Oleh: Ahmad Sidqi
Pancasila sebagai ideologi lahir untuk memberikan kekuatan dalam dimensi bernegara. Muatan Pancasila dalam dinamika berbangsa itu landasannya adalah moralitas dan humanisasi. Akhir- akhir ini banyak kasus yang terjadi di negara kita, seperti kasus korupsi, kasus kriminalisasi pemimpin KPK, kasus Bank Century, Kasus Prita, dll. Kasus-kasus tersebut merupakan esensi dari problematika kebobrokan bangsa dalam membangun negara. Cita-cita Bung Karno dalam memberikan perjuangan atas memberikan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia yang secara de facto dan de juro telah diproklamirkan dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan 18 Agustus 1945, untuk pembentukan landasan fundamental dari bernegara yaitu UUD yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dari ideologi Pancasila.
Nilai-nilai moralitas dan humanisasi akan nampak jika dianalisis secara mendalam sebagai contoh kasus korupsi. Terminologi dari kata korupsi adalah sebuah hasrat untuk memperkaya diri secara tidak halal, atau lebih universalnya adalah kapitalisme intersubjektif. Kerakusan untuk menguasai dan memperkaya secara pribadi yang menjadi racun-racun ideologi. Pada hari anti korupsi sedunia tanggal 9 Desember 2009 dan hari HAM 10 Desember 2009 adalah letupan moral masyarakat dari kegerahan korupsi. Gerakan moral dan revitalisasi nilai-nilai hukum terlihat bahwa massa aksi terdorong dengan sendirinya untuk melawan korupsi dan mengilangkan “Corrup-ism“.
Dalam perspektif filsafat hukum, adanya hukum positivis yang menjadi sebuah legitimasi pemerintahan dan adanya hukum moralitas yang berbicara keadilan yang sifatnya subjektif dalam melihat realitas. Hukum positivis Indonesia seakan-akan bisa diperjual-belikan, namun ketika masyarakat bahwa ada kasus hukum yang tidak bisa diselesaikan secara positivis, di sinilah moralitas berbicara. Koruptor Indonesia masih saja duduk, bisa tenang-tenang saja, koruptor berkata, “Pak Hakim dan Pak Jaksa, saya mau ke Singapura dulu mengurusi bisnis saya, ini ada uang 50 juta, tolong kasusnya ditunda dulu ya dalam beberapa bulan”. Jika dikomparasikan dengan kasus Nyonya Minah terdakwa pencurian 3 biji kakao yang dituntut 2,5 bulan mendekam dipenjara. Alangkah enaknya menjadi koruptor, bisa menjual-belikan kasus dengan begitu rupa.
Indonesia sudah menjadi ladang khayangan bagi para koruptor sudah dapat hidup dengan enak, kasus-kasusnya sudah dapat terselesaikan, minimal hanya penjara tahunan. Ketidak sadaran dari para penegak hukum yang tidak melihat nilai-nilai keadilan dalam Pancasila, sehingga hilangnya faktor humanistik, dan moralitas. Keadilan dalam Pancasila dimiliki oleh setiap kewargaan Indonesia. Dalam tatanan konteks kekinian, diperlukan adanya supremasi hukum dengan merevitalisasi nila-nilai dalam Pancasila, sehingga hukum menjadi inklusif, tidak lagi eksklusif.
Pancasila sebagai ideologi lahir untuk memberikan kekuatan dalam dimensi bernegara. Muatan Pancasila dalam dinamika berbangsa itu landasannya adalah moralitas dan humanisasi. Akhir- akhir ini banyak kasus yang terjadi di negara kita, seperti kasus korupsi, kasus kriminalisasi pemimpin KPK, kasus Bank Century, Kasus Prita, dll. Kasus-kasus tersebut merupakan esensi dari problematika kebobrokan bangsa dalam membangun negara. Cita-cita Bung Karno dalam memberikan perjuangan atas memberikan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia yang secara de facto dan de juro telah diproklamirkan dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan 18 Agustus 1945, untuk pembentukan landasan fundamental dari bernegara yaitu UUD yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dari ideologi Pancasila.
Nilai-nilai moralitas dan humanisasi akan nampak jika dianalisis secara mendalam sebagai contoh kasus korupsi. Terminologi dari kata korupsi adalah sebuah hasrat untuk memperkaya diri secara tidak halal, atau lebih universalnya adalah kapitalisme intersubjektif. Kerakusan untuk menguasai dan memperkaya secara pribadi yang menjadi racun-racun ideologi. Pada hari anti korupsi sedunia tanggal 9 Desember 2009 dan hari HAM 10 Desember 2009 adalah letupan moral masyarakat dari kegerahan korupsi. Gerakan moral dan revitalisasi nilai-nilai hukum terlihat bahwa massa aksi terdorong dengan sendirinya untuk melawan korupsi dan mengilangkan “Corrup-ism“.
Dalam perspektif filsafat hukum, adanya hukum positivis yang menjadi sebuah legitimasi pemerintahan dan adanya hukum moralitas yang berbicara keadilan yang sifatnya subjektif dalam melihat realitas. Hukum positivis Indonesia seakan-akan bisa diperjual-belikan, namun ketika masyarakat bahwa ada kasus hukum yang tidak bisa diselesaikan secara positivis, di sinilah moralitas berbicara. Koruptor Indonesia masih saja duduk, bisa tenang-tenang saja, koruptor berkata, “Pak Hakim dan Pak Jaksa, saya mau ke Singapura dulu mengurusi bisnis saya, ini ada uang 50 juta, tolong kasusnya ditunda dulu ya dalam beberapa bulan”. Jika dikomparasikan dengan kasus Nyonya Minah terdakwa pencurian 3 biji kakao yang dituntut 2,5 bulan mendekam dipenjara. Alangkah enaknya menjadi koruptor, bisa menjual-belikan kasus dengan begitu rupa.
Indonesia sudah menjadi ladang khayangan bagi para koruptor sudah dapat hidup dengan enak, kasus-kasusnya sudah dapat terselesaikan, minimal hanya penjara tahunan. Ketidak sadaran dari para penegak hukum yang tidak melihat nilai-nilai keadilan dalam Pancasila, sehingga hilangnya faktor humanistik, dan moralitas. Keadilan dalam Pancasila dimiliki oleh setiap kewargaan Indonesia. Dalam tatanan konteks kekinian, diperlukan adanya supremasi hukum dengan merevitalisasi nila-nilai dalam Pancasila, sehingga hukum menjadi inklusif, tidak lagi eksklusif.
Ahmad Sidqi
Redaktur Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
Redaktur Lembaga Pers Gerakan (LPG) Senthir
0 komentar:
Posting Komentar