(Tulisan ini dimuat di majalah Senthir edisi I)
Wajah nasionalisme kita kian memprihatinkan. Malangnya, itu diperlihatkan oleh “negara”, komponen yang sejak proklamasi kemerdekan diberi tanggung jawab mengawal dan mengamalkannya. Kebijakan-kebijakanya justru berakibat luluh lantaknya rasa senasib sepenanggungan. “Nasib kita tidak lebih baik dari Jawa,” setidaknya kalimat itu keluar dari mulut rakyat di daerah yang belum terjamah oleh listrik. Sementara teplok, obor, petromaks harus nyala dengan uang 10 ribu rupiah semalam.
Kriminalisasi KPK memberi bukti kalau mafia peradilan itu ada. Kasus Bank Century, dengan segala simpang siurnya menguatkan dugaan kalau dibelakang pencairan dana senilai 6,7 triyun rupiah memang ada apa-apa. Begitulah akibatnya kalau anatara kata dan perbuatan tak sama. Yang durjana adalah, jika kata dipaksa sama dengan perbuatannya. Yang sebetulnya salah, dibuatlah payung hukumnya, Undang-undangnya, aturan-aturannya. Sehingga ia adalah benar menurut hukum barunya yang diselesaikan dengan jumlah “ciak-teh” yang disepakati.
Pancasila, sebagai dasar negara, kini tidak lebih dari untaian kata-kata. Dipajang di mana-mana, dibawa kemana saja untuk dicatut seenaknya tanpa secuil amal darinya. Adapun, presiden, sudahlah melampaui kepala negara. Ia menjadi GBHN. Yang benar adalah benar menurut rel dia.
Masihkah tersisa semangat sumpah pemuda dan proklamsi dibenak rakyat kita. Semangat untuk menjadi Indonesia, yang saling menghargai dan menghormati. Roh kemerdekakan Indonesia menuju republik yang makmur dan sejahtera. Sungguh pun kita telah terlena sampai pada gilirannya kita lupa dengan itu semua.
Tentunya, belum semua rakyat kita lupa. Kita masih bisa mengais sisa-sisa itu tatkala kita menengok ke kampung, daerah yang oleh kontruksi pikiran orang kota, dicap kumuh, tertinggal dan sarang begal, tapi justru kebersamaan, gotong royong dan sikap saling menghargai dan menghormati dimiliki oleh penduduknya. Elemen-elemen kebangsaan justru terlukis dan dilestarikan di situ. Gambaran dari komunitas kecil yang harus dicontoh komunitas besarnya, negara.
Ini yang harusnya diajarkan, ditanamkan dan dijalankan oleh pemuda. Dipundak mereka masa depan bangsa berada. Nasib bangsa tergantung kepada para pemudanya, setidaknya begitu pepatah lama bilang. Karena itu pula, kecakapan, kualitas dan integritas pemuda penting adanya. Hingga, satu masa datang, menyerahkan kepercayaan rakyat Indonesia pada mereka, maka tidak ada lagi istilah pengkhianatan, kebohongan dan penjajahan terhadap bangsa sendiri.
Namun, janganlah nasionalisme itu jadi doktrin. Dipaksa dan dijejalkan semaunya. Bahwa nasionalisme itu begini atau bigitu. Sebaliknya yang tidak seperti ini atau tidak seperti itu, bukan nasionalisme. Jangan! Yang penting, biarkan ia menjadi diskursus dalam pikiran. Berdialektika dengan konteks dalam tindakan. Dengan begitu, kebaikan makna nasionalisme akan kita temukan. [Redaksi]
Wajah nasionalisme kita kian memprihatinkan. Malangnya, itu diperlihatkan oleh “negara”, komponen yang sejak proklamasi kemerdekan diberi tanggung jawab mengawal dan mengamalkannya. Kebijakan-kebijakanya justru berakibat luluh lantaknya rasa senasib sepenanggungan. “Nasib kita tidak lebih baik dari Jawa,” setidaknya kalimat itu keluar dari mulut rakyat di daerah yang belum terjamah oleh listrik. Sementara teplok, obor, petromaks harus nyala dengan uang 10 ribu rupiah semalam.
Kriminalisasi KPK memberi bukti kalau mafia peradilan itu ada. Kasus Bank Century, dengan segala simpang siurnya menguatkan dugaan kalau dibelakang pencairan dana senilai 6,7 triyun rupiah memang ada apa-apa. Begitulah akibatnya kalau anatara kata dan perbuatan tak sama. Yang durjana adalah, jika kata dipaksa sama dengan perbuatannya. Yang sebetulnya salah, dibuatlah payung hukumnya, Undang-undangnya, aturan-aturannya. Sehingga ia adalah benar menurut hukum barunya yang diselesaikan dengan jumlah “ciak-teh” yang disepakati.
Pancasila, sebagai dasar negara, kini tidak lebih dari untaian kata-kata. Dipajang di mana-mana, dibawa kemana saja untuk dicatut seenaknya tanpa secuil amal darinya. Adapun, presiden, sudahlah melampaui kepala negara. Ia menjadi GBHN. Yang benar adalah benar menurut rel dia.
Masihkah tersisa semangat sumpah pemuda dan proklamsi dibenak rakyat kita. Semangat untuk menjadi Indonesia, yang saling menghargai dan menghormati. Roh kemerdekakan Indonesia menuju republik yang makmur dan sejahtera. Sungguh pun kita telah terlena sampai pada gilirannya kita lupa dengan itu semua.
Tentunya, belum semua rakyat kita lupa. Kita masih bisa mengais sisa-sisa itu tatkala kita menengok ke kampung, daerah yang oleh kontruksi pikiran orang kota, dicap kumuh, tertinggal dan sarang begal, tapi justru kebersamaan, gotong royong dan sikap saling menghargai dan menghormati dimiliki oleh penduduknya. Elemen-elemen kebangsaan justru terlukis dan dilestarikan di situ. Gambaran dari komunitas kecil yang harus dicontoh komunitas besarnya, negara.
Ini yang harusnya diajarkan, ditanamkan dan dijalankan oleh pemuda. Dipundak mereka masa depan bangsa berada. Nasib bangsa tergantung kepada para pemudanya, setidaknya begitu pepatah lama bilang. Karena itu pula, kecakapan, kualitas dan integritas pemuda penting adanya. Hingga, satu masa datang, menyerahkan kepercayaan rakyat Indonesia pada mereka, maka tidak ada lagi istilah pengkhianatan, kebohongan dan penjajahan terhadap bangsa sendiri.
Namun, janganlah nasionalisme itu jadi doktrin. Dipaksa dan dijejalkan semaunya. Bahwa nasionalisme itu begini atau bigitu. Sebaliknya yang tidak seperti ini atau tidak seperti itu, bukan nasionalisme. Jangan! Yang penting, biarkan ia menjadi diskursus dalam pikiran. Berdialektika dengan konteks dalam tindakan. Dengan begitu, kebaikan makna nasionalisme akan kita temukan. [Redaksi]
0 komentar:
Posting Komentar