(Memperingati
Hari Tani 24 September 2012)
Oleh: Abd. Wahid Hasyim
Persoalan pangan yang masih
krisis dibangsa ini sungguh sangat mencemaskan rakyat. Krisis pangan ditandai
dengan kebijakan impor yang istiqomah dari tahun-ketahun oleh negara. Kebijakan
impor diakibatkan oleh semakin menyempitnya lahan subur untuk pertanian. Fakta
kualitatifnya sangat jelas di depan mata, dimana ekstensifikasi lahan pertanian
tidak sebanding dengan laju pembangunan perumahan, mall, dan lain sebagainya.
Data kuantitatifnya, sebagaimana laporan harian Suara Merdeka (11/3/12) bahwa
hasil sensus lahan oleh Kementerian Pertanian (Kementan), lahan sawah pada 2010
susut menjadi 3,5 juta ha dari 4,1 juta ha tahun 2007. Dalam rentang waktu tiga
tahun, konversi lahan mencapai 600 ribu ha.
Persoalaan penyempitan
lahan memang sangat kompleks faktornya. Hanya saja salah satu dampaknya terkait
dengan tingkat kesejahteraan petani. Tingkat kesejahteraan petani selain
ditentukan oleh faktor struktural (tinggi-rendahnya harga beli pemerintah;
Bulog) juga berkaitan dengan lahan yang mereka miliki sebagai faktor produksi.
Luas tidaknya lahan berkorelasi lurus dengan jumlah hasil produksinya. Sehingga
semakin sempit lahan semakin kecil pula jumlah produksi petani. Penyempitan
lahan, teknologi pertanian yang lemah serta rendahnya harga beli pemerintah
telah menjadi kompleksitas tersendiri dalam persoalaan pertanian bangsa ini.
Kompleksitas tersebut mengakibatkan duka nestapa bagi para petani bangsa ini
beserta posisi petani dalam struktur kehidupan sosial. Duka nestapa itulah yang
menjadi alasan logis mengapa jumlah petani Indonesia berkurang dan banyak yang
beralih pada sektor jasa.
Peralihan
sistem kerja produksi agraris menuju sektor jasa juga telah menyumbang jumlah
angka urbanisasi masyarakat pedesaan ke perkotaan. Kiranya perlu kita mengingat
kembali pidato Bung Karno pada saat peresmian kampus IPB (Institut Pertanian
Bogor) tahun 1952, “Aku bertanja kepadamu: sedangkan rakjat Indonesia akan
mengalami tjelaka, bentjana, mala-petaka, dalam waktu jang dekat kalau soal
makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan
rakjat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati...”. Secara eksplisit
dijelaskan bahwa pangan adalah unsur fundamental bagi peri kehidupan berbangsa
dan bernegara! Apabila pidato sang proklamator di atas diterima nilai
kebenarannya, maka negara ini sedang dalam bahaya. Bila soal pertanian diamini
sebagai soal hidup dan matinya rakyat, tentu juga menjadi soal mati dan
hidupnya negara ini. Potret pertanian negeri ini yang menggambarkan kemerosotan
kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun cukuplah menjadi bukti bahwa negara
sedang dalam kondisi darurat.
Lantas dari
potret ini semakin mempertegas pula standing position pemerintah, betapa
pemerintah tidak hadir apalagi berpihak untuk mengentaskan buruknya persoalan
pertanian bangsa dan nasib para petaninya. Sebagai bahan refleksi, kita harus
mengambil pelajaran dari fakta sejarah runtuhnya Uni Soviet tahun 1991. Konflik
sosial memang telah terjadi sebelumnya dan memercik menjadi keretakan antara
Moskwa dan negara-negara lainnya.
Namun
ketegangan memuncak tatkala Soviet dilanda krisis pangan akut akibat dari gagal
panen. Hal tersebut mengharuskan untuk membuat kebijakan impor gandum dari
Amerika. Sayangnya, Amerika memiliki prasyarat yang harus dipenuhi untuk
bersedia mengekspor gandumnya pada negara komunis tersebut. Prasyarat itu
adalah Soviet wajib membuka pasarnya untuk kepentingan ekonomi dan investasi
negara Paman Sam. Tragedi itu dikenal dengan tiga semboyan glasnost (keterbukaan
politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi), dan uskoreniye (percepatan
pembangunan ekonomi).
Desakan itu
akhirnya dipenuhi oleh elit penguasa Soviet mengingat instabilitas kehidupan
yang semakin memuncak. Refleksi atas fakta dan pemaknaan sejarah di atas sangat
penting mengingat negara kita secara pasti sedang menganut “politik impor”.
Padahal belum tentu kegiatan impor hanya selesai pada koridor geliat
perekonomian semata. Justru yang menjadi kekhawatiran ialah buntut di balik
kegiatan impor itu sendiri.
Hal ini tentu
sangat bahaya karena dapat berakibat pada semakin kerdilnya kedaulatan negara.
Sudah saatnya pemerintah membenahi tata cara pertanian bangsa ini apabila masih
menghendaki seluruh rakyatnya selamat dari jurang malapetaka. Subsidi negara
dalam sektor pertanian, serta pembenahan sarana dan prasarana yang dapat
mempermudah dan meningkatkan hasil pertanian dalam negeri dan yang terakhir
adalah proteksi lahan pertanian dari keserakahan kaum pemodal tentu sangat
menjadi harapan bersama guna menyelamatkan nasib petani dari jeratan tengkulak
dan koorporat yang kapitalis. Sehingga persoalan paling mendasar terletak pada
politik agraria pemerintah beserta ejawantahnya. Sebagai rakyat yang masih
peduli terhadap nasib petani, kita dapat mengajukan pertanyaan kepada pemangku
kebijakan di negeri khatulistiwa ini, “kalian berdiri di pihak yang mana?
0 komentar:
Posting Komentar