Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Senin, 04 Oktober 2010

Perekat itu Bernama Pancasila

Oleh : Susanto Polamolo

Sejak di rumuskan hingga kini perjalanan sejarah atas ketahanan pancasila sebagai ideology bangsa Indonesia, memuat berbagai dinamika, berawal dari berhasil ditumpasnya pemberontakan PKI/30 S/65 pada tanggal 1 oktober, maka tiap-tiap tanggal 1 oktober diperingati sebagai refleksi atas perjalanan pancasila yang berhasil dipertahankan dari ancaman perubahan ideology Negara menjadi komunis. Proses pemaknaan pancasila Seperti meninggalkan jejak peristiwa, kesaktian pancasila juga mempunyai tantangan di persimpangan peradaban dewasa ini, seperti misalnya apakah pancasila masih cukup relevan di era modern kini?, masih sakti kah pancasila?, dan berbagai macam pertanyaan kritis lainnya. Artinya Gerak tumbuh refleksi sejarah dengan segala macam bentuk pemaknaan di tiap-tiap tahun ini hanya akan menjadi “budaya tanpa makna” sebagai akibat dari dampak sistemik yang tidak menyiratkan hakikat substansial yang diamanatkan oleh pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. terlepas dari hari-hari besar peringatan pancasila, sesungguhnya Pancasila adalah merupakan “doa sejarah” oleh para the founding fathers, untuk masa depan Indonesia yang lebih baik, di ukir indah diatas pencapaian-pemikiran yang dalam mereka terhadap masa depan negeri ini, termaktub dalam 5 sila, menjadi landasan fundamental perumusan konstitusi Negara, keunikan pancasila layak disebut keajaiban dari kondisi plural, budaya yang berbeda, bahasa yang berbeda beda, adat istiadat serta beragam agama/kepercayaan.

Pancasila adalah perekat atas semua keseragaman diindonesia (pluralistic) sehingga pancasila haruslah di pahami sedalam dalamnya oleh semua elemen bangsa tidak hanya pemerintah namun juga masyarakatnya, lintas generasi, berkelanjutan. pemahaman dan pemaknaan ini haruslah dijalankan secara seimbang, aplikatif, actual dan relevan. Adapun hal-hal yang perlu untuk dipahami bersama adalah, pancasila bukan prinsip dasar kehidupan yang kultus, akan tetapi dipahami sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, secara filosofis berarti prinsip dasar untuk mempersatukan perbedaan (bhineka tunggal ika). Diantara substansi Negara (state) dan masyarakat (civil society), posisi pancasila adalah sebagai kekuatan kedaulatan, sebagai nilai luhur, peringatan hari kesaktian pancasila sebagai momentum mempertanyakan kembali apakah nilai luhur ini telah maksimal dalam bentuk upaya-upaya aplikatif, untuk menjawab hal tersebut sekiranya kita semua paham dan mengerti bahwa pancasila kian terkikis oleh berbagai problema dinamika kebangsaan, terlepas apakah dimasa depan kita masih sanggup mempertahankan pancasila sebagai ideology negara, sekiranya ditiap-tiap hari besar pancasila kita harus memantapkan lagi langkah antisipatif atas setiap rongrongan untuk menyingkirkan pancasila dari konstitusi Indonesia. Di era modern globalisasi ini bangsa Indonesia telah sampai pada suatu masa-masa penting dalam menentukan arah pembangunan dan masa depan bangsa, yang terus dikawal oleh gejolak kritis masyarakat, serta sarat dengan rongrongan disintegritas. Permasalahan yang begitu kompleks, potret ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum, memicu terjadinya konflik social, politik yang tidak seimbang, menyebabkan ekonomi sifatnya tidak konstituen, ditambah konflik sara, dan arogansi yang sifatnya agamis, dari sudut sini kita melihat sesungguhnya bangsa ini tidak dalam keadaan baik baik saja, realitas ini adalah menggambarkan kebingungan kita sehingga menyebabkan kekeliruan dalam menjalankan roda pemerintahan dan bermasyarakat.

Menganalisa perjalanan pancasila dapat kita bagi dua bagian sejarah ( kajian Historisitas pancasila) penting perjalanan bangsa Indonesia, bagian pertama yaitu masa revolusi, bagian ini adalah masa-masa/proses awal dirumuskannya pancasila, proses sosialisasi skala nasional dan internasional, soekarno dan generasinya telah melakukan tugasnya dengan cara-cara yang revolusioner (restorasi Indonesia yang sesungguhnya), terbukti juga pada penumpasan pemberontakan yang dilakukan PKI, dimana telah terjadi sebuah gerakan/keinginan merubah ideology Negara dari pancasila menjadi komunis. Meski secara konstituen telah terjadi beberapa kali amandemen UUD, namun pancasila masih tetap merupakan pegangan teguh kala itu. Setelah tampuk pimpinan Negara diserahkan kepada soeharto, proses sosialisasi pancasila sebagai ideology Negara berubah dari semangat revolusioner menjadi indoktrinisasi yang sifatnya dipaksakan, sebagaimana kita ketahui ini adalah hasil dari produk system pemerintahan otoriter, public dikunci kebebasannya untuk mengkaji pancasila secara kritis terkait kondisi pemerintahan yang berlangsung saat itu, segala bentuk pemikiran-pemikiran kritis dikategorikan sebagai penghianatan terhadap pancasila dan Negara. Hal tersebut tak bisa kita katakan sepenuhnya salah, ditinjau dari perspektif demokrasi dampak sistemik otoriterianisme memang bisa dikategorikan sebagai betuk pelaksanaan ketatanegaraan yang tidak senonoh (hatta), namun inilah pilihan controversial yang dijalani oleh soeharto, yaitu membangun bangsa dengan militerisme (pemanfaatan pancasila untuk pemaksaan kehendak politik), meredam semua bentuk gejolak kritis, membungkam paradigma, dasar-dasar dan kebijakan Negara ditanamkan sebagai harga mutlak, tidak bisa dirubah rubah lagi, apalagi dikritisi, sebagaimana diakui juga oleh marjuki ali dan prof. azyumardi bahwa kondisi pendidikan pancasila pada masa orde baru sifatnya lebih merupakan doktrin, wajib diketahui oleh semua kalangan pelajar dan masyarakat (terkesan dipaksakan pemaknaannya), meskipun pola ini bisa dikategorikan revolusioner namun juga memiliki kelemahan, akibat dampak sistemik mengakibatkan frustasi peradigma dikalangan masyarakat, artinya pancasila digunakan secara politik, tidak dalam konteks kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pancasila.

Dari sudut revolusi terlihat jelas bahwa pemaknaan pancasila secara semangat kemerdekaan (sinergitas nasionalisme) soekarno dan otoriter dengan gaya militerisme ala soeharto dalam pembuktiannya mampu mempertahankan dasar Negara yaitu pancasila hingga ke pintu berikutnya, bagian kedua dari perjalanan ketahanan pancasila sebagai ideology Negara yaitu masa reformasi, sebagai sebuah bagian sejarah, reformasi adalah merupakan puncak dari kemarahan masyarakat Indonesia selama kurang lebih 32 tahun dipimpin oleh rezim orde baru, namun sayangnya dibalik upaya perjuangan ini terdapat muatan-muatan conspirasi, sehingga moral force yang dilakukan tidak sepenuhnya murni untuk sebuah cita-cita luhur perubahan yang sebenar benarnya (value movement). masa reformasi dan hubungannya dengan gerakan mempertahankan pancasila tengah dalam situasi yang rawan, dimana globalisasi membawa arus multidimensional, rongrongan teroris, arah kiri menuju Indonesia baru mungkin ini tepat melukiskan kondisi pasca reformasi saat ini, telah terjadi pergeseran dan penyimpangan tidak hanya dikalangan para pemimpin bangsa ini akan tetapi juga ditengah masyarakat, dimana kita semakin menjadi bangsa yang pemarah, dengan potret para pemudanya yang mengalami krisis jati diri kebangsaan, sebagian dari mereka sedikit sekali yang menyadari tanggung jawab mereka sebagai lokomotif peradaban bangsa, para elite politik yang semakin individualis, secara garis besar, dapat kita deskripsikan bahwa kondisi ini justru menjadi rongrongan sadis terhadap ketahanan pancasila sebagai nilai luhur bangsa Indonesia. Nasionalisme dan internasionalisme tidak lagi menjadi jubah, melainkan produk usang yang tidak perlu untuk disuburkan didalam jiwa sanubari setiap anak bangsa, pendidikan karakter hanya menjadi jargon, semakin compleks dan sangat krusial lah problem kebangsaan yang dibebankan oleh reformasi. Sebagai akibatnya pancasila menjadi korban dari kondisi frustasi tersebut. Dari problema inilah kita perlu melihat dan memposisikan Pancasila adalah sumber dari segala sumber (soekarno), adalah akar dari natione and carakter building, sudah saatnya kita kembali ke sumber dari segala sumber ini. Ketika ancaman dilupakannya pancasila sudah mulai tumbuh subur maka sesungguhnya kita telah menjadi bangsa yang tidak lagi mempunyai budi pekerti, potret masyarakat yang tidak lagi mempunyai jiwa gotong royong, mau dibawa kemana Indonesia jika pancasila sudah mulai dilupakan? Jika gerakan untuk mempertahankan pancasila hanya berupa peringatan di tiap-tiap tahun tanpa ada revitalisasi dalam bentuk rekonsiliasi nasional oleh semua elemen bangsa.

Sejarah adalah akumulasi dari bahasa subyektif dalam kondisi obyektif, revolusi dan reformasi sedikit banyak sudah mengajarkan kita dan terlihat dengan nyata historisitas ketahanan pancasila mengalami hantaman-hantaman serius, jika revolusi mengajarkan kita untuk mempertahankan pancasila dengan darah dan air mata maka pada masa reformasi ini harus kita isi bukan dengan darah akibat konflik yang disebabkan oleh konspirasi serta kebobrokan moral ataupun bukan juga dengan air mata akibat penderitaan akibat kesenjangan ekonomi dan social, akan tetapi dengan merevitalisasi cita-cita luhur pancasila kedalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan (hukum, politik, social, ekonomi dan agama). Ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang merupakan dialektika dari dampak fluktuasi peradaban modern, harus juga menjadi cambuk kepada kita untuk lebih mempertegas diri membentengi pancasila, dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, memangkas habis ‘culture conspirasi’ yang hanya akan merusak tatanan kehidupan bangsa. Oleh karenanya pancasila adalah milik kita semua, sebagai perekat semua perbedaan kita dalam bingkai bhineka tunggal ika, pancasila adalah dasar Negara yang tak bisa diubah ubah lagi, berdiri tegak diatas bumi garuda, dengan pancasila Indonesia telah direncanakan oleh para the founding father (soekarno) untuk menjadi mercusuar dunia, dengan merevitalisasi, dengan mengobarkan terus semangat pancasila, tertuang dalam setiap derap langkah, dan menjadi landasan untuk kembali ketika dalam proses bernegara kita mengalami kebingungan dan kekacauan.

Dengan demikian mari kita jadikan pancasila sebagai pengingat bahwa kita adalah bangsa yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkesatuan dalam satu ikatan kebangsaan yaitu Indonesia, berkemanusiaan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan serta berkeadilan social bagi kita semua, dari kita dan untuk kita masyarakat Indonesia dengan terus belajar dari kesalahan masa lalu, dan menjadikannya cermin untuk hari ini dan masa depan dengan tidak melakukannya lagi. Untuk Indonesia yang lebih baik dimasa depan.

Susanto Polamolo, Wakil Kepala Bidang Pengembangan Organisasi

DPC GMNI Yogyakarta (2009-2011)


1 komentar:

yardlieeadie mengatakan...

Mens Titanium Braclets - Tinian Arts
A simple way to get started titanium granite countertops with mens titanium stilletto titanium hammer braclets. titanium vs steel Mens Titanium Braclet, titanium touring a titanium core made from plastic material, is made polished titanium with plastic

Posting Komentar

Bookmark and Share