(Wawancara ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Wawancara M. Zamzam Fauzanafi, MA:
“Nasionalisme itu harus kontekstual”
Awal abad 20, nasionalisme merupakan ideologi yang dijadikan semacam alat untuk melawan kolonial sekaligus memperjuangkan kebangsaan kita. Hal ini, dinilai sangat tepat. Sebabnya, sesuai dengan keadaan sosial-politik kita masa itu.
Pasca merdeka, khususnya ketika Soeharto naik tahta presiden, pemaknaan isme itu dikuasai sepenuhnya oleh Negara. Pada saat itu, terkesan makna nasionalisme dikebiri.
Malangnya, di era reformasi seperti sekarang, nasionalisme justru seolah-olah kehilangan pijakannya. Keberadaan masyarakat yang saling curiga satu sama lain, tidak ada lagi perasaan senasib membuat kita kehilangan modal penting nasionalisme. Tak pelak, kenyataan itu membuat kita miris.
Untuk mengetahui lebih jauh masalah nasionalisme kekinian, Amir, Aji, Jantan dari Senthir menemui lulusan University of Manchester di tempat kerjanya, Yayasan Kampung Halaman Jalan Bausasran DN III No. 594 Yogyakarta. Ia memaparkan pandangannya sebagai berikut:
Bagaimana Anda memahami nasionalisme?
Menurut saya nasionalisme itu tidak bisa diterjemahkan secara esensialis. Seperti halnya kebudayaan. Orang bilang bahwa kebudayaan itu seperti sesuatu padahal kebudayaan itu bukan sesuatu, bukan entitas. Nasionalisme itu bukan entitas dan bukan esensi dan tidak mengandung esensi. Tetapi, nasionalisme dapat dipahami dengan melihatnya sebagai semacam teks. Semacam teks atau jalinan. Jadi tidak ada esensinya, ini hanya jalinan dari berbagai hal, ide, perasaan, pola-pola pemikiran diskursif, sejarah. Itu semua, kemudian menjalin satu sama lain membentuk satu konsep yang disebut nasionalisme. Sehingga supaya ini bermakna itu bukan digali tetapi ditempatkan dalam konteks. Kalau ini sebuah teks, nasionalisme itu sebuah teks, bagaimana teks itu bisa bermakna? Hanya jika disandingkan dengan teks yang lain, yang disebut konteks.
Dikonteksualisasikan begitu?
Iya. Jadi, maknanya bukan hadir di dalam nasionalisme itu sendiri karena kita tidak bisa menggali nasionalisme itu. Kemanapun tidak ada ujungnya. Tetapi kalau misalkan disandingkan dengan teks yang lain yang disebut konteks akhirnya munculah makna nasionalisme. Artinya, makna nasionalisme bisa berbeda-beda, berubah-ubah tergantung konteksnya.
Lantas, untuk saat ini?
Kalau nasionalisme dianggap sebagai sebuah teks, kemudian lebih lanjut lagi adalah sebagai alat atau medium bangsa kita untuk menghadapi perubahan dan situasi kontemporer. Pengertian menurut saya, nasionalisme adalah strategi yang bisa kita pakai untuk bisa menghadapi situasi saat ini. Tetapi seefektif apa itu adalah pertanyaan yang lain.
Anda menyebut nasionalisme sebagai jalinan teks, jika ini dihadapkan dengan pandangan bahwa nasionalisme adalah sebuah sikap, bagaimana tanggapan Anda?
Jika dimaknai sebagai sikap secara agak teoritis ini menarik. Awalnya, inikan ada sesuatu yang berjalan secara diskursif atau pemikiran. Menurut saya, nasionalisme lebih banyak berada dalam wilayah itu. Tapi kalau sikap kan tidak masuk dalam wilayah diskursif, sikap adalah masalah individu, masalah tubuh, masalah kecenderungan kita bersikap seperti apa. Nah, nasionalisme bisa menjadi sikap kalau itu memang menyentuh tubuh.
Maksud Anda menyentuh tubuh?
Maksud saya, menyentuh keseharian kita gitu. Tidak hanya berada di wilayah diskursif, melainkan menyentuh kehidupan sehari-hari kita. Antara yang diskursif dan menyentuh tubuh itu harus nyambung. Sehingga nasionalisme bisa diterima dan kemudian menjadi alat atau media bagi orang untuk bertemu, berbincang dan melakukan banyak hal. Yang disebut di ranah tubuh ini memungkinan semua orang yang sama-sama merasakan rasa sakit meng-amin-i nasionalisme. Misalnya rasa sakit karena penjajahan, rasa sakit karena kelaparan.
Barangkali, semacam ada pengalaman?
Iya, pengalaman secara inderawi yang kita rasakan. Itu kan wilayah tubuh. Kemudian yang jadi misteri bagaimana perasaan orang, yang berada di pengalaman individual. Kok bisa nyambung dengan nasionalisme gitu? Ini menurut saya pasti ada mediasinya.
Apa kira-kira mediasinya?
Mediasinya adalah media. Media itukan bermacam-macam. Kita bisa sebut di sini Koran dan peran-peran intelektual, seperti zaman Bung Karno, lewat pidato-pidato, lewat tulisan-tulisan. dari situ, muncul yang disebut nasionalisme kemudian ini menggerakkan orang membela suatu ikatan yang disebut bangsa.
Jika sikap nasionalisme dikaitkan dengan beberapa keajdian di dalam negeri akhir-akhir ini, seperti kasus KPK dan kasus Bank Century, pandangan Anda seperti apa?
Saya kira nasionalisme bisa dipakai untuk mengatakan bahwa supaya kita jadi bangsa yang besar, kita harus memperbaiki diri. Artinya, kalau kita memang orang yang mau mempertahankan bangsa ini perangilah ketidakadilan. Ketidakadilan tidak hanya menyangkut orang di luar tapi apa yang terjadi dihadapan kita. Bahkan kalau itu dilakukan oleh aparat negara. Meski ada tantangan yang tidak kalah seriusnya, di mana nasionalisme harus ditempatkan.
Apa?
Perdagangan bebas. ACFTA baru saja dibuka. Sebenarnya, menteri perdagangan, Maria Pangestu, juga takut. Di berita tadi pagi dia bilang ini sebenarnya bukan keputusan menteri perdagangan, ini keputusan kita semua. Dia juga tahu kalau kita tidak akan bisa bersaing. Ketika itu masuk ke kita tentu saja bisa meruntuhkan sendi-sendi bisnis kita, ekonomi kita. Karena gini, secara sederhana bisa dijelaskan, penduduk indonesia sangat banyak, Negara lain tahu kalau kita itu salah satu konsumen terbesar sehingga mereka memaksakan kebijakan kita untuk membuka pasar kita dan dimasuki barang-barang mereka atau dijadikan manifaktur supaya buruh-buruh kita menjadi murah, mengambil untung dari kemiskinan kita untuk memproduksi barang dan ternyata nanti balik lagi ke kita.
Padahal kalau kita dari dulu orientasinya sudah memproduksi barang sendiri untuk dikonsumsi sendiri itu kita akan kaya raya. Itu akan mengembangkan ekonomi kita. Tapi yang terjadi kita tidak seperti itu. Artinya emang jangan-jangan di era semacam ini mengkonsumsi barang yang kita tahu bahwa itu adalah produksi tetangga sendiri, produksinya UKM kecil, itu wujud dari nasionalisme. Itu juga cara-cara yang kecil tapi efektif. Kalau dulu orang bilang “belilah produk sendiri” sebagai wujud dari nasionalisme. Kadang-kadang itu konyol tapi mungkin juga itu ada gunanya. Menurut saya dasar gerak masyarakat saat ini adalah konsumtif, bukan produksi.
Semacam swadesi ala Gandhi di india, begitu?
Gandhi itu sangat cerdas dalam pengertian bahwa ia tahu kita ini sedang bergerak dari zaman kapitalisme produksi ke kapitalisme konsumsi. Supaya kita tahan dari gempuran itu, apa? Ya produksi sendiri untuk sendiri kan. Tapi ya harus lapar dulu. Itu juga yang dilakukan oleh China. China itu kan, dia tidak mau membuka pasarnya sebelum mereka memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negerinya didukung teknologi yang mereka bisa kuasai. Teknologi tepat guna itu istilah kita. Kalau ini sudah bisa, mereka malah sureplus, lalu buang ke seluruh dunia. Jadi kapitalis tapi di dalamnya dikontrol kan?
Apa perlu Indonesia meniru China? Atau bahkan sudah terlambat?
Kalau mau meniru itu juga tidak akan sama persis, kalau mau belajar menurut saya cenderung pada India bukan pada China. Karena dasarnya hampir sama dengan indonesia. Kalau China berasal dari ketertutupan, kemudian setelah siap dibuka, berbeda dengan India yang sudah terbuka dari dulu. Setahu saya, yang ditakuti Amerika adalah India. Karena India itu negara demokratis, dan sekarang ekonominya berkemban, tentu masih banyak yang miskin karena penduduknya banyak. Ilmu juga banyak yang berkembang, teknologi juga banyak yang berkembang, industri juga mulai merambah ke tempat-tempat lain, kebudayaannya juga berkembang, tapi berbasis demokrasi. Yang sudah diuji coba berkali-kali. Kalau China kan berbasis komunisme. Artinya kalau partainya hancur, semua hancur. Tapi kalau India tidak, mereka sudah berkali-kali hancur, partainya gonta-ganti, ya tetap jalan. Mereka sudah bisa berdemokrasi. Sebenarnya mirip Indonesia kan?
Jika mau belajar pada India kita mulai dari mana?
Dawam Raharjo dalam beberapa tulisannya soal ekonomi politik mengatakan, kenapa Indonesia miskin? Karena produktivitas rendah. Kenapa produktivitas rendah? Karena miskin. Ini ibarat lingkaran setan. Pertanyaan selanjutnya, supaya produktivitas naik bagaimana caranya? Diberilah pendidikan yang baik, teknologi yang tepat guna itu, modal untuk mengembangkan usaha-usaha yang berbasis perekonomian lokal. Itu kan jelas. Tapi solusi yang dipakai Indonesia lucu. Kenapa Indonesia miskin? Karena produktivitas rendah. Solusinya apa? Investasi asing. Lho kan nggak nyambung. Buktinya sampai sekaran juga produktivitas kita tetap rendah. Yang dapat untung cuma investornya.
Harapan Anda perihal nasionalisme di masa yang akan datang seperti apa? Terutama pada generasi muda.
Nasionalisme jangan jadi doktrin lah, tapi dijadikan sebagai alat analisa. Alat. Sekali lagi medium untuk melihat persoalan. Kalau dengan cara seperti itu kita tidak akan terjebak pada pengerdilan nasionalisme. Juga, supaya yang disebut bangsa ini sejahtera. Bangsa ini punya harga diri.
Wawancara M. Zamzam Fauzanafi, MA:
“Nasionalisme itu harus kontekstual”
Awal abad 20, nasionalisme merupakan ideologi yang dijadikan semacam alat untuk melawan kolonial sekaligus memperjuangkan kebangsaan kita. Hal ini, dinilai sangat tepat. Sebabnya, sesuai dengan keadaan sosial-politik kita masa itu.
Pasca merdeka, khususnya ketika Soeharto naik tahta presiden, pemaknaan isme itu dikuasai sepenuhnya oleh Negara. Pada saat itu, terkesan makna nasionalisme dikebiri.
Malangnya, di era reformasi seperti sekarang, nasionalisme justru seolah-olah kehilangan pijakannya. Keberadaan masyarakat yang saling curiga satu sama lain, tidak ada lagi perasaan senasib membuat kita kehilangan modal penting nasionalisme. Tak pelak, kenyataan itu membuat kita miris.
Untuk mengetahui lebih jauh masalah nasionalisme kekinian, Amir, Aji, Jantan dari Senthir menemui lulusan University of Manchester di tempat kerjanya, Yayasan Kampung Halaman Jalan Bausasran DN III No. 594 Yogyakarta. Ia memaparkan pandangannya sebagai berikut:
Bagaimana Anda memahami nasionalisme?
Menurut saya nasionalisme itu tidak bisa diterjemahkan secara esensialis. Seperti halnya kebudayaan. Orang bilang bahwa kebudayaan itu seperti sesuatu padahal kebudayaan itu bukan sesuatu, bukan entitas. Nasionalisme itu bukan entitas dan bukan esensi dan tidak mengandung esensi. Tetapi, nasionalisme dapat dipahami dengan melihatnya sebagai semacam teks. Semacam teks atau jalinan. Jadi tidak ada esensinya, ini hanya jalinan dari berbagai hal, ide, perasaan, pola-pola pemikiran diskursif, sejarah. Itu semua, kemudian menjalin satu sama lain membentuk satu konsep yang disebut nasionalisme. Sehingga supaya ini bermakna itu bukan digali tetapi ditempatkan dalam konteks. Kalau ini sebuah teks, nasionalisme itu sebuah teks, bagaimana teks itu bisa bermakna? Hanya jika disandingkan dengan teks yang lain, yang disebut konteks.
Dikonteksualisasikan begitu?
Iya. Jadi, maknanya bukan hadir di dalam nasionalisme itu sendiri karena kita tidak bisa menggali nasionalisme itu. Kemanapun tidak ada ujungnya. Tetapi kalau misalkan disandingkan dengan teks yang lain yang disebut konteks akhirnya munculah makna nasionalisme. Artinya, makna nasionalisme bisa berbeda-beda, berubah-ubah tergantung konteksnya.
Lantas, untuk saat ini?
Kalau nasionalisme dianggap sebagai sebuah teks, kemudian lebih lanjut lagi adalah sebagai alat atau medium bangsa kita untuk menghadapi perubahan dan situasi kontemporer. Pengertian menurut saya, nasionalisme adalah strategi yang bisa kita pakai untuk bisa menghadapi situasi saat ini. Tetapi seefektif apa itu adalah pertanyaan yang lain.
Anda menyebut nasionalisme sebagai jalinan teks, jika ini dihadapkan dengan pandangan bahwa nasionalisme adalah sebuah sikap, bagaimana tanggapan Anda?
Jika dimaknai sebagai sikap secara agak teoritis ini menarik. Awalnya, inikan ada sesuatu yang berjalan secara diskursif atau pemikiran. Menurut saya, nasionalisme lebih banyak berada dalam wilayah itu. Tapi kalau sikap kan tidak masuk dalam wilayah diskursif, sikap adalah masalah individu, masalah tubuh, masalah kecenderungan kita bersikap seperti apa. Nah, nasionalisme bisa menjadi sikap kalau itu memang menyentuh tubuh.
Maksud Anda menyentuh tubuh?
Maksud saya, menyentuh keseharian kita gitu. Tidak hanya berada di wilayah diskursif, melainkan menyentuh kehidupan sehari-hari kita. Antara yang diskursif dan menyentuh tubuh itu harus nyambung. Sehingga nasionalisme bisa diterima dan kemudian menjadi alat atau media bagi orang untuk bertemu, berbincang dan melakukan banyak hal. Yang disebut di ranah tubuh ini memungkinan semua orang yang sama-sama merasakan rasa sakit meng-amin-i nasionalisme. Misalnya rasa sakit karena penjajahan, rasa sakit karena kelaparan.
Barangkali, semacam ada pengalaman?
Iya, pengalaman secara inderawi yang kita rasakan. Itu kan wilayah tubuh. Kemudian yang jadi misteri bagaimana perasaan orang, yang berada di pengalaman individual. Kok bisa nyambung dengan nasionalisme gitu? Ini menurut saya pasti ada mediasinya.
Apa kira-kira mediasinya?
Mediasinya adalah media. Media itukan bermacam-macam. Kita bisa sebut di sini Koran dan peran-peran intelektual, seperti zaman Bung Karno, lewat pidato-pidato, lewat tulisan-tulisan. dari situ, muncul yang disebut nasionalisme kemudian ini menggerakkan orang membela suatu ikatan yang disebut bangsa.
Jika sikap nasionalisme dikaitkan dengan beberapa keajdian di dalam negeri akhir-akhir ini, seperti kasus KPK dan kasus Bank Century, pandangan Anda seperti apa?
Saya kira nasionalisme bisa dipakai untuk mengatakan bahwa supaya kita jadi bangsa yang besar, kita harus memperbaiki diri. Artinya, kalau kita memang orang yang mau mempertahankan bangsa ini perangilah ketidakadilan. Ketidakadilan tidak hanya menyangkut orang di luar tapi apa yang terjadi dihadapan kita. Bahkan kalau itu dilakukan oleh aparat negara. Meski ada tantangan yang tidak kalah seriusnya, di mana nasionalisme harus ditempatkan.
Apa?
Perdagangan bebas. ACFTA baru saja dibuka. Sebenarnya, menteri perdagangan, Maria Pangestu, juga takut. Di berita tadi pagi dia bilang ini sebenarnya bukan keputusan menteri perdagangan, ini keputusan kita semua. Dia juga tahu kalau kita tidak akan bisa bersaing. Ketika itu masuk ke kita tentu saja bisa meruntuhkan sendi-sendi bisnis kita, ekonomi kita. Karena gini, secara sederhana bisa dijelaskan, penduduk indonesia sangat banyak, Negara lain tahu kalau kita itu salah satu konsumen terbesar sehingga mereka memaksakan kebijakan kita untuk membuka pasar kita dan dimasuki barang-barang mereka atau dijadikan manifaktur supaya buruh-buruh kita menjadi murah, mengambil untung dari kemiskinan kita untuk memproduksi barang dan ternyata nanti balik lagi ke kita.
Padahal kalau kita dari dulu orientasinya sudah memproduksi barang sendiri untuk dikonsumsi sendiri itu kita akan kaya raya. Itu akan mengembangkan ekonomi kita. Tapi yang terjadi kita tidak seperti itu. Artinya emang jangan-jangan di era semacam ini mengkonsumsi barang yang kita tahu bahwa itu adalah produksi tetangga sendiri, produksinya UKM kecil, itu wujud dari nasionalisme. Itu juga cara-cara yang kecil tapi efektif. Kalau dulu orang bilang “belilah produk sendiri” sebagai wujud dari nasionalisme. Kadang-kadang itu konyol tapi mungkin juga itu ada gunanya. Menurut saya dasar gerak masyarakat saat ini adalah konsumtif, bukan produksi.
Semacam swadesi ala Gandhi di india, begitu?
Gandhi itu sangat cerdas dalam pengertian bahwa ia tahu kita ini sedang bergerak dari zaman kapitalisme produksi ke kapitalisme konsumsi. Supaya kita tahan dari gempuran itu, apa? Ya produksi sendiri untuk sendiri kan. Tapi ya harus lapar dulu. Itu juga yang dilakukan oleh China. China itu kan, dia tidak mau membuka pasarnya sebelum mereka memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negerinya didukung teknologi yang mereka bisa kuasai. Teknologi tepat guna itu istilah kita. Kalau ini sudah bisa, mereka malah sureplus, lalu buang ke seluruh dunia. Jadi kapitalis tapi di dalamnya dikontrol kan?
Apa perlu Indonesia meniru China? Atau bahkan sudah terlambat?
Kalau mau meniru itu juga tidak akan sama persis, kalau mau belajar menurut saya cenderung pada India bukan pada China. Karena dasarnya hampir sama dengan indonesia. Kalau China berasal dari ketertutupan, kemudian setelah siap dibuka, berbeda dengan India yang sudah terbuka dari dulu. Setahu saya, yang ditakuti Amerika adalah India. Karena India itu negara demokratis, dan sekarang ekonominya berkemban, tentu masih banyak yang miskin karena penduduknya banyak. Ilmu juga banyak yang berkembang, teknologi juga banyak yang berkembang, industri juga mulai merambah ke tempat-tempat lain, kebudayaannya juga berkembang, tapi berbasis demokrasi. Yang sudah diuji coba berkali-kali. Kalau China kan berbasis komunisme. Artinya kalau partainya hancur, semua hancur. Tapi kalau India tidak, mereka sudah berkali-kali hancur, partainya gonta-ganti, ya tetap jalan. Mereka sudah bisa berdemokrasi. Sebenarnya mirip Indonesia kan?
Jika mau belajar pada India kita mulai dari mana?
Dawam Raharjo dalam beberapa tulisannya soal ekonomi politik mengatakan, kenapa Indonesia miskin? Karena produktivitas rendah. Kenapa produktivitas rendah? Karena miskin. Ini ibarat lingkaran setan. Pertanyaan selanjutnya, supaya produktivitas naik bagaimana caranya? Diberilah pendidikan yang baik, teknologi yang tepat guna itu, modal untuk mengembangkan usaha-usaha yang berbasis perekonomian lokal. Itu kan jelas. Tapi solusi yang dipakai Indonesia lucu. Kenapa Indonesia miskin? Karena produktivitas rendah. Solusinya apa? Investasi asing. Lho kan nggak nyambung. Buktinya sampai sekaran juga produktivitas kita tetap rendah. Yang dapat untung cuma investornya.
Harapan Anda perihal nasionalisme di masa yang akan datang seperti apa? Terutama pada generasi muda.
Nasionalisme jangan jadi doktrin lah, tapi dijadikan sebagai alat analisa. Alat. Sekali lagi medium untuk melihat persoalan. Kalau dengan cara seperti itu kita tidak akan terjebak pada pengerdilan nasionalisme. Juga, supaya yang disebut bangsa ini sejahtera. Bangsa ini punya harga diri.
0 komentar:
Posting Komentar