Oleh Garda "Garenk" Maharsi
Deklarasi Marhaenisme adalah salah satu usaha untuk memformulasikan ajaran Marhaenisme yang (saat itu) adalah ideologi perjuangan PNI (Partai Nasional Indonesia). Marhaenisme sampai saat inipun masih tetap diperdebatkan tafsirannya.
PNI, sebagai suatu partai yang memakai Marhaenisme sebagai ideologi perjuangannya merasa perlu untuk menyatukan tafsir atas marhaenisme itu sendiri. Dalam salah satu konggresnya (Konggres PNI 1952) dibentuklah apa yang dinamakan "Panitia Azas" untuk merumuskan rumusan Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan. Maka lahirlah "Manifes Marhaenisme" yang merupakan hasil konggres tersebut.
Waktu demi waktu, terjadi banyak apa yang oleh Sukarno disebut sebagai dinamika dan dialektikanya revolusi. Lalu berujung pada tahun 1964 saat konggres PNI dilaksanakan di kota Lembang. Lahirlah "Deklarasi Marhaenisme" atau biasa kita kenal dengan Deklam. Inti dari deklarasi ini adalah mencoba memformulasikan Marhaenisme sebagai "Marxisme yang diterapkan sesuai dengan situasi-kondisi Indonesia". Dimana kaum marhaenis dituntut untuk belajar situasi dan sejarah Indonesia dan Marxisme sebagai metode berpikir dan metode perjuangan (baca : Marhaenisme Bung Karno, Marxisme ala Indonesia. Ign Gatut Saksono). Lalu muncullah pertanyaan, apakah marhaenisme sebagai sebuah ideologi perjuangan "berhenti" pada Marxisme yang notabene adalah ideologi asing? Mari coba kita baca situasi dan kondisi sosial-politik saat ini.
Menurut beberapa sumber yang saya wawancarai, kondisi PNI saat tahun-tahun itu sangat terjepit. Satu sisi, mereka amat menghormati sosok Sukarno, karena dialah ada Marhaenisme. PNI menjadi tidak berkembang, karena amat mengekor pada sosok Sukarno. Setiap movement Sukarno selalu di-iya-kan oleh PNI, karena PNI merasa takut dan bergantung pada Sukarno.
Kenapa PNI terjepit? Karena saat itu Sukarno cenderung lebih memainkan PKI sebagai "balancer" TNI AD, dan bukan PNI. Sukarno melihat PKI sebagai partai yang amat progressif dan revolusioner. Kekuatannya cukup mampu untuk mengimbangi TNI AD.
Dari itulah maka PNI dirasa perlu untuk menunjukkan powernya, salah satunya dengan lahirnya Deklam tersebut. Tafsiran Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai sikon Indonesia adalah upaya untuk menunjukkan bahwa PNI juga bernafas "kiri". Karena pada era-era tersebut, semangat "kekiri-kirian" amat kental. Usaha PNI maupun PKI untuk mencari basis massa salah satunya dengan mengkonstruksi diri bahwa mereka adalah "kiri", mereka itu progressif-revolusioner.
Kemudian muncul lagi usaha menafsirkan marhaenisme dengan "Yudha Pratidina Marhaenisme" atau "Kaum Marhaen berjuang terus". Formulasi ini berusaha menghapus Deklam dan mengembalikan tafsiran marhaenisme sesuai dengan tafsiran PNI-Sukarno 1927 yaitu marhaenisme adalah identik dengan Pancasila. Tafsiran ini juga sarat dengan kepentingan politis. Karena saat itu baru saja terjadi peristiwa 30 September atau "Gestok" yang memilukan.
Pasca-Gestok, semua yang berbau "kiri" disikat habis oleh Suharto. Nyawa PNI-pun diujung tanduk. Jika tetap berpegang pada Deklam, jelas PNI akan mati. Maka lahirlah Yudha Pratidina Marhaenis tersebut, untuk usaha menyelamatkan diri dari serbuan Orde baru. Yudha Pratidina Marhaenis lahir untuk mengkonstruksi bahwa PNI adalah "tengah", bukan lagi penganut Marxisme yang progressif-revolusioner. Marhaenisme adalah identik dengan Pancasila, walaupun kenyataannya Pancasila yang dipakai oleh Orde Ba(r)u adalah Pancasila sakit gigi, bukan Pancasila yang dicita-citakan para founding father kita !
Dari uraian diatas saya mengambil kesimpulan bahwa baik Deklam maupun Yudha Pratidina Marhaenis adalah suatu tesa politik, dan "bukan" tesa ideologis. Saya memang sepakat bahwa tafsir marhaenisme harus mengikuti perkembangan jaman. Hal tersebut memang sudah pasti, mengingat cita-cita Sukarno menjadikan marhaenisme sebagai ideologi dinamis. Tetapi, usaha penyatuan tafsir itu bukanlah usaha pendefinisian ideologi sistematis, tetapi hanyalah usaha pengaitan ideologi dengan situasi politik saat itu.
Untuk itulah kita perlu untuk melahirkan Deklam-deklam baru maupun Yudha Pratidina-pratidina baru untuk senantiasa menjaga korelasi antara ideologi kita dengan situasi dan kondisi sosial-politik sekarang. Jangan hanya terpaku pada justifikasi yang ada bahwa marhaenisme adalah marxisme yang sesuai dengan sikon Indonesia, karena itu hanya membuat kita menjadi manusia yang taqlid, yang cuma ikut-ikutan !
Bung Karno saja tidak pernah mengetok palu rumusan yang paling tepat tentang marhaenisme. Lalu kenapa ada justifikasi-justifikasi semacam itu?
Marilah kita lihat kembali, tengok kembali masa lalu dan melihat realitas masa kini. Semuanya pasti akan berhubungan. Sejarah memang tidak berulang, tetapi pola-pola sejarahlah yang mungkin berulang.
Jas Merah Bung.....
Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah..
Merdekaa !!
Deklarasi Marhaenisme adalah salah satu usaha untuk memformulasikan ajaran Marhaenisme yang (saat itu) adalah ideologi perjuangan PNI (Partai Nasional Indonesia). Marhaenisme sampai saat inipun masih tetap diperdebatkan tafsirannya.
PNI, sebagai suatu partai yang memakai Marhaenisme sebagai ideologi perjuangannya merasa perlu untuk menyatukan tafsir atas marhaenisme itu sendiri. Dalam salah satu konggresnya (Konggres PNI 1952) dibentuklah apa yang dinamakan "Panitia Azas" untuk merumuskan rumusan Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan. Maka lahirlah "Manifes Marhaenisme" yang merupakan hasil konggres tersebut.
Waktu demi waktu, terjadi banyak apa yang oleh Sukarno disebut sebagai dinamika dan dialektikanya revolusi. Lalu berujung pada tahun 1964 saat konggres PNI dilaksanakan di kota Lembang. Lahirlah "Deklarasi Marhaenisme" atau biasa kita kenal dengan Deklam. Inti dari deklarasi ini adalah mencoba memformulasikan Marhaenisme sebagai "Marxisme yang diterapkan sesuai dengan situasi-kondisi Indonesia". Dimana kaum marhaenis dituntut untuk belajar situasi dan sejarah Indonesia dan Marxisme sebagai metode berpikir dan metode perjuangan (baca : Marhaenisme Bung Karno, Marxisme ala Indonesia. Ign Gatut Saksono). Lalu muncullah pertanyaan, apakah marhaenisme sebagai sebuah ideologi perjuangan "berhenti" pada Marxisme yang notabene adalah ideologi asing? Mari coba kita baca situasi dan kondisi sosial-politik saat ini.
Menurut beberapa sumber yang saya wawancarai, kondisi PNI saat tahun-tahun itu sangat terjepit. Satu sisi, mereka amat menghormati sosok Sukarno, karena dialah ada Marhaenisme. PNI menjadi tidak berkembang, karena amat mengekor pada sosok Sukarno. Setiap movement Sukarno selalu di-iya-kan oleh PNI, karena PNI merasa takut dan bergantung pada Sukarno.
Kenapa PNI terjepit? Karena saat itu Sukarno cenderung lebih memainkan PKI sebagai "balancer" TNI AD, dan bukan PNI. Sukarno melihat PKI sebagai partai yang amat progressif dan revolusioner. Kekuatannya cukup mampu untuk mengimbangi TNI AD.
Dari itulah maka PNI dirasa perlu untuk menunjukkan powernya, salah satunya dengan lahirnya Deklam tersebut. Tafsiran Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan sesuai sikon Indonesia adalah upaya untuk menunjukkan bahwa PNI juga bernafas "kiri". Karena pada era-era tersebut, semangat "kekiri-kirian" amat kental. Usaha PNI maupun PKI untuk mencari basis massa salah satunya dengan mengkonstruksi diri bahwa mereka adalah "kiri", mereka itu progressif-revolusioner.
Kemudian muncul lagi usaha menafsirkan marhaenisme dengan "Yudha Pratidina Marhaenisme" atau "Kaum Marhaen berjuang terus". Formulasi ini berusaha menghapus Deklam dan mengembalikan tafsiran marhaenisme sesuai dengan tafsiran PNI-Sukarno 1927 yaitu marhaenisme adalah identik dengan Pancasila. Tafsiran ini juga sarat dengan kepentingan politis. Karena saat itu baru saja terjadi peristiwa 30 September atau "Gestok" yang memilukan.
Pasca-Gestok, semua yang berbau "kiri" disikat habis oleh Suharto. Nyawa PNI-pun diujung tanduk. Jika tetap berpegang pada Deklam, jelas PNI akan mati. Maka lahirlah Yudha Pratidina Marhaenis tersebut, untuk usaha menyelamatkan diri dari serbuan Orde baru. Yudha Pratidina Marhaenis lahir untuk mengkonstruksi bahwa PNI adalah "tengah", bukan lagi penganut Marxisme yang progressif-revolusioner. Marhaenisme adalah identik dengan Pancasila, walaupun kenyataannya Pancasila yang dipakai oleh Orde Ba(r)u adalah Pancasila sakit gigi, bukan Pancasila yang dicita-citakan para founding father kita !
Dari uraian diatas saya mengambil kesimpulan bahwa baik Deklam maupun Yudha Pratidina Marhaenis adalah suatu tesa politik, dan "bukan" tesa ideologis. Saya memang sepakat bahwa tafsir marhaenisme harus mengikuti perkembangan jaman. Hal tersebut memang sudah pasti, mengingat cita-cita Sukarno menjadikan marhaenisme sebagai ideologi dinamis. Tetapi, usaha penyatuan tafsir itu bukanlah usaha pendefinisian ideologi sistematis, tetapi hanyalah usaha pengaitan ideologi dengan situasi politik saat itu.
Untuk itulah kita perlu untuk melahirkan Deklam-deklam baru maupun Yudha Pratidina-pratidina baru untuk senantiasa menjaga korelasi antara ideologi kita dengan situasi dan kondisi sosial-politik sekarang. Jangan hanya terpaku pada justifikasi yang ada bahwa marhaenisme adalah marxisme yang sesuai dengan sikon Indonesia, karena itu hanya membuat kita menjadi manusia yang taqlid, yang cuma ikut-ikutan !
Bung Karno saja tidak pernah mengetok palu rumusan yang paling tepat tentang marhaenisme. Lalu kenapa ada justifikasi-justifikasi semacam itu?
Marilah kita lihat kembali, tengok kembali masa lalu dan melihat realitas masa kini. Semuanya pasti akan berhubungan. Sejarah memang tidak berulang, tetapi pola-pola sejarahlah yang mungkin berulang.
Jas Merah Bung.....
Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah..
Merdekaa !!
Garda "Garenk" Maharsi
Aktivis GMNI Komisariat Filsafat UGM
Aktivis GMNI Komisariat Filsafat UGM
1 komentar:
Salam Merdeka Bung.
Apakah filosofis Marhaen adalah bagian dari ideologi yang tumbuh dalam sendi bernafaskan budaya bangsa ?
Posting Komentar