Oleh: Abdul Gaffar
(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Perkembangan Free Trade Agreement (FTA) dimulai dari gejala tersendatnya perjanjian perdagangan multilateral (agenda pembangunan Doha) di WTO yang membuat negara-negara di dunia mencari format struktur perdagangan dunia pendukung yang bisa dilaksanakan sambil menunggu penyelesaian perundingan putaran agenda pembangunan Doha di WTO.
Sehingga perluasan tempat produksi, pemenuhan kebutuhan dasar, pergerakan manusia, dan perluasan pasar menjadi hal yang dilakukan oleh Negara-negara maju. Situasi ini hanya akan mendorong negara- negara maju membuat kerja sama ekonomi secara khusus dengan nama FTA, serta meningkatkan interdependensi dan dorongan dari proses globalisasi karena bergeraknya arus modal dan barang secara transnasional membuat negara-negara di dunia, termasuk di Asia Tenggara.
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People's Republic of China (AC FTA) telah ditandatangani pada 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja oleh para kepala negara ASEAN dan Cina. Implementasinya, Free Trade Agreement ASEAN-China yang telah beroprasi sejak tanggal 1 Januari 2010.
ASEAN dan China menyetujui pelaksanaan CAFTA dalam dua tahap. Tahap pertama mulai tahun 2010 untuk lima negara pendiri ASEAN, yakni Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina. Tahap kedua mulai tahun 2012 untuk lima negara ASEAN lainnya yaitu Brunei Darusalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar.
Dalam hal ini, sikap pemerintah tetap besikeras dan optimis pada pendirian memaksakan ACFTA untuk dilaksanakan di Indonesia dengan segala konsekuensi yang akan terjadi. Mengingat, beberapa kalangan menilai sejauh ini Indonesia masih belum siap menghadapi FTA Indonesia-China.
Seperti sikap pesimisme yang dilontarkan Benny Soetrisno, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengkhawatirkan terjadinya peralihan pelaku industri tekstil menjadi pedagang, bila mereka merasakan harga beli barang impor lebih murah daripada memproduksi sendiri. Bila peralihan itu terjadi, maka produsen penyuplai bahan baku akan mati. Akibatnya lapangan pekerjaan berkurang dan terjadi PHK atas nama efisiensi.
Konsekuensi logisnya, setiap negara yang telah menandatangani perjanjian tersebut harus membuka lebar pintu impor dengan memangkas bahkan menghapus tarif bea masuk (BM). Maka, setiap negara akan dibanjiri produk asing yang harganya kompetitif dan berkualitas. Mengarah pada kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Anwar Suprijadi di Departemen Keuangan, bahwa Indonesia akan kehilangan sekitar Rp 15 triliun dari penerimaan bea masuk rata-rata per Tahun.
Kekhawatiran terhadap pelaksanaan AC FTA ini juga sempat dilontarkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono. Ia berharap pemberlakuan AC FTA di Indonesia dapat ditunda dan dilakukan secara bertahap, karena bisa mengancam perdagangan domestik. Maka, barang-barang Cina semakin merajalela dan membanjiri pasar lokal. Akibatnya, perusahaan manufaktur, tekstil dan produk tekstil terancam bangkrut karena kalah dalam kompetisi pasar. Karena, harga produk Cina sangat murah dan berkualitas.
Hemat penulis, kita harus melihat FTA Indonesia-China sebagai satu-satunya peluang, bukan melulu dinilai sebagai ancaman. Sangat menyedihkan serta memprihatinkan jika Indonesia yang sejak 1970-an sudah mendahului Tiongkok membangun kekuatan basis ekonomi nasional, sekarang malah masih saja kurang percaya diri.
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi pergolakan internal yang menggerogoti rasa percaya diri karena kultur elite yang tidak kesatria untuk mengakui keunggulan lawan politik sebagai negarawan. Sudah saatnya kita merumuskan kembali kebijakan industri nasional, sebagai bagian dari politik dan ideologi bangsa serta politik ekonomi yang kita anut, dan bukan hanya merupakan rumusan-rumusan birokratis dan daftar keinginan dari sebuah departemen. Saatnya kita menghidupkan kembali semangat Indonesia Incorporated.
Oleh karena itu, pemerintah bersama dunia usaha hendaknya segera memerkuat fondasi ekonomi dan daya saing industri dalam negeri untuk menghadapi era perdagangan bebas ini. Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang.
Ada beberapa langkah yang harus mendapat perhatian serius dan mampu diaplikasikan dengan baik. Pertama, segera mereformasi lembaga-lembaga pemerintahan untuk memerbaiki pelayanan publik dan menghilangkan pungutan liar sebagai antisipasi dari ekonomi biaya tinggi.
Kedua, segera memperbaiki infrastruktur. Seperti jalan, irigasi, pelabuhan, listrik, komunikasi dan lainnya yang semestinya sudah menjadi kewajiban karena merupakan bagian dari program Kabinet Indonesia Bersatu II. Maka, saatnyalah mampu membuktikan kepada masyarakat.
Ketiga, menumbuhkembangkan sektor riil dengan memberikan berbagai insentif dan kemudahan, khususnya dalam pendanaan. Sehingga dana-dana yang menganggur di perbankan bisa digunakan untuk menggerakkan sektor riil ini. Pemerintah dituntut untuk membaca peluang dan peka akan semua kebutuhan baik menyangkut kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
Keempat, keharusan dalam mengampanyekan kecintaan pada produk dalam negeri di semua kalangan. Terutaman, pasar domestik bisa optimal menyerap produk lokal, industri Tanah Air akan sangat terbantu.
Beberapa langkah-langkah tersebut merupakan bentuk antisipatif dalam memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Perkembangan Free Trade Agreement (FTA) dimulai dari gejala tersendatnya perjanjian perdagangan multilateral (agenda pembangunan Doha) di WTO yang membuat negara-negara di dunia mencari format struktur perdagangan dunia pendukung yang bisa dilaksanakan sambil menunggu penyelesaian perundingan putaran agenda pembangunan Doha di WTO.
Sehingga perluasan tempat produksi, pemenuhan kebutuhan dasar, pergerakan manusia, dan perluasan pasar menjadi hal yang dilakukan oleh Negara-negara maju. Situasi ini hanya akan mendorong negara- negara maju membuat kerja sama ekonomi secara khusus dengan nama FTA, serta meningkatkan interdependensi dan dorongan dari proses globalisasi karena bergeraknya arus modal dan barang secara transnasional membuat negara-negara di dunia, termasuk di Asia Tenggara.
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People's Republic of China (AC FTA) telah ditandatangani pada 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja oleh para kepala negara ASEAN dan Cina. Implementasinya, Free Trade Agreement ASEAN-China yang telah beroprasi sejak tanggal 1 Januari 2010.
ASEAN dan China menyetujui pelaksanaan CAFTA dalam dua tahap. Tahap pertama mulai tahun 2010 untuk lima negara pendiri ASEAN, yakni Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina. Tahap kedua mulai tahun 2012 untuk lima negara ASEAN lainnya yaitu Brunei Darusalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar.
Dalam hal ini, sikap pemerintah tetap besikeras dan optimis pada pendirian memaksakan ACFTA untuk dilaksanakan di Indonesia dengan segala konsekuensi yang akan terjadi. Mengingat, beberapa kalangan menilai sejauh ini Indonesia masih belum siap menghadapi FTA Indonesia-China.
Seperti sikap pesimisme yang dilontarkan Benny Soetrisno, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengkhawatirkan terjadinya peralihan pelaku industri tekstil menjadi pedagang, bila mereka merasakan harga beli barang impor lebih murah daripada memproduksi sendiri. Bila peralihan itu terjadi, maka produsen penyuplai bahan baku akan mati. Akibatnya lapangan pekerjaan berkurang dan terjadi PHK atas nama efisiensi.
Konsekuensi logisnya, setiap negara yang telah menandatangani perjanjian tersebut harus membuka lebar pintu impor dengan memangkas bahkan menghapus tarif bea masuk (BM). Maka, setiap negara akan dibanjiri produk asing yang harganya kompetitif dan berkualitas. Mengarah pada kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Anwar Suprijadi di Departemen Keuangan, bahwa Indonesia akan kehilangan sekitar Rp 15 triliun dari penerimaan bea masuk rata-rata per Tahun.
Kekhawatiran terhadap pelaksanaan AC FTA ini juga sempat dilontarkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono. Ia berharap pemberlakuan AC FTA di Indonesia dapat ditunda dan dilakukan secara bertahap, karena bisa mengancam perdagangan domestik. Maka, barang-barang Cina semakin merajalela dan membanjiri pasar lokal. Akibatnya, perusahaan manufaktur, tekstil dan produk tekstil terancam bangkrut karena kalah dalam kompetisi pasar. Karena, harga produk Cina sangat murah dan berkualitas.
Hemat penulis, kita harus melihat FTA Indonesia-China sebagai satu-satunya peluang, bukan melulu dinilai sebagai ancaman. Sangat menyedihkan serta memprihatinkan jika Indonesia yang sejak 1970-an sudah mendahului Tiongkok membangun kekuatan basis ekonomi nasional, sekarang malah masih saja kurang percaya diri.
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi pergolakan internal yang menggerogoti rasa percaya diri karena kultur elite yang tidak kesatria untuk mengakui keunggulan lawan politik sebagai negarawan. Sudah saatnya kita merumuskan kembali kebijakan industri nasional, sebagai bagian dari politik dan ideologi bangsa serta politik ekonomi yang kita anut, dan bukan hanya merupakan rumusan-rumusan birokratis dan daftar keinginan dari sebuah departemen. Saatnya kita menghidupkan kembali semangat Indonesia Incorporated.
Oleh karena itu, pemerintah bersama dunia usaha hendaknya segera memerkuat fondasi ekonomi dan daya saing industri dalam negeri untuk menghadapi era perdagangan bebas ini. Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang.
Ada beberapa langkah yang harus mendapat perhatian serius dan mampu diaplikasikan dengan baik. Pertama, segera mereformasi lembaga-lembaga pemerintahan untuk memerbaiki pelayanan publik dan menghilangkan pungutan liar sebagai antisipasi dari ekonomi biaya tinggi.
Kedua, segera memperbaiki infrastruktur. Seperti jalan, irigasi, pelabuhan, listrik, komunikasi dan lainnya yang semestinya sudah menjadi kewajiban karena merupakan bagian dari program Kabinet Indonesia Bersatu II. Maka, saatnyalah mampu membuktikan kepada masyarakat.
Ketiga, menumbuhkembangkan sektor riil dengan memberikan berbagai insentif dan kemudahan, khususnya dalam pendanaan. Sehingga dana-dana yang menganggur di perbankan bisa digunakan untuk menggerakkan sektor riil ini. Pemerintah dituntut untuk membaca peluang dan peka akan semua kebutuhan baik menyangkut kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
Keempat, keharusan dalam mengampanyekan kecintaan pada produk dalam negeri di semua kalangan. Terutaman, pasar domestik bisa optimal menyerap produk lokal, industri Tanah Air akan sangat terbantu.
Beberapa langkah-langkah tersebut merupakan bentuk antisipatif dalam memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
Abdul Gaffar
Kolumnis di beberapa media Nasional maupun Lokal dan Aktivis pada Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB), tinggal di Yogyakarta
Kolumnis di beberapa media Nasional maupun Lokal dan Aktivis pada Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB), tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar