Oleh: Muhammad Ali Fakih AR*
(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Kini, sejumlah pakar linguistik dunia sedang mengalami goncangan berat akan perkembangan keberbahasaan masyarakat dunia yang cenderung mengalami krisis eksistensi besar-besaran. Setengah dari sekitar 7.000 jenis bahasa dunia yang sudah ada diperkirakan hilang sebelum akhir abad ini. Penelitian yang dilaporkan oleh National Geographic pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat 5 kawasan di dunia yang mengalami kehilangan bahasa begitu besar, yakni Sebiria Timur, Australia Utara, Amerika Selatan bagian tengah, Amerika Serikat bagian Oklahoma dan daerah Laut Pasifik Barat.
Ini merupakan berita buruk bagi seluruh masyarakat di belahan dunia yang lain, termasuk kita di Indonesia . Kemajuan yang diperoleh melalui suatu proses panjang demi kemaslahatan hidup orang banyak, ternyata harus dibayar dengan kekayaan yang sudah ada. Tidak hanya khazanah flora dan fauna saja, kekayaan identitas semacam bahasa termasuk salah satu yang harus menjadi korban pula. Ironisnya, hal ini terjadi dengan sangat cepat sekali, seperti akselerasi revolusi yang menyentak kesadaran diri.
Bagaimanapun juga, proses ke arah kehancuran bahasa sudah ada di depan mata. Tak lama lagi, bisa jadi kita sudah berhadapan dengan kuantitas bahasa yang hanya dapat dihitung dengan jari saja. Namun demikianlah, meskipun kita tidak menghendakinya, kita tak dapat berbuat lebih banyak, karena memang hal inilah yang dikehendaki oleh perkembangan zaman yang kita bangun. Kita cenderung berpretensi bahwa kemajuan harus ada di tangan, dan karena itu pula, kehancuran harus pula diterima apa adanya.
Mungkin sudah terlalu jenuh untuk selalu “mengkambing-hitamkan” daya hancur globalisasi yang senantiasa memangkas kekayaan khazanah-khazanah kita. Terlalu menyedihkan untuk selalu menyalahkan diri sendiri yang selalu merasa belum siap menghadapi suatu kerangka globalisasi yang menakutkan itu. Tapi ini telah menjadi semacam takdir yang tidak boleh tidak harus kita jalani dan harus kita hadapi. Oleh karenanya, sesuatu yang penting untuk kita renungkah ialah bahwa bukan bagaimana seharusnya eksistensi kita di tengah dentuman globalisasi yang mematikan? Tetapi lebih pada seperti apa langkah utama yang mesti kita jalani untuk berdamai dengan globalisasi?
Menjawab pertanyaan ini, tentu setiap kita menginginkan suatu langkah yang sekiranya kelak menjamin seluruh khazanah masa lalu dan kemajuan yang telah dicapai bersandingan tanpa harus ada yang ternafikan. Namun, bisakah hal ini terjadi dan mampukah kita mengupayakannya? Setiap orang barangkali percaya, bahwa tak ada yang tak mungkin terjadi di dunia ini.
Menurut para ahli strategi, sebelum kita melakukan rencana untuk mengatasi masalah, kita harus tahu dulu akar masalahnya. Lalu, apa akar masalah dari munculnya krisis eksistensi bahasa? Bagi penulis sendiri ialah karena kelirunya paradigma keberbahasaan kita. Kekeliruan ini disebabkan oleh bias dari nasionalisme dan kosmopolitanisme yang dianut oleh sebagian besar kalangan masyarakat dunia.
Nasionalisme mensyaratkan penyatuan segala unsur kebangsaan, termasuk pula unsur kebahasaan. Kosmopolitanisme, demikian juga. Keduanya menyimpan sebuah ambisi besar merangkum segala pluralitas yang ada, mencoba untuk “menyamakan” basis dasar kemanusiaan demi suatu cita-cita inklusivitas dan egalalitarianisme antar entitas satu dengan entitas lainnya. Bagai kotak-kotak kecil yang awalnya berserakan, dengan banyak hal perbedaan antara satu dan lainnya, nasionalisme dan kosmopolitanisme mengupayakan penyeragaman dan penyatuan antara kotak-kotak kecil itu agar menjadi satu kotak besar atau superkotak besar.
Demi sebuah penyatuan dan penyeragaman, kadang yang seharusnya berbeda mesti dilenyapkan, supaya tidak menghambat berjalannya satu proses yang diharapkan. Dan ini yang terjadi pada bahasa daerah kita di seluruh Indonesia . Kini, sebagian dari bahasa daerah banyak yang non-aktif atau bahkan mati, karena masyarakat penggunanya sudah “teracuni” oleh suatu “keharusan” penggunaan terhadap bahasa Indonesia.
Motif yang muncul menjadi penyebab kehancuran bahasa daerah sebenarnya bemacam-macam. Salah satu contohnya, misalnya, masyarakat daerah mempunyai kecenderungan menganggap “buruk” bahasa daerahnya sendiri kenimbang bahasa Indonesia . Ia lebih suka memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari, meski dengan masyarakat sukunya sendiri. Sehingga karenanya, waktu demi waktu, bahasa daerah itu tergerus sedikit demi sedikit, dan akhirnya lenyap dari permukaan.
Motif semacam ini tumbuh di tengah-tengah masyarkat terutama sekali karena rasukan-rasukan konstruktivisme gaya hidup modern yang diterima mentah-mentah tanpa mesti mempertimbangkannya terlebih dulu. Apa yang terjadi pada eksistensi bahasa daerah kini, kelak dapat juga terjadi bahasa nasional ( Indonesia ) kita, tentu karena konstruktivisme gaya hidup global.
Ulasan di atas bukan dalam rangka mengajak masyarakat untuk mendiskreditkan bahasa Indonesia . Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan patut kita jaga kelestariannya. Bahasa Indonesia merupakan salah satu unsur yang membuat kita merasa satu bangsa dan satu tumpah darah. Jika bahasa Indonesia tidak ada, maka kita juga tidak ada. Oleh karenanya, eksistensi bahasa Indonesia menjadi tanggung jawab besar kita bersama.
Namun, harus demikian pula dengan bahasa daerah kita masing-masing. Kita patut menjauhkannya dari titik kemusnahan, atau bila perlu mengembangkannya. Sebab, dengan bahasa itu kita menjadi mengenal budaya, pola dan sistem keseharian masyarakat dimana kita lahir dan tumbuh. Tanpa bahasa itu, kita barangkali tidak akan pernah punya satu karakteristik kebudayaan etnis. Karena setiap karakteristik budaya, selalu tidak bisa dipisahkan dari suatu ciri khas bahasa.
Rasa kepemilikan yang besar barangkali merupakan salah satu perangkat utama agar dua modal bahasa kita ini tetap eksis sebagaimana adanya. Namun rasa kepemilikan ini harus dibarengi dengan proporsionalitas sikap dan tindakan. Nasionalisme menjadi penting hanya bila segala sesuatunya menyangkut kepentingan bangsa. Sementara bila kepentingan menunjuk pada hal instrinsik kedaerahan, memeperkokoh nilai-nilai dasar kedaerahan lebih utama di kedepankan.
Mengenai penggunaan bahasa, bahasa Indonesia hanya menjadi perlu digunakan di dalam simposium formal atau kontak dengan entitas masyarakat daerah lain. Sementara untuk bahasa sehari-hari dengan masyarakat daerah kita sendiri, bahasa daerah kita masing-masing adalah mutlak digunakan.***
(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Kini, sejumlah pakar linguistik dunia sedang mengalami goncangan berat akan perkembangan keberbahasaan masyarakat dunia yang cenderung mengalami krisis eksistensi besar-besaran. Setengah dari sekitar 7.000 jenis bahasa dunia yang sudah ada diperkirakan hilang sebelum akhir abad ini. Penelitian yang dilaporkan oleh National Geographic pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat 5 kawasan di dunia yang mengalami kehilangan bahasa begitu besar, yakni Sebiria Timur, Australia Utara, Amerika Selatan bagian tengah, Amerika Serikat bagian Oklahoma dan daerah Laut Pasifik Barat.
Ini merupakan berita buruk bagi seluruh masyarakat di belahan dunia yang lain, termasuk kita di Indonesia . Kemajuan yang diperoleh melalui suatu proses panjang demi kemaslahatan hidup orang banyak, ternyata harus dibayar dengan kekayaan yang sudah ada. Tidak hanya khazanah flora dan fauna saja, kekayaan identitas semacam bahasa termasuk salah satu yang harus menjadi korban pula. Ironisnya, hal ini terjadi dengan sangat cepat sekali, seperti akselerasi revolusi yang menyentak kesadaran diri.
Bagaimanapun juga, proses ke arah kehancuran bahasa sudah ada di depan mata. Tak lama lagi, bisa jadi kita sudah berhadapan dengan kuantitas bahasa yang hanya dapat dihitung dengan jari saja. Namun demikianlah, meskipun kita tidak menghendakinya, kita tak dapat berbuat lebih banyak, karena memang hal inilah yang dikehendaki oleh perkembangan zaman yang kita bangun. Kita cenderung berpretensi bahwa kemajuan harus ada di tangan, dan karena itu pula, kehancuran harus pula diterima apa adanya.
Mungkin sudah terlalu jenuh untuk selalu “mengkambing-hitamkan” daya hancur globalisasi yang senantiasa memangkas kekayaan khazanah-khazanah kita. Terlalu menyedihkan untuk selalu menyalahkan diri sendiri yang selalu merasa belum siap menghadapi suatu kerangka globalisasi yang menakutkan itu. Tapi ini telah menjadi semacam takdir yang tidak boleh tidak harus kita jalani dan harus kita hadapi. Oleh karenanya, sesuatu yang penting untuk kita renungkah ialah bahwa bukan bagaimana seharusnya eksistensi kita di tengah dentuman globalisasi yang mematikan? Tetapi lebih pada seperti apa langkah utama yang mesti kita jalani untuk berdamai dengan globalisasi?
Menjawab pertanyaan ini, tentu setiap kita menginginkan suatu langkah yang sekiranya kelak menjamin seluruh khazanah masa lalu dan kemajuan yang telah dicapai bersandingan tanpa harus ada yang ternafikan. Namun, bisakah hal ini terjadi dan mampukah kita mengupayakannya? Setiap orang barangkali percaya, bahwa tak ada yang tak mungkin terjadi di dunia ini.
Menurut para ahli strategi, sebelum kita melakukan rencana untuk mengatasi masalah, kita harus tahu dulu akar masalahnya. Lalu, apa akar masalah dari munculnya krisis eksistensi bahasa? Bagi penulis sendiri ialah karena kelirunya paradigma keberbahasaan kita. Kekeliruan ini disebabkan oleh bias dari nasionalisme dan kosmopolitanisme yang dianut oleh sebagian besar kalangan masyarakat dunia.
Nasionalisme mensyaratkan penyatuan segala unsur kebangsaan, termasuk pula unsur kebahasaan. Kosmopolitanisme, demikian juga. Keduanya menyimpan sebuah ambisi besar merangkum segala pluralitas yang ada, mencoba untuk “menyamakan” basis dasar kemanusiaan demi suatu cita-cita inklusivitas dan egalalitarianisme antar entitas satu dengan entitas lainnya. Bagai kotak-kotak kecil yang awalnya berserakan, dengan banyak hal perbedaan antara satu dan lainnya, nasionalisme dan kosmopolitanisme mengupayakan penyeragaman dan penyatuan antara kotak-kotak kecil itu agar menjadi satu kotak besar atau superkotak besar.
Demi sebuah penyatuan dan penyeragaman, kadang yang seharusnya berbeda mesti dilenyapkan, supaya tidak menghambat berjalannya satu proses yang diharapkan. Dan ini yang terjadi pada bahasa daerah kita di seluruh Indonesia . Kini, sebagian dari bahasa daerah banyak yang non-aktif atau bahkan mati, karena masyarakat penggunanya sudah “teracuni” oleh suatu “keharusan” penggunaan terhadap bahasa Indonesia.
Motif yang muncul menjadi penyebab kehancuran bahasa daerah sebenarnya bemacam-macam. Salah satu contohnya, misalnya, masyarakat daerah mempunyai kecenderungan menganggap “buruk” bahasa daerahnya sendiri kenimbang bahasa Indonesia . Ia lebih suka memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari, meski dengan masyarakat sukunya sendiri. Sehingga karenanya, waktu demi waktu, bahasa daerah itu tergerus sedikit demi sedikit, dan akhirnya lenyap dari permukaan.
Motif semacam ini tumbuh di tengah-tengah masyarkat terutama sekali karena rasukan-rasukan konstruktivisme gaya hidup modern yang diterima mentah-mentah tanpa mesti mempertimbangkannya terlebih dulu. Apa yang terjadi pada eksistensi bahasa daerah kini, kelak dapat juga terjadi bahasa nasional ( Indonesia ) kita, tentu karena konstruktivisme gaya hidup global.
Ulasan di atas bukan dalam rangka mengajak masyarakat untuk mendiskreditkan bahasa Indonesia . Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan patut kita jaga kelestariannya. Bahasa Indonesia merupakan salah satu unsur yang membuat kita merasa satu bangsa dan satu tumpah darah. Jika bahasa Indonesia tidak ada, maka kita juga tidak ada. Oleh karenanya, eksistensi bahasa Indonesia menjadi tanggung jawab besar kita bersama.
Namun, harus demikian pula dengan bahasa daerah kita masing-masing. Kita patut menjauhkannya dari titik kemusnahan, atau bila perlu mengembangkannya. Sebab, dengan bahasa itu kita menjadi mengenal budaya, pola dan sistem keseharian masyarakat dimana kita lahir dan tumbuh. Tanpa bahasa itu, kita barangkali tidak akan pernah punya satu karakteristik kebudayaan etnis. Karena setiap karakteristik budaya, selalu tidak bisa dipisahkan dari suatu ciri khas bahasa.
Rasa kepemilikan yang besar barangkali merupakan salah satu perangkat utama agar dua modal bahasa kita ini tetap eksis sebagaimana adanya. Namun rasa kepemilikan ini harus dibarengi dengan proporsionalitas sikap dan tindakan. Nasionalisme menjadi penting hanya bila segala sesuatunya menyangkut kepentingan bangsa. Sementara bila kepentingan menunjuk pada hal instrinsik kedaerahan, memeperkokoh nilai-nilai dasar kedaerahan lebih utama di kedepankan.
Mengenai penggunaan bahasa, bahasa Indonesia hanya menjadi perlu digunakan di dalam simposium formal atau kontak dengan entitas masyarakat daerah lain. Sementara untuk bahasa sehari-hari dengan masyarakat daerah kita sendiri, bahasa daerah kita masing-masing adalah mutlak digunakan.***
*Muhammad Ali Fakih AR, esais dan peminat kajian budaya tinggal Yogyakarta .
0 komentar:
Posting Komentar