Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Senin, 26 April 2010

Ideologis Teoritis dalam Nasionalisme Pemuda

(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)

“Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengguncang dunia.”
(Ir. Soekarno)

Pemuda merupakan elemen terpenting bagi sebuah bangsa. Sebagai generasi yang akan menggantikan peran generasi sebelumnya, kualitas (kemampuan) akan keberadaan dirinya merupakan jaminan kelayakan sebagai penerus. Seperti apa yang didengungkan oleh WS. Rendra, bahwa pemuda merupakan sektor yang paling spontan terhadap masalah sosial. Karena hal inilah Soekarno, melihat pemuda sebuah kekuatan amat dahsyat yang dapat mengubah dunia. Sehingga tidak berlebihan jika Soekarno, begitu besar menaruh harapan terhadap pemuda dalam memaksimalkan potensi guna mampu bersaing di tingkatan antar bangsa.

Dalam konteks ini mungkin patut meng-amin-i apa yang diungkapkan WS. Rendra, bahwa setiap generasi (pemuda) harus memiliki kemampuan daya hidup berupa; kemampuan bernafas, yaitu mampu meng-eksistensi-kan dirinya. Kemampuan mencerna, yaitu jeli dan selektif terhadap berbagai hal. Kemampuan berkoordinasi dan berorganisasi, yaitu sebagai makhluk sosial sangatlah penting berkomunikasi. Kemampuan beradaptasi, yaitu mampu menghadapi berbagai tantangan. Kemampuan mobilitas, yaitu tangkas. Kemampuan tumbuh dan berkembang, yaitu berpemikiran maju.

Memang tidak bisa dinafikan peran pemuda sangatlah signifikan dalam ranah sosio-politik bangsa ini. Kita tahu sosok pemuda pada zaman pra kemerdekaan, mempunyai karakter, ideologi, idealisme yang sangat kuat. Hal ini yang menjadi keterwakilan sebuah kualitas (daya hidup). WS Rendra dalam bukunya Penyair dan Kritik Sosial mengatakan mereka begitu tangguh ketika usia masih sangat muda. Mereka mampu menggugah “stabilitas” sosial pada saat itu. Surat-surat Kartini yang ditulis Kartini, kala berusia 16 tahun, Renungan Indonesia ditulis oleh Sutan Syahrir, saat masih remaja, Indonesia Menggugat telah diteriakkan Soekarno juga saat masih muda. Gebrakan-gebrakan itu telah menunjukkan bahwa kualitas mereka tidak bisa dipandang sebelah mata di ranah sendiri bahkan bangsa lain.

Selain itu gebrakan-gebrakan mereka juga “dituangkan” dalam wadah organisasi gerakan di zaman pra kemerdekaan. Budi Utomo, Tri Koro Darmo, Jong Java dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut bergerak dan memuncak pada 28 Oktober 1928 dengan Sumpah Pemuda yang menghasilkan kesepakatan bersama, yaitu satu bangsa dalam mencapai kemerdekaan.

Keberadaan organisasi-organisasi pemuda tersebut atau yang biasa diistilahkan dengan Angkatan ‘28 dan ‘45 membuktikan peran pemuda dalam kancah sosio-politik bangsa ini sangatlah signifikan. Sehingga gerakan organisasi-organisai pemuda ini menggoreskan catatan dalam buku sejarah bangsa ini. Organisasi kepemudaan tersebut dipakai sebagai alat penumbuh semangat nasionalisme yang dititikkan pada aspek psikologis guna melawan sistem kolonialisme. Nasionalisme yang digerakkan dalam melawan sistem kolonial adalah hal yang dirasakan oleh bangsa Indonesia.

Kini mereka secara fisik telah tidak beredar lagi, namun semangat mereka tentunya masih "menyengat" sampai detik ini. Semangat itulah menjadikan organisasi pemuda sampai saat ini masih mudah dijumpai, baik organisasi yang lahir dari bagian kecil (komunitas) maupun yang berbasis pemuda maupun mahasiswa. Karang Taruna (KT) dimisalkan, organisasi yang berbasiskan pemuda ini lahir pada tahun 1963, menjadikan KT sebagai organisasi kepemudaan tertua setelah kemerdekaan. Menurut Nur Kholis, ketua Karang Taruna Dipo Ratna Muda, Kabupaten Bantul, mengacu pada UU no. 11 tahun 2005 bahwa KT sebagai ujung tombak di masyarakat dalam menjalankan program kesejahteraan sosial. “Sehingga wilayah gerakan KT ini adalah wilayah gerakan pada akar rumput,” katanya. Berbeda dengan Haryawan Emir Nuswantoro, SS, SE., Ketua Karang Taruna Kota Yogyakarta mengatakan, “bahwa kebutuhan interaksi sosial guna membangun aktivitas sosial antar pemuda yang melandasi terciptanya KT,” katanya.

Selain KT, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) bisa dicontohkan di sini. Organisasi pemuda yang lahir pada 23 Juli tahun 1973 ini menjadi salah satu organisasi pemuda terbesar pasca kemerdekaan lingkup nasional. Organisasi ini lahir setelah adanya perpecahan afiliasi organisasi-organisasi mahasiswa yang terwadah dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Putri Khatulistiwa, SH. Wakil bendahara KNPI kota Yogyayakarta menjelaskan berangkat karena perpecahan inilah KNPI tercipta bertujuan sebagai wadah bagi organisasi-organisasi kepemudaan dan mahasiswa untuk melanjutkan “kewajiba-kewajiban” kaum muda, sehingga ditelaah amat perlu untuk membentuk suatu wadah “baru” guna menjaga dan melanjutkan idealisme maupun ideologi yang telah terbangun sebelumnya.

Tetapi kenapa setelah kemerdekaan eksistensi organisasi kepemudaan ini tidak “sedahsyat” pada masa-masa pergolakan? Dalam hal ini Amir Sutoko, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tahun 1980-an ini menjelaskan, pada masa pergolakan (pra kemerdekaaan) gerakan-gerakan organisasi kepemudaan selain kondisi sosial politik pada waktu itu juga mempunyai dua landasan dalam karakter gerakannya yaitu landasan ideologis dan teoritis. Landasan idelogis ini merupakan dasar karakter sebagai kader bangsa, landasan teoritis sebagai dasar dalam menganalisa kondisi sosial. “Dengan dua landasan inilah mereka bisa paham terhadap fakta dominan dalam segala kondisi sosial, politik maupun ekonomi dan lain sebagainya dan dengan dua landasan inilah wujud pengimplementasian dari rasa nasionalisme mereka,” jelasnya.

Lebih lanjut mas Amir--sapaan akrabnya—mengatakan, kemudian dua landasan ini terputus pada masa orde baru, di masa ini landasan teoritis dikesampingkan hanya landasan ideologis saja menjadi prioritas dalam menganalisa kondisi-kondisi tersebut. Berpindah pada masa reformasi, menjadi kebalikan di mana landasan teoritis menjadi prioritas, sehingga mengakibatkan kegamangan di dalam gerakan organisasi-organisasi tersebut. Padahal aspek teoritis yang sejatinya merupakan paket dari ideologi.

Dengan kondisi objektif ini mas Amir menegaskan, jika organisasi pemuda (pemuda maupun mahasiswa) ingin dapat “menjadi” seperti pada masa sebelum dan awal kemerdekaan, dua landasan tersebut wajib untuk dimiliki kembali. [A71]

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share