Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Senin, 26 April 2010

Kampung Melukis Wajah Kebangsaan Indonesia

(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)

Keberadaan kampung dan rutinitas kehidupannya; sosial, ekonomi dan bahkan politik menjadi daya tarik tersendiri. Kampung sebagai wilayah terkecil dari sebuah negara memang tidak membosankan baik itu untuk dikunjungi maupun ditelaah dari berbagai sudut pandang. Karena tidak terlepas dari apa yang terlihat bagaimana hubungan sosial antar warga kampung begitu harmonis dan penuh toleransi. Untuk itu, Senthir akan mencoba melihat nasionalisme namun dari kacamata lingkungan kampung telah dianggap sebagai lingkungan terpinggirkan, kumuh, munculnya para bandit, yaitu kampung. Nah, berangkat dari dua asumsi berbeda tersebut Senthir mencoba mengorek sisi lain yang tertanam dari kampung, yaitu nasionalisme.

Kampung merupakan lingkup terkecil dari sebuah institusi pemerintahan yang diwakili adanya Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Yang sesungguhnya di tingkat kampung terjadi operasionalisasi segala bentuk pengambilan keputusan negara. Terbukti dengan adanya kegiatan rutin baik mingguan maupun bulanan yang melibatkan warga kampung. Seperti yang diungkapkan Pak Kliman (52), ketua RW 01 Karanggayam, Depok, Sleman, Yogyakarta. “Ada pertemuan antar RT setiap satu bulan sekali. Kalau pertemuan RW setiap tanggal 1, dan dilakukan setiap bulan sekali,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Reino (23) warga kampung Minggiran, Yogyakarta. “Kerja bakti ibu-ibu setiap kamis kliwon di makam “Kradenan” untuk membersihkan dan merawat makam. Kalau yang umum kerja bakti setiap menjelang 17 Agustus. Selain itu ada ronda malam, rapat paguyuban, pertemuan muda-mudi kampung, muda-mudi masjid,” ucapnya.

Kegiatan-kegiatan seperti itu tidak hanya ada di kampung, namun juga ada di kompleks Perumahan, Puri Gejayan Indah, Sleman, Yogyakarta dimisalkan. “Ada banyak kegiatan tahunan warga seperti tirakatan, lomba-lomba dalam rangka meramaikan hari kemerdekaan, Syawalan, arisan ibu-ibu, jalan sehat, dsb,” ungkap Cisca (20), warga kompleks perumahan.

Dengan adanya kegiatan rutin semacam itu, hubungan antar warga menjadi semakin harmonis. Tidak membedakan jenis pekerjaan, agama, jenis kelamin. Harmonisasi hubungan antar warga ini seperti yang terjadi di kampung Karanggayam di mana sebagian besar warganya menganut agama Islam. “Kalau di sini kan 90% Muslim, jadi yang lain bisa toleransi. Sama-sama menghormati,” kata Pak Kliman, ketua RW Karanggayam. Kesadaran akan perbedaan masyarakat kampung itu merupakan contoh kehidupan yang sejatinya merupakan sebuah cerminan sebagai warga negara.

Kampung Karanggayam termasuk kampung yang unik, karena sebagian besar warganya merupakan warga kos; warga tidak tetap. Menurut Afrizal, warga kos—sekaligus mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarata (UNY)—walau ada dua warga (kos dan warga asli) tidak pernah terjadi konflik antar warga. “Sama sekali belum pernah bentrok dengan warga asli kampung Karanggayam”. Ungkapnya. Hal senada juga diungkapan oleh Reino, “Mayoritas Islam, tapi ada juga yang Nasrani, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan Kejawen masih ada.” ungkapnya.

Tidak hanya di kampung, di kompleks perumahan pun terjadi demikian. Walaupun kehidupan sosial antar warga di kompleks perumahan sedikit berbeda dengan warga yang ada di kampung. Bahkan bisa dikatakan ekslusif dan individual. “Warga (kompleks perumahan) kurang menaruh perhatian terhadap hal-hal seperti ini, mungkin bisa dibilang kehidupannya sedikit individual,” kata Cisca.

Semua ini memperlihatkan hubungan sosial antar warga—baik di kampung Minggiran, kampung Karanggayam maupun kompleks perumahan Puri Gejayan Indah—yang harmonis dan tidak terjadi konflik yang begitu berarti. Hal semacam ini dapat terjadi karena adanya toleransi diantara warga seperti yang diungkapkan Reino. “Karena kesadaran warga yang sudah menjadi tetangga lama. Serta merasa mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bersama,” katanya. Lain halnya dengan yang diungkapan oleh Cisca, “Satu-satunya yang riil adalah dengan terus melestarikan kegiatan-kegiatan yang sudah ada sehingga keakraban antar warga tetap terjaga,” ungkapnya.

Seharusnya hal ini dapat dijadikan contoh para penyelenggara pemerintahan negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif agar tidak mementingkan dirinya sendiri maupun kelompoknya. Melainkan benar-benar membawa aspirasi rakyat. Sehingga nantinya akan tercapai kesejahteraan umum seperti yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Tidak sebatas itu saja hubungan sosial warga, namun mereka juga sangat menghargai kampungnya. Hal ini menepis anggapan orang selama ini bahwa kampung merupakan lingkungan yang terpinggirkan. “Menurut saya, mereka yang menganggap kampung itu terpinggirkan karena ada kekaguman mereka terhadap kampung. Itu saja,” kata Reino bangga.

Sebagai warga kampung, mereka melakukan pembangunan untuk kampungnya, seperti pembuatan jalan kampung, saluran air, sumur resapan, serta gorong-gorong yang dilakukan dengan gotong-royong. Hal ini seperti yang diungkapkan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 di Jakarta. Menurut Bung Karno, istilah “gotong-royong” adalah istilah asli Indonesia. “Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong-royong!”

Menurut Reino dalam membuat jalan kampung, warga kampung Minggiran melakukan kerja bakti dan seluruh pembiayaannya menggunakan uang kas kampung. “Kami membangun jalan kampung secara swadaya menggunakan uang kas kampung. Pembagaian tugasnya begini: setiap minggu kan ada tujuh kelompok ronda, nah dari tujuh kelompok itu dibagi per hari untuk membangun konblok jalan,” ungkap Reino.

Hal demikian juga dilakukan oleh warga kampung Karanggayam. “Kami melakukan kerja bakti untuk pembuatan saluran air hujan, gorong-gorong, sumur resapan. Biayanya swadaya kampung dan disubsidi oleh RW,” kata Pak Kliman.

Tidak hanya sebatas itu saja, mereka juga turut membayar pajak, membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, mereka telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Seharusnya pemerintah “balas budi” terhadap pengorbanan mereka. Tidak malah menunggu adanya keluhan dari warga baru mau turun tangan.

Dengan mencintai serta mengabdikan dirinya untuk kepentingan kampungnya serta kesejahteraan bersama dan memiliki tujuan bersama mereka dapat hidup rukun berdampingan. Inilah wajah kebangsaan kita (baca: Indonesia) yang kita lihat melalui kehidupan antar warga di kampung. [JPB]

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share