Barangkali, ketika membicarakan nasionalisme Indonesia, yang tidak boleh dilewatkan adalah sejarah. Pasalnya, ia tidak sekongyong-konyong muncul di sini. Jika ditarik ke belakang, maka akar nasionalisme akan ditemukan dalam revolusi Prancis. Pada saat itu, nasionalisme dipahami sebagai perlawanan kaum borjuis terhadap feodalisme dan Gereja. Mereka menuntut, diantaranya persamaan hak bagi semua warga Prancis, terutama persoalan yang menyangkut pencarian hidup sekaligus lepas dari tindakan sewenang-wenang oleh priyayi dan pihak Gereja.
Lambat laun, nasionalisme mulai menyebarkan pengaruhnya di negara Eropa seperti Inggris dan Jerman. Pada gilirannya pengaruh itu sampai ke Asia, seperti Tiongkok, Filipina, India termasuk juga Indonesia. Namun berbeda dengan bentuknya yang semula meski dengan esensi yang sama. Nasionalisme di sejumlah negara Asia mengalami metamorfosis. Esensinya tetap sama, “sikap anti”. tapi sikap itu tidak lagi ditujukan kepada priyayi dan gereja melainkan dibidikkan ke arah musuh yang bernama kaum imperalis. Sementara, di Eropa nasionalisme berujung semangat invasi, seperti genosida oleh nazi-isme Jerman. Dengan begitu, berbedalah nasionalisme “Timur” dengan “Barat”.
Sayangnya, pemahaman anti penjajahan sering membuat orang lupa pada esensi penjajahan itu sendiri. Hal ini diungkapkan Ahmad Syafii Maarif, Ph. D.,Ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005, saat ditemui usai salat maghrib di masjid Nogotirto jl. Halmahera, Perumahan Nogotirto, Blok 2 Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Menurutnya, “Orang hanya terpaku kepada pihak asing sebagai subjek. Sementara, eksploitasi, diskriminasi, pemerasan dan ketidak adilan, sebagai inti penjajahan kerap dilupakan. Padahal, itu semua bisa saja dilakukan oleh bangsa sendiri (imperealisme internal). Inilah kelemahan dari praktek nasionalisme kita. Karenanya, kita harus melakukan reorientasi terhadap nasionalisme Indonesia. Jadi, nasionalisme kita harus melawan siapapun yang melakukan penjajahan,” ungkapnya.
Dilain tempat, Sudaryanto, koordinator Pergerakan Kebangsaan, memaparkan kekhasan nasionalisme Indonesia. Bandingkan dengan—semisal—Jerman. Bangsa Jerman, nasionalisme-nya dibangun dengan fondasi primordial. Perhatikan juga dengan Uni Soviet yang bersatu berdasarkan kekuatan politik. Uniknya, meski Jerman, secara politik terbagi dua; Jerman Barat dan Jerman timur, kemauan menjadi sebuah bangsa, yang ditopang primordialisme yang kuat tadi, tetap kukuh untuk bersatu. Sementara nasionalisme Uni soviet terlihat begitu rapuh. Begitu terjadi goncangan politik, maka dengan mudah mereka terpecah. Dari sinilah kita melihat keistimewaan nasionalisme kita. “Nasionalisme Indonesia tidak sekokoh nasionalisme Jerman, namun juga tidak serapuh Uni Soviet,” paparnya.
“Sebab, nasionalisme Indonesia tidak berdiri di atas keduanya; primordialisme dan politik. Melainkan lebih didasari suka rela dan kesadaran. Sikap inilah yang nampak pada sumpah pemuda dan saat proklamasi kemerdekaan. Namun, yang perlu dipertegas adalah, untuk menjadi Indonesia, orang minang misalnya, tidak perlu kehilangan ke-minang-anya. Tentunya, ini tidak terlepas dari perasaan senasib dan seperjuangan sebagai elemen yang menumbuhkan sikap semacam itu,” imbuhnya.
Di sisi lain, Slamet Sutrisno, dosen Fakultas Filsafat UGM, memasukkan nasionalisme anti penjajahan dalam kategori nasionalisme politik. Proklamasi kemerdekaan cenderung sebagai usaha kemerdekaan secara politik. Bagaimanapun juga, pertama-tama, kemerdekaan yang harus kita capai adalah kemerdekaan politik. Oleh karena itu, masuknya Irian Barat (sekarang Papua) dalam NKRI berdasarkan nasionalisme politik itu. Sebab, yang hendak dimerdekakan oleh Soekarno-Hatta adalah wilayah Hindia Belanda, termasuk Irian Barat. Meski, dipandang dari sisi etnisitas, orang Papua sudah berbeda.
Slamet Sutrisno juga membedakan antara nasionalisme dengan kebangsaan. Baginya, kebangsaan adalah sesuatu yang sudah sejak lama dimiliki bangsa Indonesia sebagai salah satu kekayaan budaya. Berakar jauh ke masa silam. Indonesia sudah menjadi bangsa sejak sebelum masehi. Yaitu dalam representasi Etnologi, antropologi, kepercayaan dan bahasa.”Ini pernah diteliti oleh Universitas Leiden jurusan Indologi,” katanya. “Jadi, bedanya nasionalisme dengan kebangsaan ada pada akarnya. Nasionalisme, sebagai fenomena modern muncul di Prancis. Yang satu lagi, kebangsaan telah ada sejak masa silam” tambahnya tegas.
Memaknai nasionalisme tidak harus dengan politik atau budaya semata. Banyak sudut pandang yang bisa dipergunakan. Setidaknya, inilah yang dilakukan Revrisond Baswir. Ia memakai perspektif ekonomi untuk membaca nasionalisme. Secara ekonomi, nasionalisme dapat dijelaskan dengan mengacu pada pasal 33 UUD 1945. Di situ tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana kemakmuran rakyatlah yang harus diutamakan.
“Tapi bukan berarti kita harus memutuskan hubungan ke luar. Karena kita tidak lepas dari hubungan ekonomi internasional. Maka, baik yang sifatnya ke dalam atau ke luar, yang di utamakan bukan kemakmuran orang perorang,” jelas Revrisond.
Lantas Kenapa? tambah dia, dalam perjalanannya sulit menjadi kenyataan. Barangkali inilah bahan refleksi kita. Bagi saya, pertanyaan yang perlu dijawab ialah, relakah kolonial terhadap “kemerdekaan” kita? Jawabnya, tentu saja tidak. Ini terbukti ada upaya-upaya berkelanjutan oleh penjajah meggagalkan dan memanipulasi serta membelokkan kemerdekaan.
“Saya mendata ada sepuluh langkah, yang saya namakan sepuluh subfersif nekolim,” katanya. Diantaranya, dengan agresi militer satu dan dua, kemudian belanda membawa kita ke KMB (Konferensi Meja Bundar). Di KMB memang kita mendapatkan pengakuan kemerdekan secara politik, tapi tidak di sektor ekonomi. Kemudian, melalui rezim yang saya sebut kontra revolusi, terbitlah UU 12 tahun 1967 yang memanipulasi koperasi sebagai, meminjam istilah Bung Hatta, persekutuan majikan. Yang terakhir adalah, amandemen pasal 33 tadi. Ini artinya, kekuasaan, praktek dan legalitasnya, nasionalisme ekonomi sudah diobok-obok.
“Yang terjadi adalah, transisi dari imperealisme kuno ke imperialisme modern. Jadi, kita belum merdeka. Karena itu, kita perlu melakukan perjuangan kemerdekaan jilid dua. Dan merubah produk-produk hukum ekonomi kolonial, sesuai dengan cita-cita proklamasi dan kembali pada amanat konstitusi yang asli”, papar Revrisond.
Keinginan tersebut barangkali sulit, bagaimapun harus tetap dilakukan. Saat ini, kita telah kehilangan elemen penting nasionalisme; sama rasa sama rata. Yang tinggal hanya sentimen kedaerahan, nasionalisme semu, nasionalisme yang dimanipulasi.
Seperti yang dikatakan Sudaryanto. “Sekarang, orang Jawa dan Aceh tidak lagi merasa senasib,” tandasnya. Ia berpandangan, hal ini dikarenakan sejak proklamasi kemerdekaan ada instrumen yang ikut memelihara, yaitu “negara”. Pada akhirnya, negara menjadi pemain utama. sejak saat itu, semua persoalan, termasuk masalah kebangsaan, diserahkan ke negara. Seoalah-olah itu bukan urusan kita, rakyat. Mestinya, nasionalisme bisa semakin kuat jika negara mampu memelihara perasaan senasib itu. Yang terjadi malah sebaliknya, kesatuan kita telah dikhianati. Malangnya negara tidak selalu berpegang teguh pada nasionalisme.
Sepertinya, inilah yang diamaksud oleh isyarat Syafii Maarif; anatara kata dengan laku sudah pecah kongsi. Bahwa, ketika terjadi perselesihan blok Cepu. seenaknya negara memberikannya ke asing. Pancasila tidak lebih dari kalimat biasa, hukum sebatas berada di bangku kuliah, dan Presiden berfungsi sebagai GBHN, menggantikan UUD 1945, menunjukan tidak satunya kata dengan perbuatan.
“Untuk itu, kita perlu mengurangi kepercayaan kita pada negara. Bukan untuk melawan. Sekaligus kita hidupkan suasana pergerakan pada semua oraganisasi masyarakat.” Ungkap Sudaryanto.
Degradasi sikap nasionalisme semakin diperparah dengan adanya “teknologisasi”, yang telah berubah wajah menjadi ideologi, yang oleh Slamet Sutrisno dianggap menghilangkan kesadaran kita terhadap sejarah kebangsaan. Ia berharap, bahwa sejarah kebangsaan harus dibangkitkan kembali.
Nampaklah, kebangsaan merupakan persoalan serius. Karenanya, dengan belajar pada sejarah, dengan menghidupkan suasana pergerakan, serta ditopang satunya kata dan tindakan, kita raih kemerdekaan yang hakiki. [AM]
Lambat laun, nasionalisme mulai menyebarkan pengaruhnya di negara Eropa seperti Inggris dan Jerman. Pada gilirannya pengaruh itu sampai ke Asia, seperti Tiongkok, Filipina, India termasuk juga Indonesia. Namun berbeda dengan bentuknya yang semula meski dengan esensi yang sama. Nasionalisme di sejumlah negara Asia mengalami metamorfosis. Esensinya tetap sama, “sikap anti”. tapi sikap itu tidak lagi ditujukan kepada priyayi dan gereja melainkan dibidikkan ke arah musuh yang bernama kaum imperalis. Sementara, di Eropa nasionalisme berujung semangat invasi, seperti genosida oleh nazi-isme Jerman. Dengan begitu, berbedalah nasionalisme “Timur” dengan “Barat”.
Sayangnya, pemahaman anti penjajahan sering membuat orang lupa pada esensi penjajahan itu sendiri. Hal ini diungkapkan Ahmad Syafii Maarif, Ph. D.,Ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005, saat ditemui usai salat maghrib di masjid Nogotirto jl. Halmahera, Perumahan Nogotirto, Blok 2 Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Menurutnya, “Orang hanya terpaku kepada pihak asing sebagai subjek. Sementara, eksploitasi, diskriminasi, pemerasan dan ketidak adilan, sebagai inti penjajahan kerap dilupakan. Padahal, itu semua bisa saja dilakukan oleh bangsa sendiri (imperealisme internal). Inilah kelemahan dari praktek nasionalisme kita. Karenanya, kita harus melakukan reorientasi terhadap nasionalisme Indonesia. Jadi, nasionalisme kita harus melawan siapapun yang melakukan penjajahan,” ungkapnya.
Dilain tempat, Sudaryanto, koordinator Pergerakan Kebangsaan, memaparkan kekhasan nasionalisme Indonesia. Bandingkan dengan—semisal—Jerman. Bangsa Jerman, nasionalisme-nya dibangun dengan fondasi primordial. Perhatikan juga dengan Uni Soviet yang bersatu berdasarkan kekuatan politik. Uniknya, meski Jerman, secara politik terbagi dua; Jerman Barat dan Jerman timur, kemauan menjadi sebuah bangsa, yang ditopang primordialisme yang kuat tadi, tetap kukuh untuk bersatu. Sementara nasionalisme Uni soviet terlihat begitu rapuh. Begitu terjadi goncangan politik, maka dengan mudah mereka terpecah. Dari sinilah kita melihat keistimewaan nasionalisme kita. “Nasionalisme Indonesia tidak sekokoh nasionalisme Jerman, namun juga tidak serapuh Uni Soviet,” paparnya.
“Sebab, nasionalisme Indonesia tidak berdiri di atas keduanya; primordialisme dan politik. Melainkan lebih didasari suka rela dan kesadaran. Sikap inilah yang nampak pada sumpah pemuda dan saat proklamasi kemerdekaan. Namun, yang perlu dipertegas adalah, untuk menjadi Indonesia, orang minang misalnya, tidak perlu kehilangan ke-minang-anya. Tentunya, ini tidak terlepas dari perasaan senasib dan seperjuangan sebagai elemen yang menumbuhkan sikap semacam itu,” imbuhnya.
Di sisi lain, Slamet Sutrisno, dosen Fakultas Filsafat UGM, memasukkan nasionalisme anti penjajahan dalam kategori nasionalisme politik. Proklamasi kemerdekaan cenderung sebagai usaha kemerdekaan secara politik. Bagaimanapun juga, pertama-tama, kemerdekaan yang harus kita capai adalah kemerdekaan politik. Oleh karena itu, masuknya Irian Barat (sekarang Papua) dalam NKRI berdasarkan nasionalisme politik itu. Sebab, yang hendak dimerdekakan oleh Soekarno-Hatta adalah wilayah Hindia Belanda, termasuk Irian Barat. Meski, dipandang dari sisi etnisitas, orang Papua sudah berbeda.
Slamet Sutrisno juga membedakan antara nasionalisme dengan kebangsaan. Baginya, kebangsaan adalah sesuatu yang sudah sejak lama dimiliki bangsa Indonesia sebagai salah satu kekayaan budaya. Berakar jauh ke masa silam. Indonesia sudah menjadi bangsa sejak sebelum masehi. Yaitu dalam representasi Etnologi, antropologi, kepercayaan dan bahasa.”Ini pernah diteliti oleh Universitas Leiden jurusan Indologi,” katanya. “Jadi, bedanya nasionalisme dengan kebangsaan ada pada akarnya. Nasionalisme, sebagai fenomena modern muncul di Prancis. Yang satu lagi, kebangsaan telah ada sejak masa silam” tambahnya tegas.
Memaknai nasionalisme tidak harus dengan politik atau budaya semata. Banyak sudut pandang yang bisa dipergunakan. Setidaknya, inilah yang dilakukan Revrisond Baswir. Ia memakai perspektif ekonomi untuk membaca nasionalisme. Secara ekonomi, nasionalisme dapat dijelaskan dengan mengacu pada pasal 33 UUD 1945. Di situ tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana kemakmuran rakyatlah yang harus diutamakan.
“Tapi bukan berarti kita harus memutuskan hubungan ke luar. Karena kita tidak lepas dari hubungan ekonomi internasional. Maka, baik yang sifatnya ke dalam atau ke luar, yang di utamakan bukan kemakmuran orang perorang,” jelas Revrisond.
Lantas Kenapa? tambah dia, dalam perjalanannya sulit menjadi kenyataan. Barangkali inilah bahan refleksi kita. Bagi saya, pertanyaan yang perlu dijawab ialah, relakah kolonial terhadap “kemerdekaan” kita? Jawabnya, tentu saja tidak. Ini terbukti ada upaya-upaya berkelanjutan oleh penjajah meggagalkan dan memanipulasi serta membelokkan kemerdekaan.
“Saya mendata ada sepuluh langkah, yang saya namakan sepuluh subfersif nekolim,” katanya. Diantaranya, dengan agresi militer satu dan dua, kemudian belanda membawa kita ke KMB (Konferensi Meja Bundar). Di KMB memang kita mendapatkan pengakuan kemerdekan secara politik, tapi tidak di sektor ekonomi. Kemudian, melalui rezim yang saya sebut kontra revolusi, terbitlah UU 12 tahun 1967 yang memanipulasi koperasi sebagai, meminjam istilah Bung Hatta, persekutuan majikan. Yang terakhir adalah, amandemen pasal 33 tadi. Ini artinya, kekuasaan, praktek dan legalitasnya, nasionalisme ekonomi sudah diobok-obok.
“Yang terjadi adalah, transisi dari imperealisme kuno ke imperialisme modern. Jadi, kita belum merdeka. Karena itu, kita perlu melakukan perjuangan kemerdekaan jilid dua. Dan merubah produk-produk hukum ekonomi kolonial, sesuai dengan cita-cita proklamasi dan kembali pada amanat konstitusi yang asli”, papar Revrisond.
Keinginan tersebut barangkali sulit, bagaimapun harus tetap dilakukan. Saat ini, kita telah kehilangan elemen penting nasionalisme; sama rasa sama rata. Yang tinggal hanya sentimen kedaerahan, nasionalisme semu, nasionalisme yang dimanipulasi.
Seperti yang dikatakan Sudaryanto. “Sekarang, orang Jawa dan Aceh tidak lagi merasa senasib,” tandasnya. Ia berpandangan, hal ini dikarenakan sejak proklamasi kemerdekaan ada instrumen yang ikut memelihara, yaitu “negara”. Pada akhirnya, negara menjadi pemain utama. sejak saat itu, semua persoalan, termasuk masalah kebangsaan, diserahkan ke negara. Seoalah-olah itu bukan urusan kita, rakyat. Mestinya, nasionalisme bisa semakin kuat jika negara mampu memelihara perasaan senasib itu. Yang terjadi malah sebaliknya, kesatuan kita telah dikhianati. Malangnya negara tidak selalu berpegang teguh pada nasionalisme.
Sepertinya, inilah yang diamaksud oleh isyarat Syafii Maarif; anatara kata dengan laku sudah pecah kongsi. Bahwa, ketika terjadi perselesihan blok Cepu. seenaknya negara memberikannya ke asing. Pancasila tidak lebih dari kalimat biasa, hukum sebatas berada di bangku kuliah, dan Presiden berfungsi sebagai GBHN, menggantikan UUD 1945, menunjukan tidak satunya kata dengan perbuatan.
“Untuk itu, kita perlu mengurangi kepercayaan kita pada negara. Bukan untuk melawan. Sekaligus kita hidupkan suasana pergerakan pada semua oraganisasi masyarakat.” Ungkap Sudaryanto.
Degradasi sikap nasionalisme semakin diperparah dengan adanya “teknologisasi”, yang telah berubah wajah menjadi ideologi, yang oleh Slamet Sutrisno dianggap menghilangkan kesadaran kita terhadap sejarah kebangsaan. Ia berharap, bahwa sejarah kebangsaan harus dibangkitkan kembali.
Nampaklah, kebangsaan merupakan persoalan serius. Karenanya, dengan belajar pada sejarah, dengan menghidupkan suasana pergerakan, serta ditopang satunya kata dan tindakan, kita raih kemerdekaan yang hakiki. [AM]
0 komentar:
Posting Komentar