Sekretariat Senthir

Jalan Gatak, Gang Tulip No. 343, Karangbendo, Bantul, Yogyakarta
Email: redaksisenthir@yahoo.co.id | Blog: senthir-gmni.blogspot.com

Senin, 24 September 2012

BELAJAR DARI TRAGEDI UNI SOVIET

(Memperingati Hari Tani 24 September 2012)
Oleh: Abd. Wahid Hasyim

Persoalan pangan yang masih krisis dibangsa ini sungguh sangat mencemaskan rakyat. Krisis pangan ditandai dengan kebijakan impor yang istiqomah dari tahun-ketahun oleh negara. Kebijakan impor diakibatkan oleh semakin menyempitnya lahan subur untuk pertanian. Fakta kualitatifnya sangat jelas di depan mata, dimana ekstensifikasi lahan pertanian tidak sebanding dengan laju pembangunan perumahan, mall, dan lain sebagainya. Data kuantitatifnya, sebagaimana laporan harian Suara Merdeka (11/3/12) bahwa hasil sensus lahan oleh Kementerian Pertanian (Kementan), lahan sawah pada 2010 susut menjadi 3,5 juta ha dari 4,1 juta ha tahun 2007. Dalam rentang waktu tiga tahun, konversi lahan mencapai 600 ribu ha.
Persoalaan penyempitan lahan memang sangat kompleks faktornya. Hanya saja salah satu dampaknya terkait dengan tingkat kesejahteraan petani. Tingkat kesejahteraan petani selain ditentukan oleh faktor struktural (tinggi-rendahnya harga beli pemerintah; Bulog) juga berkaitan dengan lahan yang mereka miliki sebagai faktor produksi. Luas tidaknya lahan berkorelasi lurus dengan jumlah hasil produksinya. Sehingga semakin sempit lahan semakin kecil pula jumlah produksi petani. Penyempitan lahan, teknologi pertanian yang lemah serta rendahnya harga beli pemerintah telah menjadi kompleksitas tersendiri dalam persoalaan pertanian bangsa ini. Kompleksitas tersebut mengakibatkan duka nestapa bagi para petani bangsa ini beserta posisi petani dalam struktur kehidupan sosial. Duka nestapa itulah yang menjadi alasan logis mengapa jumlah petani Indonesia berkurang dan banyak yang beralih pada sektor jasa.
Peralihan sistem kerja produksi agraris menuju sektor jasa juga telah menyumbang jumlah angka urbanisasi masyarakat pedesaan ke perkotaan. Kiranya perlu kita mengingat kembali pidato Bung Karno pada saat peresmian kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) tahun 1952, “Aku bertanja kepadamu: sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, mala-petaka, dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati...”. Secara eksplisit dijelaskan bahwa pangan adalah unsur fundamental bagi peri kehidupan berbangsa dan bernegara! Apabila pidato sang proklamator di atas diterima nilai kebenarannya, maka negara ini sedang dalam bahaya. Bila soal pertanian diamini sebagai soal hidup dan matinya rakyat, tentu juga menjadi soal mati dan hidupnya negara ini. Potret pertanian negeri ini yang menggambarkan kemerosotan kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun cukuplah menjadi bukti bahwa negara sedang dalam kondisi darurat.
Lantas dari potret ini semakin mempertegas pula standing position pemerintah, betapa pemerintah tidak hadir apalagi berpihak untuk mengentaskan buruknya persoalan pertanian bangsa dan nasib para petaninya. Sebagai bahan refleksi, kita harus mengambil pelajaran dari fakta sejarah runtuhnya Uni Soviet tahun 1991. Konflik sosial memang telah terjadi sebelumnya dan memercik menjadi keretakan antara Moskwa dan negara-negara lainnya.
Namun ketegangan memuncak tatkala Soviet dilanda krisis pangan akut akibat dari gagal panen. Hal tersebut mengharuskan untuk membuat kebijakan impor gandum dari Amerika. Sayangnya, Amerika memiliki prasyarat yang harus dipenuhi untuk bersedia mengekspor gandumnya pada negara komunis tersebut. Prasyarat itu adalah Soviet wajib membuka pasarnya untuk kepentingan ekonomi dan investasi negara Paman Sam. Tragedi itu dikenal dengan tiga semboyan glasnost (keterbukaan politik), perestroika (restrukturisasi ekonomi), dan uskoreniye (percepatan pembangunan ekonomi).
Desakan itu akhirnya dipenuhi oleh elit penguasa Soviet mengingat instabilitas kehidupan yang semakin memuncak. Refleksi atas fakta dan pemaknaan sejarah di atas sangat penting mengingat negara kita secara pasti sedang menganut “politik impor”. Padahal belum tentu kegiatan impor hanya selesai pada koridor geliat perekonomian semata. Justru yang menjadi kekhawatiran ialah buntut di balik kegiatan impor itu sendiri.
Hal ini tentu sangat bahaya karena dapat berakibat pada semakin kerdilnya kedaulatan negara. Sudah saatnya pemerintah membenahi tata cara pertanian bangsa ini apabila masih menghendaki seluruh rakyatnya selamat dari jurang malapetaka. Subsidi negara dalam sektor pertanian, serta pembenahan sarana dan prasarana yang dapat mempermudah dan meningkatkan hasil pertanian dalam negeri dan yang terakhir adalah proteksi lahan pertanian dari keserakahan kaum pemodal tentu sangat menjadi harapan bersama guna menyelamatkan nasib petani dari jeratan tengkulak dan koorporat yang kapitalis. Sehingga persoalan paling mendasar terletak pada politik agraria pemerintah beserta ejawantahnya. Sebagai rakyat yang masih peduli terhadap nasib petani, kita dapat mengajukan pertanyaan kepada pemangku kebijakan di negeri khatulistiwa ini, “kalian berdiri di pihak yang mana?

0 komentar:

Posting Komentar

Bookmark and Share