Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Senin, 26 April 2010

Topeng Penegak Hukum

Oleh: Mohammad Affan

(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)

Beberapa bulan terakhir ini kita disuguhi drama konflik aparat hukum dan pejabat pemerintah yang mengiris-iris rasa keadilan. Mulai dari hukum tiga institusi penegak hukum: KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam kasus dugaan kriminalisasi Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah; dugaan “rekayasa” kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar; hingga kasus Bank Century yang terus menggelinding bak bola panas.

Barangkali nalar kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang aparat hukum melanggar hukum yang mestinya ditegakkan? Bagaimana bisa seorang pejabat publik menjadi ‘penjahat’ publik? Bukankah secara materiil kesejahteraan hidup mereka telah dicukupi negara?

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan selalu hadir sepanjang asumsi kita tentang manusia adalah melulu makhluk rasional. Manusia memiliki potensi yang memungkinkannya melakukan tindakan yang menghasilkan kebaikannya sendiri. Dalam pandangan ini, tidak ada untungnya manusia melakukan kejahatan. Karena itu, setiap manusia rasional pastilah tidak mau ambil risiko dengan berbuat jahat.

Padangan semacam ini menegasikan potensi buruk yang sebenarnya juga inheren dalam diri manusia. Inilah yang disinyalir Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness (1973) sebagai kesalahan berpikir (fallacy) manusia yang membuat orang tidak mengenali pelaku kejahatan. Manusia terlalu yakin bahwa yang sungguh-sungguh jahat pastilah setan. Sementara gambaran setan yang ada adalah sesuatu yang menyeramkan, menakutkan, garang, tidak punya belas kasihan, dan citra negatif lainnya. Jarang sekali kita berpikir bahwa setan juga bisa berpenampilan malaikat.

Nietzsche dalam Beyond Good and Evil (1886) mengatakan manusia adalah makhluk yang kontradiktif dan kompleks. Manusia mampu melakukan kejahatan-kejahatan (evil) justru karena ia juga mampu hidup dalam keutamaan (virtue). Keutamaan akan menjadi tak bermakna seandainya tidak memiliki alternatif yang berlawanan, yakni kejahatan. Menurut Sigmund Freud kecenderungan pada kejahatan adalah disposisi dalam diri manusia yang bersifat orisinal dan instingtual (self-subsisting instinctual).

Pandangan Nietzsche itu mengandaikan adanya oposisi biner antara kebaikan dan kejahatan, yang sama-sama inheren dalam diri manusia. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Alquran bahwa dalam diri manusia ada nafs al-muthmainnah (potensi postitif) yang cenderung pada kebaikan, dan nafs al-‘ammarah (potensi negatif) yang cenderung menjerumuskan manusia pada pembangkangan dan kejahatan. Tarik-menarik antara dua potensi itu akan selalu menjadi bagian dalam diri manusia.

Lalu bagaimana memposisikan dua potensi kemanusiaan itu dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, aparat hukum bertugas menegakkan hukum, melawan kejahatan. Namun, para penegak hukum juga manusia, sama seperti manusia lainnya, yang berpotensi melanggar hukum. Sementara para penegak hukum itu selalu mencari pelaku kejahatan di luar dirinya, tanpa menyadari potensi itu juga bersemayam dalam dirinya.

Di sinilah penting melengkapi paradigma hukum yang melulu bersifat outside-in dengan pendekatan yang bersifat inside-out. Pendekatan kedua ini lebih menekankan pada aspek perubahan mental dan penguatan spiritualitas manusia, bukan pada perubahan sistem. Karena sehebat apapun sistem hukum yang dibangun, selalu saja ditemukan celah-celah yang bisa menerobosnya.

Persoalan penegakan hukum tak akan pernah selesai kalau hanya berkutat pada perubahan sistem hukum. Kerena itu, menegakkan hukum juga harus dimulai dengan mengubah mental aparat penegak hukum, dari mental yang mudah dibujuk rayu, silau dengan iming-iming duniawi, menjadi mental yang kokoh dari segala tipu daya. Aparat hukum juga perlu didorong untuk meningkatkan spiritualitasnya. Dalam hal inilah perlu didesain semacam training dan tes “uji mental” dan “spiritual” bagi penegak hukum.


Mohammad Affan, Kolomnis Senthir

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share