara masyarakat sipil dan pejabat penegak hukum, dari sinilah perlu dipikirkan upaya mensterilkan berbagai intervensi terhadap kerja-kerja kepolisian, lantas bukan bererti kemandirian polisi lalu tidak bisa diberlakukan tindakan hukum yang tegas bagi mereka, justru sebaliknya kepolisian harus menunjukan bagaimana hakikat dari hukum itu sendiri dengan memperlihatkan keadilan se-adil-adilnya, se-bersih-bersihnya, menghilangkan sisi ‘ego dalam setiap tindakan represifitasnya disamping melayani masyarakat, juga mengayomi, seorang polisi diambil “sumpahnya” bukan untuk menjadi ‘makelar kasus’ yang kini tengah mewarnai Indonesia, lalu kemudian mengerucut lagi oleh opini sebagian besar masyarakat menilai kinerja POLRI berada jauh dalam lingkar optimal, menyebabkan semakin terpuruknya wibawa kepolisian, hal-hal yang harus digaris bawahi adalah tidak terintegritasnya pelayanan polisi pada mayarakat, masalah kemandirian polisi, KKN, rendahnya kinerja pelayanan masyarakat, terlalu berlebihan dalam sudut pandang kesejahteraan anggota, evisiensi peningkatan keteladanan kepemimpinan dan anggota yang tidak proporsional. Inilah wajah kepolisian repoblik Indonesia ditengah badai intervensi dan hipokrasi, menjadi tanggung jawab moral seluruh anggota kepolisian untuk membenahi diri, serta pemerintah dalam produk hukumnya wajib memberikan wilayah kerja menuju pemandirian yang professional dan bertanggung jawab langsung terhadap presiden dan juga masryarakat Indonesia, sejauh ini dibelahan dunia manapun proses pemandirian kepolisian sudah di berlakukan, hanya Myanmar dan Indonesia yang menempatkan kepolisian dibawah tentara.
Untuk menjawab problema kini, dan kedepannya, dimana masyarakat Indonesia dilanda krisis kepercayaan terhadap hukum, hukum tidak lagi dilihat sebagai panglima, dengan para punggawanya yang menjunjung tinggi penegakan supremasi, sebuah persembahan tugas mempertahankan kedaulatan Negara, ikut berperan dalam perubahan social (social change) dengan mengedapankan civil scurity, POLRI menjadi salah satu punggawa hukum yang tengah menghadapi tantangan jaman, namun kita juga tidak dapat menuntut upaya perubahan semata-mata pada pihak kepolisian, meskipun ada beberapa soal yang dapat diubah secara otoritas oleh pihak kepolisian sendiri, persoalan paling makro kemudian mengerucut, adalah bagaimana memberikan koreksi masyarakat politik tentang bagaimana polisi diletakkan dalam system bernegara termasuk kebijakan hukum yang sifatnya umum terhadap tindakan-tindakan di luar koridor penegak hukum, yang bertumpu pada otoritas masyarakat sipil, disinilah kemudian menjadi letak dasar paradigma evolusi tentang bagaimana upaya mengoreksi relasinya dengan Negara, serta menempatkan kepolisian dalam relasi tersebut secara substansial perannya sebagai penegak hukum, tentu saja hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama jika tidak ada keseriusan, kebijakan yang progress untuk menyehatkan institusi ini, seperti dalam kajian-kajian munir tentang HAM menempatkan kepolisian masih berada dalam “kursi tuanya” akan sulit keluar dari bayang-bayang TNI, dari segi psikologi jelas terdapat indikasi frustasi didalam tubuh POLRI, sehingga bukan tidak mungkin penyelewengan-penyelewangan dulu, kini, berpotensi juga terjadi di masa yang akan datang. Wawasan masa depan POLRI dalam penegakan hukum, konsepsi kinerja, tidak berlebihan jika dikatakan wajib mendapatkan “pencerahan”, suatu problema dalam tuntutan masa depan kepolisian yang lebih baik, dan harus segera beranjak dari “kursi tuanya”. Mulai dari pembenahan permasalahan krusial seperti perubahan kepangkatan, struktur komando, hubungan-hubungan kelembagaan, pola pembinaan, anggaran serta terlepas dari sifat represif yang terkesan agak berlebihan dan bar-bar, kemudian evolusi secara sistemik dalam penempatannya dengan pendekatan focus orientasi menuju “satuan sipil” sebagai civilian guardian, dimana perubahan ini sendiri akan menuntut dan menuntun kearah perubahan pola, strategi dan penjagaan keamanan, ketertiban akan penegakan hukum, melalui produk kebijakan pemerintah terhadap pemandirian kepolisian, dengan berpijak pada etika professional yang mandiri, dan terfokus dalam bertanggung terhadap sumpah yang diikrarkannya, sehingga kemudian kepolisian bisa steril dari intervensi, jauh dari hipokrasi dan konspirasi politik, Semoga POLRI tidak terlambat membenahi diri sehingga institusi penegak hukum lainnya bisa tersindrom evaluasi diri menuju tatanan dan cita-cita sejati hukum.
Susanto Polamolo, Wakil Kepala Bidang Pengembangan Organisasi
DPC GMNI Yogyakarta (2009-2011)
0 komentar:
Posting Komentar