Doc. Senthir/Amir
Hari senin (22/3) kemarin merupakan hari istimewa bagi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonsia (GMNI). Pasalnya, organisasi yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno ini tengah memperingati hari jadinya yang ke 56.
Di Yogyakarta, Dies Natalis diperingati dengan cara berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, Dewan Pimpinan Cabang GMNI Yogyakarta mengemas sedikit meriah dengan menggelar acara di Taman Budaya Yogyakarta.
Acara yang bertajuk “Sepotong Melodi untuk Indonesia” mengundang diantaranya Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan HB X, kawan-kawan pergerakan baik dari GMNI maupun lintas organ. Namun, Sultan yang malam itu diagendakan panitia untuk menyampaikan orasi kebangsaan, berhalangan datang.
Lantunan lagu Indonesia Raya, Mars dan Hymne GMNI oleh paduan suara Margonugroho Voice dan hadirin yang berdiri, dengan tangan kiri terkepal diangkat sedikit lebih tinggi dari daun telinga, menjadikan suasana pembukaan lebih khidmat, menggambarkan pertalian batin yang erat antara bait dengan jiwa hadirin, meski nada-nadanya terdengar asing.
Pembukaan selesai. Master of Ceremony naik ke panggung, membacakan acara selanjutnya. Lantas, mempersilahkan Eros Djarot menuju mimbar untuk orasi budaya. Intonasinya dibikin bersemangat. Namun lebih mirip MC dangdutan, bagi yang gemar nonton orkes atau konser dangdut pasti tidak akan samar.
Djarot pun memulai orasi. Salam merdeka ia sampaikan tidak lebih dari tiga kali. Namun, suaranya lirih, tepatnya dilirihkan, tak ada pekikan. Ia mengambil jeda, menyeringai. Sadar yang dilakukan tidak lumrah bagi kader GMNI. “Ini sengaja saya lakukan, kalau salamnya keras terkesan kita belum merdeka”, katanya diikuti dengan senyum lebar. Tepuk tangan dan gelak tawa para hadirin menyambut, suasana di dalam gedung berubah riuh.
Dalam pidatonya, Djarot mengajak seluruh kader GMNI untuk berefleksi. Ia mengingatkan saat ini kita cenderung terjebak pada istilah symbol oriented. Simbol berkelebat di mana-mana, atribut-atribut banyak bertebaran, namun kehilangan esensi. “Kita mengalami disorientasi, atau bahkan dalam konteks ideologi, kita sama sekali tidak memiliki orientasi”, ungkapnya serius.
Karenanya, Djarot mengajak untuk kembali pada Marhaenisme. Ia juga mengatakan pentingnya merumuskan kembali asas ajaran Bung Karno untuk aktualisasi diri yang lebih konkrit dan demi kemajuan Indonesia. “Saya sangat tidak yakin, tanpa ide dan gagasan, kita bisa merubah keadaan,” paparnya sebelum mengakhiri sambutanya.
Sebelum sampai pada rangkaian acara pentup. Mata hadirin disuguhi aksi teatrikal yang mengesankan dari Teater Biasa, group teater yang di isi oleh kawan-kawan GMNI dan beberapa teman dari ISI jogja. Panggung dihiasi dominasi warna hitam. Bendera merah putih terbentang menutupi sebuah kursi yang diletakan di atas altar di tengah panggung.
Seorang laki-laki muncul dengan tongkat bambu seukuran tinggi badannya, berlari ke sana ke mari. Mulutnya tak berhenti bersuara. “Di mana Pancasila, di mana Nasionalisme, di mana persatuan, di mana Tri Sakti”, begitulah isi teriakanya. Ia berhenti, terdiam. Berdiri dengan tumpuan bambu runcing yang dipegang kuat oleh kedua tanganya. Kakinya nampak lunglai. Mukanya memancarkan kesedihan mendalam. Beberapa titik air keluar dari sudut matanya.
Selang beberapa menit, sekelompok pemuda bertongkat keluar dari tiap sudut panggung, membuat gerakan-gerakan tidak teratur. Ujung bagian bawah tongkatnya sengaja dihantamkan keras-keras ke lantai. Menghasilkan suara hentakan yang saling bersautan. seorang lelaki berperawakan paling besar berteriak sangat keras. Yang lain sibuk mengatur posisi. Tiba-tiba, semua terdiam, berlagak menjadi patung dengan formasi segi empat yang tak sempurna.
Suara biola menyusul dari belakang panggung, mengiringi kehadiran wanita berdandan ke ibu-an. Secarik kertas berisi bait-bait puisi terperangkap tangannya. Sesekali lembaran itu ingin melarikan diri, namun jepitan jari-jari yang lemah terasa sangat kuat baginya.
Dari bagian panggung, di mana cahaya lampu membisu Sang Ibu mulai bersajak. Satu persatu, ia hampiri pemuda yang termangu di hadapannya. Puisi itu adalah nasihat ibu untuk anaknya. Bangkitlah dari keterpurukan, tetaplah berkarya demi bangsa. Barangkali itulah secuil pesan dari Bunda yang selalu bersedih jika anaknya tumbuh tanpa semangat kebangsaan.
Bagi Edi Subroto, salah satu anggota teater biasa, pertunjukan itu sangat bermakna. Menurutnya, aksi teater yang berdurasi tidak kurang dari dua puluh menit itu ingin menjelaskan, betapa para pemuda Indonesia telah kehilangan pijakan berharganya. Sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan. “apa yang terjadi pada para penerus bangsa hari ini adalah tercerminnya sikap dan sifat yang individual. Pancasila, nasionalisme dan persatuan mulai luput dari keseharian, ini sangat ngeri”, paparnya.
Akhirnya, malam peringatan HUT ke 56 organisasi mahasiswa yang memiliki motto Pejuang-Pemikir Pemikir-Pejuang usai dan ditutup dengan salam yang khas;
MERDEKA!
GMNI...! Jaya...!
Marhaen...! Menang...!
[Amir]
0 komentar:
Posting Komentar